Rabu, 30 Desember 2015

Merancang Ulang Kebijakan Perberasan

Merancang Ulang Kebijakan Perberasan

  Khudori  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
                                           MEDIA INDONESIA, 29 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN 2015 segera berlalu. Ini saatnya melakukan evaluasi. Salah satu yang bisa dievaluasi ialah pengadaan gabah/beras dalam negeri oleh Bulog. Per 16 Desember 2015, pengadaan Bulog mencapai 1,96 juta ton setara beras. Sampai akhir tahun ini diperkirakan pengadaan beras Bulog maksimal hanya 2 juta ton, 0,9 juta ton di antaranya disumbang beras premium.

Pengadaan ini di bawah dari target internal 2,7 juta ton, apalagi target pemerintah sebesar 4 juta ton. Sejak awal tahun muncul keraguan Bulog bisa menyerap gabah dan beras dalam jumlah besar. Inpres Perberasan yang digadang-gadang menjadi stimulan tidak hanya telat dirilis, diktum-diktum di dalamnya juga mandul.

Inpres Perberasan terakhir, Inpres No 5/2015, menggantikan Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Substansi isi tidak berbeda. Inpres merupakan kebijakan presiden yang ditujukan kepada menteri terkait (8 kementerian) dan para gubernur/bupati/wali kota untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan.

Inpres mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksana, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi. Yang tak diatur ialah pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian.Harga gabah kering panen di petani Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp4.650/kg (sebelumnya Rp4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300kg (sebelumnya Rp6.600/kg). Ratarata naik 11%.

Kebijakan perberasan, terutama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu kualitas), tidak mengalami perubahan sejak beleid itu diberlakukan 46 tahun lalu. Padahal, selama lebih empat dekade pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. Harga pembelian pemerintah (HPP) tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas beras tidak lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar: harga naik atau turun.

Tanam padi yang serentak telah menghasilkan irama panen ajeg, hampir tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60%-65% dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25%-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen: harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik di musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari).

Pergerakan harga gabah/ beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran berlakunya hukum supply-demand, melainkan juga terkait dengan kualitas gabah/beras: kualitas gabah/ beras rendah saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik. Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah. Petani menjual hasil panen dengan kualitas seadanya. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat panen gadu dan di musim paceklik.

Kenyataan itu menunjukkan kualitas gabah/beras bervariasi mengikuti irama panen.Artinya, ada lebih satu kualitas gabah/beras. Inpres Perberasan yang selalu direvisi secara ajeg dengan harga HPP gabah/beras hanya satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya `melawan' pergerakan harga gabah/beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios kelontong misalnya, ada 4-5 jenis beras, tidak hanya kualitas medium seperti diatur Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang, misalnya, ada 17 jenis (kualitas) beras. Jenis-jenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas, yang harganya juga berbeda-beda.

Kebijakan harga tunggal juga telah mengingkari kenyataan adanya segmentasi pasar beras sesuai dengan preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras medium.Lebih dari itu, mempertahankan kebijakan harga tunggal semakin menyulitkan pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan, salah satunya intervensi harga melalui operasi pasar.Dengan hanya satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok lama, mustahil operasi pasar bi sa meredam instabilitas harga semua jenis beras yang ada di pasar.

Selain sejumlah faktor lain, inilah salah satu penyebab o perasi pasar akhir-akhir ini tak efektif.

Oleh karena itu, sudah saatnya kebijakan harga tunggal, baik untuk gabah maupun beras medium, diakhiri. Opsinya mengganti dengan HPP multikualitas, multilokasi, dan multivarietas. Kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan meningkatkan pendapatan petani. Kebijakan HPP multikualitas pada beras diyakini akan mendorong pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras berkualitas lewat proses penggilingan yang lebih baik, dan perbaikan mesin dan operator.

HPP multikualitas dapat dirancang lewat kombinasi kriteria: kualitas gabah/beras, musim panen, dan varietas (Sawit dan Halid, 2010). Pada tahap awal cukup dwikualitas: medium dan premium. Setelah cukup berpengalaman, berikutnya bisa dikembangkan menjadi lebih dari dua kualitas. Kebijakan HPP gabah dan beras multilokasi sebaiknya dihindari. Meskipun biaya produksi padi bervariasi antarlokasi, menerapkan HPP gabah dan beras multilokasi bakal menciptakan diskriminasi. Akan lebih baik dan adil apabila faktor lokasi itu diakomodasi dalam kriteria varietas. Hampir di semua daerah sentra produksi padi, sebagian petani masih menanam varietas-varietas lokal (Winarto, 2011; Soedjito, 1996). Varietas lokal bisa diakomodasi dalam kebijakan HPP yang lebih tinggi. Kebijakan itu diperkirakan akan menjamin lestarinya plasma nutfah padi lokal.

Pengalaman selama puluhan tahun menunjukkan penyerapan beras atau gabah setara beras oleh Bulog sebesar 60% terjadi di musim panen raya, 30% di musim gadu, dan 4% saat paceklik. Besar-kecilnya penyerapan ini mengikuti irama panen dan pola produksi padi, dengan demikian juga mengikuti pergerakan harga dan kualitas. Dengan HPP gabah dan beras multikualitas, pola penyerapan bisa disesuaikan dengan irama panen: menyerap gabah dan beras secara besar-besaran pada panen raya untuk memenuhi kuota beras kualitas medium.

Pada saat panen gadu dan musim paceklik, penyerapan gabah dan beras ditu jukan untuk memenuhi kuota beras kualitas pre mium. Sebagian beras kualitas medium masih bisa diserap pada saat panen gadu. Dengan pola seperti itu, penyerapan gabah dan beras bisa dimungkinkan akan berlangsung sepanjang tahun. Cara itu akan membantu pemerintah dalam mengendalikan harga gabah/ beras, dan inflasi.

Penyerapan beras kualitas medium ditujukan untuk memenuhi kebutuhan program raskin. Sebaliknya, beras kualitas premium untuk penyaluran nonraskin, khususnya untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP). Besaran beras medium dan premium harus dijaga seimbang, terutama terkait dengan stok akhir Bulog agar lembaga penyangga harga ini tidak terbebani beban bunga komersial yang besar.

Sebagai perusahaan umum, Bulog juga harus efisien dan mampu menyetorkan keuntungan kepada negara. Ketika Bulog merugi karena beban bunga komersial dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial (public service obligation/ PSO), seperti menyangga harga gabah/beras, menyerap gabah/ beras domestik, mengelola CBP, dan menyalurkan raskin, direksi bisa dinilai tidak perform dan setiap saat kursinya terancam tergusur. Ini membuat direksi gamang. Output-nya, kinerja Bulog dalam menjalankan tugas-tugas sosial menjadi tidak optimal. Dengan serangkaian reformulasi itu, dimungkinkan beleid pemerintah lebih operasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar