Rabu, 30 Oktober 2013

Memandu Negeri

REFLEKSI SUMPAH PEMUDA 
Memandu Negeri
Robert Bala   Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol,
Guru pada Sekolah Tunas Indonesia Bintaro
MEDIA INDONESIA, 29 Oktober 2013


YANG lebih diingat dari Sumpah Pemuda tentu komitmen: ber tanah air, berbangsa, dan berbahasa Indonesia. Namun, mestinya jangan dilupakan, saat itu lagu Indonesia Raya untuk pertama kali diperdengarkan.

Keduanya saling melengkapi, demikian tulis Prof Dr Subroto dalam Pendidikan untuk Indonesia Raya, 2013. Tiga sumpah yang sangat ringkas itu diberi jiwa dalam lagu kebangsaan: Indonesia Raya.
Menjadi tanya: apa yang menjadi makna terdalam dari himne paling utama di negeri ini? Yang pasti, jiwa patriotis sang komponis, WR Supratman, merupakan pintu masuk, demikian kata Subroto yang juga mantan Sekjen OPEC. Meski hanya berumur 17 tahun, ia sudah merasa terpanggil untuk me nanggapi imbauan buletin Hindia Belanda Poetra (1920) untuk membuat himne nasional.

Lagu yang diselesaikannya pada 1924 dan dinyanyikan pada 1928 saat ia berumur 25 tahun itu kental dengan pesan kepemudaan. Hal itu terungkap dalam kata pandu, yang disebut dua kali, yakni pada stanza pertama: `Jadi pandu ibuku', dan stanza ketiga (yang tidak lagi dinyanyikan secara resmi), `Majulah pandunya'. Mengapa `pandu'? Hal itu tentu berkaitan dengan gerakan pramuka yang dulu disebut kepanduan. Di dalam gerakan itu tidak sedikit orang mengalami proses pendewasaan diri berkat aneka latihan yang diperoleh.

Namun, yang lebih utama ialah peran pemuda sebagai p(em)andu atau padvinders. Kualitas diri yang diharapkan ialah pemuda sebagai pembuka jalan, penunjuk arah, pencari jejak, pelacak, atau pathfinder.
Kualitas itu diungkap kan dalam dua sisi, subjektif dan objektif. Seseorang bisa menjadi pemandu kalau memiliki kematangan internalsubjektif. Hal itu juga ditunjukkan kesadaran untuk ikut memiliki negeri ini. Untaian kata ­ku (tanah airku, tanah tumpah darahku, di sana aku berdiri), ialah ekspresi yang sangat jelas.

Pada sisi lain, kematangan diri itu perlu dipadukan dalam nuansa persatuan dan kesatuan. Tak mengherankan, setelah seruan `Indonesia bers satu', ditekankan pula kesas daran objektif untuk membangun `jiwa dan raga' yang diberi penekanan `nya' (bangunlah jiwanya, bangunlah raganya), sebagai representasi `Indonesia Raya'.

Kesadaran baru

Sumpah Pemuda sudah berumur 85 tahun, dengan 68 tahun di antaranya merupakan masa kemerdekaan. Namun, apakah jiwa kepemudaan itu telah menjadi sebuah kesadaran subjektif yang selanjutnya menjadi daya dobrak untuk menca pai sebuah kekuatan kebangsaan?

Harus diakui, contoh hidup pe muda `waktu itu' tentu ti dak bisa dijadikan takaran untuk menilai pemuda masa kini. Tiap generasi punya konteks sendiri yang menjadikannya lain, meskipun secara analogis terdapat kesamaan.

Dulu, misalnya, kaum kolonialis begitu kuat memasung. Yang menarik, tantangan eksternal itu dijadikan peluang untuk menumbuhkan kesadaran subjektif melalui etape Kebangkitan Nasional, 1908. Ia berkembang menjadi kesadaran objektif yang terealisasi melalui Sumpah Pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Kini tantangan paling kuat datang dari globalisasi. Ia merambah hampir seluruh lini kehidupan. Namun, bagi pemuda yang punya `nyali' dan kreatif, hal itu bisa sekaligus menjadi peluang. Di sana tantangan dapat ditrans formasi secara kreatif untuk mewujudkan Indonesia Raya.

Hal itu sudah menjadi kesadaran banyak pemuda Indonesia kini. Tantangan telah diubah menjadi peluang. Tak mengherankan kejutan menggembirakan selalu hadir karena pemuda sanggup merangkaikan narasi-narasi pendek, di dalamnya tebersit optimisme kita bakal menguasai dunia melalui aneka kreativitas.

Namun, seirama dengan perjalanan waktu, muncul kesadaran bahwa tantangan kita tidak hanya itu. Ada yang lebih serius dan lebih mengkhawatirkan yang datang bukan dari luar, melainkan dari dalam. Ia terus mengobok-oboki dan mencederai kebersamaan kita.

Salah satu yang paling mencemaskan tentunya korupsi. Ia bak ngengat merongrong kita dari dalam, menggerogoti seluruh lapisan hingga masyarakat hingga menerpa institusi terhormat seperti, MK. Tak hanya itu. Nafsu mencapai kekuasaan tak terkontrol. Dinasti keluarga dibangun tanpa memberi tempat pada rasa risih, malah menghibur diri karena telah memenuhi rangkaian demokrasi prosedural yang diizinkan.

Kenyataan itu mengingatkan kita pada awasan Arnold Toynbee: `civilizations die from suicide, not by murder'. Kita disadarkan, kegagalan sebuah bangsa bukan terutama disebabkan ancaman eksternal, melainkan lebih pada kita sendiri yang sampai hati menggali kubur untuk membenamkan cita-cita kebangsaan.

Kenyataan itu bisa saja dilihat titik-titik frustratif. Terkesan, bangsa ini kehilangan arah. Kita terus didera aneka pengalaman mengecewakan. Karena itu, butuh nyali pemuda untuk melacak akar masalah dan segera hadir sebagai penuntun menghadirkan optimisme.

Tugas pemuda, seperti kata pepatah Latin nulla dies sine linea, ialah memandu dengan menarik garis dari titik-titik kekecewaan menjadi garis sambung penuh harapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar