Rabu, 23 Desember 2015

NIIS ke Panggung Global

NIIS ke Panggung Global

MH Samsul Hadi  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rentetan teror Negara Islam di Irak dan Suriah melanda dunia sepanjang 2015. Tahun ini, milisi ekstrem itu go international. Ada perubahan strategi teror mereka, yang harus ditangani lebih waspada.

Setelah mendeklarasikan kekhalifahan Islam dengan area teritorial di sebagian wilayah Irak dan Suriah, akhir Juni 2014, milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) telah digempur tidak kurang dari 8.900 kali oleh koalisi negara Barat dan Arab pimpinan Amerika Serikat (AS). Ditambah serangan Rusia sejak 30 September lalu, jumlah gempuran terhadap mereka tentu lebih banyak lagi.

Serangan-serangan itu bisa membatasi kemampuan NIIS menggunakan taktik militer konvensional. Dengan taktik ini, pada pertengahan 2014, mereka merebut wilayah luas di Irak dan Suriah. Berkat gempuran koalisi Barat dan Rusia, pergerakan ekspansi NIIS terbatas. Dalam skala tertentu, mereka terdesak.

Namun, itu bukan berarti aksi teror dan napas kelompok ekstrem itu terhenti. NIIS masih memiliki daya pikat bagi warga dan milisi asing untuk bergabung ke Suriah. Selain itu, di tengah gempuran masif koalisi Barat dan Rusia, NIIS mengalihkan fokus: dari memperluas teritorial jadi teror kepada "musuh-musuh di kejauhan".

Serangan teror di Paris yang menelan korban 130 orang tewas, 13 November lalu, seolah membangunkan dunia soal adanya perubahan strategi teror NIIS. Dunia sebenarnya telah diingatkan tentang rencana perubahan strategi teror itu ketika juru bicara NIIS Abu Muhammad al-Adnani menyampaikan seruan kepada pengikut dan simpatisan NIIS agar menyerang AS dan para partnernya di mana pun berada.

Seruan itu diumumkan pada 22 September 2014, sebulan setelah NIIS kehilangan kontrol atas Bendungan Mosul, Irak. Untuk misi itu, NIIS membentuk unit operasi luar negeri yang diduga di bawah supervisi Adnani. Abdelhamid Abaaoud, otak serangan teror di Paris, diperkirakan anggota pertama unit itu.

Sebelum serangan di Paris, tahun 2015 teror NIIS telah merambah sejumlah kota di negara-negara di luar Irak dan Suriah. Serangan di Sousse dan Tunis, Tunisia, menyebabkan 57 orang tewas; Sana'a, Yaman (137 tewas); Qatif, Arab Saudi (21 tewas); Kuwait City, Kuwait (27 tewas); Suruc dan Ankara, Turki (130 tewas); Beirut, Lebanon (43 tewas), dan serangan terhadap pesawat komersial Rusia, Metrojet, yang bertolak dari Sharm el-Sheikh, Mesir (224 tewas).

Jika penembakan massal (14 tewas) pasangan suami-istri Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik di San Bernardino, California, 2 Desember, ditambahkan, teror simpatisan NIIS itu telah merambah AS. Dari penyelidikan sementara, serangan itu tak terkait langsung NIIS. Namun, dalam akun Facebook mereka, pasangan Farook-Malik menyatakan sumpah kesetiaan kepada NIIS.

Dalam studi yang dimuat jurnal Perspectives on Terrorism, Agustus 2015, Thomas Hegghammer dan Petter Nesser memperlihatkan adanya peningkatan serangan NIIS di negara-negara Barat pasca seruan Adnani. Keduanya mencatat 30 plot serangan terkait NIIS, 26 di antaranya sepanjang Juli 2014 hingga Juni 2015.

Menarik dicermati, serangan NIIS di luar sarangnya (Irak dan Suriah) lebih banyak terjadi pasca serangan udara koalisi Barat dan Rusia. "Berputar-putar tanpa arah dan mengirim lebih banyak pengebom (ke Suriah dan Irak) tidak menyelesaikan masalah. Itu bahkan membuat situasi sedikit lebih buruk," kata Richard Barrett, mantan Kepala Operasi Kontra-Terorisme Global Inggris yang kini wakil presiden kelompok think tank di New York, Soufan Group (AFP, 20/12).

Masih bertahan

Sejarah kemunculan NIIS berakar pada langkah aktivis militan Jordania, Abu Musab al-Zarqawi, selepas dibebaskan dari penjara di Jordania pada 1999. Dari kamp pelatihan di Provinsi Kandahar, Afganistan, yang dia dirikan dengan pinjaman 200.000 dollar AS (Rp 2,4 miliar) dari Al Qaeda, organisasi Zarqawi berkembang mengiringi konflik dan kekacauan di negara tempat gerakan itu bercokol hingga berbuah deklarasi kekhalifahan Islam dengan penetapan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai khalifahnya, 29 Juni 2014.

Sejak deklarasi kekhalifahan itu, Barat berusaha menangkal NIIS dengan bertopang pada tiga pilar. Pertama, serangan udara untuk menahan perkembangan NIIS dalam jangka pendek; kedua, kolaborasi dengan partner kelompok bersenjata lokal untuk penghancuran jangka menengah; dan ketiga, reformasi politik melalui rekonsiliasi dan demokratisasi untuk pencegahan jangka menengah dan panjang (Omar Ashour, BBC, 14/12/2015).

Terkait serangan udara, AS menggalang koalisi negara-negara Barat plus Arab dan telah melancarkan serangan udara pada target NIIS di Suriah sejak 22 September 2014. Menurut data Departemen Pertahanan AS per 16 Desember 2015, serangan koalisi itu mencapai 8.912 kali-sebanyak 6.934 serangan digelar AS-dengan perincian 5.856 serangan pada target NIIS di Irak dan 3.056 serangan di Suriah.

Mulai 30 September, atas permintaan Damaskus, Rusia juga menggelar intervensi militer di Suriah. Pertanyaannya, mengapa NIIS masih bisa bertahan setelah hampir 1,5 tahun digempur bertubi-tubi oleh koalisi Barat plus Rusia?

Atau singkat kata, mengapa NIIS belum bisa dikalahkan? Bahkan, berdasarkan riset Soufan Group, per Desember 2015, NIIS masih memiliki daya magnet untuk menarik warga dan pejuang asing ke Suriah. Jumlah warga dan pejuang asing itu, demikian hasil riset itu, lebih dari berlipat ganda jika dibandingkan saat NIIS mendeklarasikan kekhalifahan: dari sekitar 12.000 pejuang asing pada Juni 2014 menjadi 27.000-31.000 pejuang asing dari sedikitnya 86 negara pada saat ini.

Dana NIIS juga masih kokoh. Dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB, Kamis lalu, Menteri Keuangan AS Jack Lew mengungkapkan, setiap tahun NIIS diperkirakan meraup 500 juta dollar AS (Rp 6,9 triliun) dari penjualan minyak di pasar gelap, 250 juta dollar AS (Rp 3,4 triliun) dari penjualan fosfat, 200 juta dollar AS (Rp 2,7 triliun) dari penjualan gandum, dan 100 juta dollar AS (Rp 1,3 triliun) dari penjualan semen. NIIS mengalokasikan 30 juta dollar AS (Rp 418 miliar) per bulan untuk membeli senjata dan amunisi.

Mengenai serangan udara militer asing kepada NIIS, terutama dalam kasus Suriah, sejak awal telah disadari keterbatasannya. Tanpa pasukan darat, sulit operasi udara itu melumpuhkan kekuatan militer NIIS. Bukan rahasia lagi, NIIS menyembunyikan aset militer di permukiman warga sipil untuk berlindung dari serangan udara koalisi Barat-Arab dan Rusia.

Selain itu, dalam kasus Suriah, intervensi militer koalisi Barat-Arab dan Rusia "ditunggangi" kepentingan politik masing-masing yang saling bertabrakan. Koalisi Barat-Arab menargetkan tumbangnya rezim Bashar al-Assad, sedangkan Rusia-didukung Iran-berusaha mempertahankan Assad.

Di tengah silang sengkarut kepentingan dan kekacauan semacam itu, NIIS memainkan strategi. Namun, sadar posisinya di Suriah terdesak, mereka melebarkan sayap di Libya sebagai antisipasi jika kolaps di Suriah dan Irak. Kesepakatan dua kelompok yang bertikai di negeri itu untuk membentuk pemerintahan bersatu jelas menggembirakan, antara lain untuk menangkal ekspansi NIIS di Libya

Lebih berbahaya

Perang melawan NIIS diperkirakan masih bakal berlangsung lama. Pekan lalu, Arab Saudi mengumumkan pembentukan koalisi militer Islam melawan organisasi teroris, termasuk NIIS, dengan klaim berkekuatan 34 negara Muslim. Beberapa negara, termasuk Indonesia, komplain atas "tindakan main catut" Arab Saudi dan menegaskan tidak masuk koalisi tersebut.

Di tengah persaingan AS-Rusia, koalisi itu justru bisa menambah silang sengkarut konflik yang ada. Dalam laporan terbarunya, Desember ini, Soufan Group mengingatkan komunitas internasional, ancaman NIIS di masa depan bakal kian sulit dihadapi. "Meski NIIS sedang jadi organisasi gagal dengan kemerosotan perlahan, mereka mampu memengaruhi aksi pengikutnya dan bakal lebih berbahaya saat (organisasi) itu mati," tulis Soufan Group.

Indonesia, negara dengan 700-800 warganya bergabung di NIIS, tak luput dari ancaman itu. Tahun 2015, sedikitnya dua kali polisi menangkap dan membongkar jaringan NIIS yang merencanakan serangan bom di Tanah Air. Rencana serangan bom itu digagalkan polisi jelang peringatan HUT Kemerdekaan RI, Agustus. Minggu lalu, polisi kembali menangkap jaringan NIIS yang-menurut dokumen yang didapat kantor berita AFP-merencanakan bom bunuh diri di Jakarta saat pergantian tahun nanti.

Walhasil, NIIS mungkin sedang goyah di Irak dan Suriah. Namun, saat-saat seperti ini, dunia justru harus lebih waspada dan ekstra hati-hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar