Senin, 21 Desember 2015

Menjaga Optimisme Pascasuku Bunga AS

Menjaga Optimisme Pascasuku Bunga AS

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 19 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

THE Federal Reserve atau Bank Sentral AS akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25%. Ini merupakan kenaikan pertama bagi suku bunga AS sejak 2006 silam. Langkah The Fed itu kemudian menyebabkan pergeseran pada kisaran tingkat suku bunga pinjaman semalam AS, yakni menjadi 0,25% hingga 0,50%.

Kebijakan kenaikan suku bunga The Fed tentu bisa menyebabkan guncangan terhadap perekonomian global dan dapat meningkatkan tekanan bagi Inggris agar ikut menaikkan suku bunga. Akhirnya negara-negara berkembang akan mengikuti langkah yang sama untuk mempertahannya modal-modal global agar tak beterbangan keluar.

Dilema lainya ialah kenaikan suku bunga acuan yang berarti biaya pinjaman akan semakin mahal untuk negara berkembang. Padahal, beberapa waktu belakangan, emerging market mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan harap-harap cemas akibat ancaman capital outflight.

Bahkan ada kecemasan kenaikan suku bunga The Fed akan semakin memperparah perlambatan ekonomi negara berkembang. Sebab, tingginya suku bunga di AS akan semakin memperkukuh posisi mata uang dolar. Sebagaimana diketahui, mata uang dolar dipergunakan di banyak negara dan perusahaan dan dipastikan akan menciptakan efek bola salju kepada negara yang menggunakannya dan kepada instrumen investasi yang berbasiskan mata uang ‘Negeri Paman Sam’ tersebut.

Selain itu, efek strong dollar akan menekan harga minyak dunia yang kemudian ikut memperparah harga komoditas-komoditas andalan ekspor negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Lihat saja harga CPO, batu bara, karet, dan nikel, misalnya, yang terus tergerus penguatan dolar dan pelandaian permintaan global. Terpangkasnya harga komoditas-komoditas ini kemudian menyunat pemasukan negara dari sisi pajak komoditas ekspor, seperti yang dialami sektor perpajakan Indonesia akhir tahun ini.

Tak hanya sampai di situ, Bank sentral AS (The Fed) juga akan terus memantau data inflasi dan lapangan kerja untuk menentukan waktu kenaikan suku bunga lanjutan yang kemudian akan dilangsungkan beberapa kali sepanjang 2016 dan 2017. Pernyataan itu disampaikan Gubernur The Fed Janet Yellen tidak lama setelah menaikkan suku bunga a cuan 0,25% basis poin. Setelah pengumuman penaikan suku bunga, sejumlah bank besar di ‘Negara Paman Sam’ juga ikut menaikkan suku bunga dasar kredit dari 3,25% menjadi 3,50%.

Kenaikan suku bunga The Fed semakin memperlebar perbedaan arah kebijakan dengan kawasan Eropa dan Tiongkok. Seperti diketahui, saat ini Eropa tengah mengimplementasikan kebijakan pelonggaran moneter. Pada awal bulan ini, misalnya, Bank Sentral Eropa memangkas tingkat suku bunga deposito dari minus 0,2% menjadi minus 0,3%.

Bank sentral Eropa juga mempertahankan program stimulus senilai 60 miliar pound sterling dan berkemungkinan akan memperluasnya jika kondisi keadaan semakin tak terkendali. Begitu pula dengan Tiongkok yang sudah enam kali memangkas suku bunga sejak Juni tahun lalu dan menginjeksikan likuiditas berlimpah ke dalam pasar keuangan untuk mempertahankan nilai yuan dan menghindari ancaman pelarian modal ke luar negeri.

Dengan beberapa pertimbangan tersebut, dari sisi non-Amerika, The Fed bisa saja dianggap kurang mengkhawatirkan tingkat pertumbuhan ekonomi global yang telah berkali-kali dipangkas, baik oleh Bank Dunia maupun oleh IMF. Namun, kita juga patut memperhatikan apa sebenarnya yang melatarbelakangi keputusan bulat para pengambil kebijakan di dalam FOMC tersebut.

Setidaknya ada beberapa hal fundamental yang menjadi pertimbangan dalam kebijakan itu. Dari pernyataan komite pasar terbuka The Fed bisa dilihat bahwa hal-hal seperti pemulihan di pasar tenaga kerja pada 2015, yaitu optimisme akan meningkatnya inflasi AS dalam jangka menengah ke level target 2%. Tingkat inflasi AS sebenarnya belum menyentuh level yang diidamkan The Fed, tingkat pengangguran untuk Oktober dan Desember sudah sangat memuaskan, bahkan untuk Oktober sudah mencapai angka 5%, yang kemudian dianggap sebagai modal awal terbentuknya inflasi pada waktu-waktu mendatang.

Dengan demikian, wajar kiranya jika inflasi menjadi titik catatan tersendiri bagi The Fed. Mereka bahkan berjanji akan terus mengawasi tingkat inflasi dan tenaga kerja untuk memutuskan kapan kenaikan suku bunga selanjutnya dapat diterapkan. Pimpinan The Fed Janet Yellen mengatakan komite sangat optimistis perekonomian AS akan terus membaik sehingga kenaikan suku bunga selanjutnya tinggal menunggu waktu. Namun, bagaimanapun, perkembangan ekonomi AS untuk waktu-waktu mendatang tentu akan tetap menjadi pedoman bagi para pengambil kebijakan The Fed apakah kenaikan akan berlangsung secepatnya atau malah ditunda lagi sampai waktu yang tak ditentukan.

Karena sebagaimana diakui Yellen sendiri, kelemahan ekonomi AS masih ada di pasar tenaga kerja, terutama soal pertumbuhan tingkat upah, yang akan menghalangi terbentuknya tingkat inflasi moderat sebagai prasyarat kenaikan suku bunga. Namun, dia juga mengingatkan, jika The Fed terus menunda kenaikan suku bunga, itu dapat memaksa pemberlakuan pengetatan kebijakan yang terlalu cepat sehingga memicu resesi yang lain.

Proyeksi The Fed dalam jangka menengah untuk suku bunga ialah sebesar 1,5% pada 2016 dan 2,5% pada 2017. Untuk level suku bunga normal di kisaran 3,5% hingga 2018 atau hingga perekonomian AS semakin solid, The Fed tampaknya belum mempunyai proyeksi sama sekali. Hal itu sangat bisa dipahami karena sejatinya ekonomi AS masih tergolong cukup mengecewakan sehingga pilihan yang tersisa ialah menaikkan suku bunga dengan sangat berlahan dan bertahap sesuai dengan progres positif yang terbentuk dalam perekonomian nasional AS.

Nilai tukar rupiah dibuka menguat tipis 0,04% atau 6 poin ke level Rp14.065 setelah kenaikan suku bunga The Fed (17/12). Sehari sebelumnya, rupiah ditutup melemah 25 poin atau 0,18% ke Rp14.071 per dolar AS pada perdagangan Rabu (16/12). Investor pasar valas tampaknya sedang bersiap menghadapi potensi depresiasi dolar yang biasanya terjadi pascakenaikan suku bunga The Fed. Secara historis, dolar selalu terdepresiasi setelah menguat tajam seusai siklus pengetatan moneter di AS pada 2004, 1999, dan 1994.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) langsung melonjak 1,31% di pembukaan, menguat 58,67 poin ke level 4.542,12 pada Kamis (17/12). Penguatan terjadi sejalan dengan pergerak an bursa saham global dan regional Asia setelah keputusan The Fed. Sementara itu, sehari sebelumnya, pada Rabu (16/12/), IHSG ditutup menguat 1,68% atau naik 74,28 poin ke level 4.483,45.

Sinyal positif pada pasar keuangan ini harus diimbangi dengan kinerja ekonomi riil untuk mempertahankan kepercayaan pasar terhadap Indonesia. Buruknya catatan neraca perdagangan untuk November harus menjadi catatan pemerintah untuk memulai tahun depan. Selain itu, lebarnya shortfall penerimaan pajak akhir tahun ini juga harus segera dicarikan solusi agar tidak terulang di tahun mendatang yang kemudian malah mengganggu rencana pembangunan strategis pemerintah, terutama untuk sektor infrastruktur yang telah diprioritaskan agar proyeksi pertumbuhan bisa tetap dijaga dan perlambatan lebih lanjut bisa dicegah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar