Kamis, 24 Desember 2015

Catatan Akhir Tahun (Politik)

Catatan Akhir Tahun (Politik)

Aribowo  ;  Dosen FISIP Unair Surabaya
                                                    JAWA POS, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TULISAN ini merupakan analisis dari penggabungan peristiwa politik, sikap dan perilaku politik rezim Jokowi, tingkah laku elite politik di DPR dan parpol, gerakan perlawanan rakyat, serta media massa selama 2015. Analisis politik ini bertumpu pada peristiwa serta data sosial, ekonomi, dan budaya. Pertanyaannya dalam kilas balik 2015 ini menjadi agak khusus: Apa makna perjalanan rezim Jokowi selama 2015?

Untuk menelisik ”wajah” rezim Jokowi, kita bisa bertumpu pada beberapa fenomena politik besar selama 2015. Pertama, selama 2015, kita disuguhi pergumulan antara kekuatan DPR dan rezim Jokowi. Pergumulan dan pergelutan dua kekuatan itu sangat bervariasi: Ada pola depan panggung dan belakang panggung, manuver kelompok (faksi) politisi dari dalam istana maupun luar istana, friksi antarpolitisi, serta keperluan pencitraan yang kuat sekali.
Rivalitas DPR (Senayan) dengan rezim Jokowi sebenarnya terjadi sejak Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2014.

Kegaduhan berikutnya terjadi saat Jokowi memberhentikan jenderal Polri, Sutarman, dari jabatan Kapolri. Di tengah macam-macam isu, Jokowi dengan cepat mengusulkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri baru. Konon, BG ”titipan” Ketum DPP PDIP Megawati.

Tapi, BG kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Abraham Samad, ketua KPK, bersama Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan gagah berani menetapkan BG sebagai tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan dari pejabat negara.

Perlawanan BG (baca: Polri) terhadap KPK dilancarkan melalui jalan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dan menang. BG pun bebas dari status tersangka KPK. Opini masyarakat dan politisi terbelah dua: Satu kelompok meminta BG dilantik sebagai Kapolri baru, di sisi lain banyak kalangan masyarakat dan relawan Jokowi yang minta BG tidak dilantik.

Jokowi akhirnya mengikuti desakan para relawan: tidak melantik BG sebagai Kapolri baru, melainkan Komjen Badrodin Haiti. Jokowi ”membiarkan” BG sebagai Wakapolri (16/4/2015).

Seiring berjalannya waktu, rivalitas Senayan dengan rezim Jokowi semakin sengit menginjak Desember 2015. Kasus rekaman percakapan dalam pertemuan antara Setya Novanto (ketua DPR), Riza Chalid, dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR merupakan upaya rezim Jokowi untuk ”membongkar” kelompok lawan politik di DPR yang notabene sangat berkaitan dengan bisnis besar yang kelak mendukung rezim Jokowi.

Dalam kasus rekaman ”papa minta saham”, tampak Jokowi dan Jusuf Kalla ”bersatu” untuk membongkar pencatutan nama presiden serta wakil presiden. Mereka juga ingin melawan komprador politisi dan pebisnis lama. Sementara itu, dalam pansus kasus Pelindo II, justru politisi PDIP secara vulgar menghantam Jusuf Kalla.

Pertanyaan besarnya: Apakah serangan politisi PDIP di Senayan itu merupakan ”titipan” Jokowi untuk menyodok JK? Apakah serangan politisi PDIP kepada Jokowi untuk memutus mata rantai JK di politik istana dan bisnis nasional? Ataukah ada keretakan kuat antara Megawati dan Rini Soemarno?
Atau, apakah Rini telah berjalan sendiri sehingga kurang ” ngopeni” politisi PDIP? Apa pun motivasinya, di balik rekomendasi pansus Pelindo II itu jelas ada ”permufakatan” politik untuk menyudutkan Jokowi ke dalam situasi dilematis.

Jika benar DPR akan membentuk pansus Freeport dan nanti mengeluarkan rekomendasi pengusiran Amerika Serikat (AS) dari Papua, hampir pasti terjadi kegaduhan politik lagi. Di sana, ada masa depan Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pola manajemen raksasa internasional yang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Artinya, pansus Pelindo II serta Freeport (kelak) akan semakin memperumit pola konflik politik Senayan dan Jokowi di satu sisi, juga menghadapi perpecahan di internal istana Jokowi di sisi lain. Tahun 2016 akan mulai gaduh lagi seperti akhir tahun 2015.

Kedua, sepanjang 2015, rezim Jokowi berusaha menata wajahnya sebagai rezim ”negara hadir di tengah masyarakat” (NHTM). Ada dua jalan menuju NHTM, yaitu represif dan persuasif legal-formal. Selama 2015, lebih banyak kesan represif dari wajah NHTM. Tangan represif NHTM adalah polisi. Polisi digunakan sebagai apparatus repressive. Tangan represif itu dimulai dari ”mengatur dan menjinakkan” KPK, ”mengobrak-abrik” kantor R.J. Lino, sampai mengeluarkan surat edaran (SE) Kapolri soal hate speech.

Ketiga, intervensi rezim ke parpol oposisi dan organisasi sosial (PSSI). Sepanjang 2015, kita menyaksikan bahwa konflik parpol sangat intensif. Partai Golkar dan PPP pecah karena masalah internal.

Sikap rezim Jokowi jelas: memihak kelompok yang prorezim. Selain itu, rezim Jokowi menarik PAN masuk ke gerbong pemerintah. Masuknya PAN memastikan adanya reshuffle jilid II tahun depan.

Sejauh ini, perlawanan masyarakat yang paling kuat terhadap rezim Jokowi datang dari kelompok buruh. Tahun depan mungkin kelompok buruh akan terus melawan PP No 78 Tahun 2015 mengenai pengupahan.

Keempat, kita boleh lega karena proses pilkada serentak pada 9 Desember lalu berjalan baik, kecuali penetapan hasil pilkada yang menimbulkan konflik luas dan kerusuhan. Artinya, rakyat Indonesia secara politis lebih dewasa daripada elite politiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar