Rabu, 30 Desember 2015

Tantangan Perekonomian 2016

Tantangan Perekonomian 2016

  Iman Sugema  ;  Ekonom IPB
                                                  REPUBLIKA, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada beberapa tantangan perekonomian yang harus dihadapi dan dicarikan pemecahannya oleh pemerintah. Situasi perekonomian global belum menampakkan perbaikan yang signifikan, terutama ditandai dengan masih melambatnya perekonomian Cina, kenaikan suku bunga the Fed, masih rendahnya harga komoditas, perubahan geopolitik global, dan ancaman terorisme. 

Di sisi perekonomian nasional, permasalahan yang cukup berat adalah beban defisit neraca pembayaran yang akan terus berlanjut, beban utang luar negeri, defisit anggaran yang semakin lebar, serapan anggaran yang masih rendah, dan pembangunan infrastruktur yang masih perlu dipercepat. Mari kita bahas satu persatu.

Perekonomian Cina tampaknya masih akan mengalami perlambatan. Masalahnya adalah ekonomi dunia masih terlalu banyak bergantung pada pertumbuhan Negeri Tirai Bambu tersebut. Secara tidak langsung, kita akan menerima dampaknya dari dua sisi.

Karena Cina merupakan lokomotif perekonomian global, dengan sendirinya perlambatan ekonomi Cina diterjemahkan menjadi perlambatan ekonomi global. Dengan demikian, kita tidak bisa berharap banyak bahwa permintaan ekspor akan mulai pulih.  

Kalaupun beruntung, permintaan ekspor minimal tidak melambat. Di lain pihak, Cina akan berusaha sekeras-kerasnya untuk memacu ekspornya, terutama ke negara-negara yang masih mengalami pertumbuhan cukup baik seperti Indonesia dan India. 

Persaingan dengan produk-produk dari Cina akan semakin brutal. Politik dumping akan semakin marak, terutama untuk produk besi dan elektronika.

Tantangan global yang kedua adalah kenaikan suku bunga the Fed yang sampai akhir tahun 2016 diperkirakan akan mencapai dua persen atau enam kali kenaikan. Angka dua persen memang rendah buat ukuran perekonomian Indonesia. 

Tetapi, untuk standar perekonomian Amerika Serikat yang masih tertatih-tatih, hal tersebut merupakan pukulan yang cukup telak. Dengan kecenderungan ini hampir bisa dipastikan bahwa perekonomian global akan terus mengalami perlambatan.

Dampak langsung yang mungkin sangat terasa adalah aliran dana portofolio atau hot money yang arahnya semakin tidak pasti. Bisa jadi, aliran dana internasional semakin sulit untuk didapat, dan kalaupun tersedia maka biayanya akan semakin mahal. 

Di lain pihak, kita masih membutuhkan dana tersebut terutama untuk melakukan refinancing utang swasta. Jadi, minimal swasta nasional harus menanggung beban pembiayaan yang semakin berat.

Permasalahan utang luar negeri swasta memang cukup pelik karena sudah mencapai 168 miliar dolar dengan tenor kurang lebih satu tahun dan suku bunga satu persen di atas Libor.  Masalahnya ada dua, yakni ketersediaan dana global untuk refinancing dan suku bunga yang semakin mahal. Beban pembayaran bunga saja akan mencapai 6 miliar dolar setahun. Itu dengan catatan bahwa suku bunga the Fed akan terus meningkat.

Dengan melambatnya perekonomian global maka harga komoditas juga tidak akan cepat membaik. Sementara itu, ekspor kita banyak bergantung pada ekspor komoditas primer seperti batu bara, mineral, gas, dan kelapa sawit. 

Di lain pihak, impor kita lebih banyak dalam bentuk barang konsumsi dan barang modal yang harganya stabil. Secara neto, hal ini tentunya akan memberatkan neraca perdagangan. Sudah waktunya kita menggenjot ekspor produk akhir supaya penerimaan ekspor tidak terlalu bergantung pada fluktuasi harga. 

Hilirisasi produk-produk mineral dan perkebunan harus dipercepat. Tetapi ini sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur listrik dan pelabuhan. Tampaknya pembangunan kedua infrastruktur tersebut harus lebih dipercepat lagi.  Kita tidak lagi bisa menunggu.  Serapan dana infrastruktur dan ketersediaan pembiayaan dalam negeri harus cepat dipecahkan.

Perkembangan neraca pembayaran selama tahun 2015 menunjukan gejala anomali. Di satu sisi, neraca perdagangan semakin membaik, tetapi di lain pihak arus modal jangka pendek semakin sulit untuk didapatkan. 

Karena neraca transaksi berjalan masih negatif sejak tahun 2012, perekonomian menjadi sangat kecanduan terhadap aliran hot money. Stabilitas makro dalam jangka pendek ini akan sangat bergantung pada deras-tidaknya hot money.  

Sebagaimana dibahas sebelumnya, aliran modal ini semakin sulit diharapkan dalam situasi peningkatan suku bunga global. Jadi, alternatifnya hanya satu, yakni meningkatkan ekspor dan menurunkan impor. Ini hanya bisa ditebus dengan kerja keras untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri, terutama melalui percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi birokrasi.

Percepatan pembangunan infrastruktur tampaknya masih akan mengalami hambatan, terutama karena ketersediaan anggaran dari APBN yang sampai saat ini masih sangat seret.  Masalah utamanya adalah penerimaan dari pajak masih sangat rendah dan masih harus menunggu waktu untuk bisa digenjot. 

Sebagai catatan, dalam situasi pertumbuhan yang melambat maka menjadi hampir tidak mungkin untuk bisa menggenjot penerimaan pajak. Implikasinya, peningkatan anggaran infrastruktur harus ditempuh dengan cara realokasi anggaran dari hal-hal yang kurang perlu. 

Belanja barang dan jasa tampaknya harus kita tekan habis-habisan. Tidaklah masuk akal manakala harga barang dan jasa yang dibayar oleh pemerintah 50 persen lebih mahal dari harga pasar. Itu berarti reformasi birokrasi merupakan sebuah keharusan.

Tentunya dengan situasi yang cukup pelik ini tidaklah perlu menjadi pesimistis. Situasi yang sulit biasanya merupakan saat yang tepat untuk berbenah. Kita yakin hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah. Semoga hal itu bisa menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar