Kamis, 31 Desember 2015

Dana Ketahanan Energi

Dana Ketahanan Energi

  Pri Agung Rakhmanto  ;  Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pekan lalu, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter dan solar turun dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950. Harga baru ini mulai diberlakukan pada 5 Januari 2016. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya Rp 6.950/liter, sedangkan solar Rp 5.650/liter. Namun, untuk kepentingan pengembangan energi terbarukan, pemerintah menambah Rp 200/liter pada harga premium dan Rp 300/liter pada harga solar. Dana Rp 200/liter dan Rp 300/liter yang diambil dari harga premium dan solar ini diklaim merupakan dana ketahanan energi.

Dasar hukum lemah

Gagasan tentang dana ketahanan energi seperti yang dicetuskan Menteri ESDM pada dasarnya baik. Namun, untuk mengimplementasikannya menjadi kebijakan resmi, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu harus memiliki pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.

Saya menilai rujukan peraturan yang digunakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan dana ketahanan energi ini, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak cukup kuat. Pasal 30 Ayat 1, 2, dan 3 UU No 30/2007 memang menyebut tentang dana untuk penelitian pengembangan energi. Namun, untuk pengaturan lebih lanjut tentang itu, pada Ayat 4 disebutkan, diperlukan PP. Dalam konteks ini, PP yang dimaksud adalah PP tentang pendanaan kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, yang mungkin dalam konteks kebijakan dana ketahanan energi bisa menjadi lebih relevan.

Dengan demikian, PP No 79/2014 bukan aturan pelaksana yang dimaksud Pasal 30 UU No 30/2007. PP No 79/2014 memang menyebut tentang adanya premi pengurasan (depletion premium)energi fosil yang dapat diperuntukkan bagi kegiatan eksplorasi migas, selain bagi pengembangan energi baru terbarukan, sumber daya manusia, penelitian pengembangan, dan infrastruktur. Namun, PP itu tak secara spesifik mengatur bahwa premi pengurasan itu diambil dari sebagian harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diterapkan pemerintah dalam kebijakannya saat ini.

Dengan kata lain, saya berpendapat bahwa PP No 79/2014 ini pun tidak cukup kuat sebagai landasan hukum untuk ”memungut” dana ketahanan energi dari harga BBM yang diberlakukan di masyarakat.

Premi pengurasan

Secara konseptual, premi pengurasan pada dasarnya adalah sejumlah nilai ekonomi tertentu yang dikenakan pada aktivitas pendayagunaan suatu sumber daya (energi) yang tidak terbarui. Tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan sumber daya energi (tersebut) selama mungkin atau juga untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi lain dalam arti yang lebih luas.

Dalam praktiknya, sebagaimana diterapkan di banyak negara, hal ini dapat secara langsung diambilkan dari sebagian penerimaan yang diperoleh dari pendayagunaan sumber energi non-terbarukan atau dapat juga dikenakan dalam bentuk pajak yang dimasukkan sebagai salah satu komponen harga energi. Dalam konteks Indonesia, kedua cara ini pada dasarnya sama-sama dapat diterapkan.

Pemerintah—melalui instrumen APBN, dengan persetujuan DPR tentunya—dapat secara langsung menyisihkan sebagian penerimaan negara (penerimaan negara bukan pajak/PNBP) yang diperoleh dari pengusahaan energi non-terbarukan, seperti migas atau batubara. Pemerintah melalui instrumen pajak juga dapat menetapkan pajak premi pengurasan sejumlah tertentu pada harga energi yang diberlakukan kepada masyarakat. Sesuai filosofinya, hasil penyisihan sebagian PNBP energi nonterbarukan atau pajak tersebut harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi penyediaan energi nasional secara berkelanjutan.

Untuk menerapkan salah satu atau keduanya di Indonesia, tetap terlebih dahulu harus ada dasar hukum yang kuat dan jelas, yang secara khusus mengatur tentang bagaimana premi pengurasan itu akan diterapkan, bagaimana mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, dan pertanggungjawabannya. Saran sederhana saya, dasar hukum yang kuat dan jelas mesti ada dulu, baru kebijakan dana ketahanan energi diterapkan.

Satu hal yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi perekonomian nasional, yang saat ini tengah memerlukan stimulus, cara menyisihkan sebagian PNBP energi non-terbarukan secara langsung melalui mekanisme APBN mungkin akan lebih baik dibandingkan memberi ”beban” tambahan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Jadi, kiranya tidak ada salahnya jika kebijakan dana ketahanan energi yang akan dijalankan saat ini ditinjau ulang dan dikaji kembali lebih mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar