Senin, 28 Desember 2015

Setelah Setahun Tersandera Suku Bunga

Setelah Setahun Tersandera Suku Bunga

  A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                                      KOMPAS, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 yang segera berlalu bisa disebut tahun aneh. Hampir setahun penuh kita disandera rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk menaikkan suku bunga dan selalu batal. Sebab, menjelang rapat The Fed (Federal Open Market Committee), nilai tukar dollar AS lebih dulu menguat. Pasar selalu berhasil "mencuri start". Akibatnya, The Fed urung menaikkan suku bunga karena khawatir membuat dollar AS menguat lebih lanjut. Hal ini akan memperlemah daya saing produk AS.

Apa urgensi AS menaikkan suku bunga? Mereka ingin mengakhiri rezim likuiditas longgar (easy money policy), sebagai respons kebijakan mengatasi krisis subprime mortgage 2008-2009. Saat perekonomian AS menunjukkan tanda-tanda pulih sejak Mei 2013, The Fed berencana menormalisasi keadaan dengan menghentikan kebijakan mencetak uang (quantitative easing) dan menaikkan suku bunga yang sebesar 0,25 persen.

Jika likuiditas terus longgar, timbul kekhawatiran hasil The Fed mencetak uang (4,2 triliun dollar AS) rawan digunakan untuk spekulasi. Maka, likuiditas itu perlu disedot lagi agar "pulang kampung" ke AS. Pelan-pelan, suku bunga dinaikkan.

Gubernur The Fed Janet L Yellen selama setahun terakhir ini tampak gamang menaikkan suku bunga. Namun, pada pertengahan Desember 2015, dia tidak bisa menunda lagi. Semua variabel ekonomi makro AS dalam kondisi prima. Pertumbuhan ekonomi di atas 2 persen, pengangguran 5 persen, penyerapan tenaga kerja di atas 200.000 orang per bulan, dan inflasi rendah di bawah 1 persen.

Apa lagi yang ditunggu? Akhirnya, The Fed menaikkan suku bunga menjadi 0,5 persen. Semula, kenaikan suku bunga ini diduga akan memperlemah rupiah. Kenyataannya tidak. Rupiah bergerak di level Rp 13.600 per dollar AS.

Ada beberapa penyebab. Pertama, dalam setahun terakhir dollar AS sudah terapresiasi tinggi, sebaliknya rupiah terdepresiasi tajam, melebihi potensinya. Rupiah mencapai Rp 14.700 per dollar AS, yang tidak merefleksikan kondisi obyektifnya. Rupiah terlalu murah (undervalued). Rupiah sudah "mencicil" depresiasi, mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed.

Kedua, investor global mulai menyadari, apresiasi dollar AS tetap akan ada batasnya. Mengoleksi aset-aset berdenominasi dollar AS juga akan mengalami titik jenuh. Buktinya, indeks harga saham di New York yang pernah terus-menerus naik hingga 18.300, kemudian terkoreksi tajam hingga 15.700. Menjelang liburan Natal kemarin, indeks New York berada pada level 17.552. Rupiah tetap berpotensi menguat, seiring dengan dollar AS yang berpotensi melemah, untuk menemukan keseimbangan baru.

Ketiga, pelemahan rupiah yang sejalan dengan cadangan devisa yang berkurang juga dialami negara lain. Cadangan devisa kita tergerus menjadi 100 miliar dollar AS. Malaysia lebih parah, cadangan devisanya tinggal 95 miliar dollar AS atau turun 39 persen! Rusia paling parah kedua, dengan penurunan 28 persen. Singapura dan Thailand masing-masing turun 9 persen. Bahkan, Tiongkok, pemilik cadangan devisa terbesar di dunia, yang pernah mencapai 4 triliun dollar AS, turun 11 persen menjadi 3,55 triliun dollar AS. Dari sisi kontraksi cadangan devisa, Indonesia bukan yang terparah. Artinya, kepercayaan akan rupiah masih ada sehingga depresiasi rupiah lanjutan bisa ditepis.

Berakhir sudah episode "sandera" suku bunga. Selanjutnya, ada hal positif pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), menyusul harga minyak dunia yang terus merosot menjadi 36 dollar AS per barrel. Padahal, 18 bulan silam harga minyak dunia masih 115 dollar AS per barrel (Juni 2014). Sayang, pemerintah "tergoda" memungut Rp 200 per liter untuk penjualan premium dan Rp 300 per liter untuk solar, bagi Dana Ketahanan Energi. Dari pungutan itu, pemerintah akan menerima Rp 15 triliun setahun, yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan sebagainya.

Masalahnya, pemerintah sekarang sedang butuh berbagai sentimen positif untuk memupuk kepercayaan. Hasrat mengonsumsi yang rendah, sebagaimana ditunjukkan penjualan ritel yang melemah selama Lebaran dan penjualan mobil yang turun dari 1,2 juta unit menjadi 1 juta unit, bisa didorong lagi melalui penurunan harga BBM.

Momentum penurunan harga BBM ini harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengoptimalkan belanja masyarakat. Pungutan penjualan BBM ibarat menambah beban pajak penjualan bagi masyarakat. Soal pembangunan infrastruktur energi, APBN-lah yang mesti mengongkosi.

Modal besar menghadapi 2016 adalah inflasi rendah yang sepanjang 2015 sekitar 2,87 persen. Hal ini bagus untuk menurunkan BI Rate, dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen pada awal 2016. Ini menjadi awal yang baik bagi upaya mendorong kredit perbankan 2016, misalnya 15 persen.

Tahun 2016 tetap memberi harapan asalkan pemerintah konsisten merajut berbagai sentimen positif. Namun, menambah pungutan dari penjualan BBM jelas tidak masuk kategori ini. Hal itu bisa menjadi blunder yang tidak perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar