Sabtu, 26 Desember 2015

Novanto, Pidana, dan Nasib Baik Anggota DPR

Novanto, Pidana, dan Nasib Baik Anggota DPR

  Feri Amsari  ;  Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
                                           MEDIA INDONESIA, 26 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEUMPAMA ada manusia yang selalu beruntung di muka bumi, mungkin anggota DPR salah satunya. Jika tersungkur, mereka akan jatuh di tempat yang empuk. Dalam kondisi apa pun, anggota DPR tak pernah mengalami kerugian.
Analogi manusia paling beruntung itu mungkin tepat untuk menggambarkan betapa mujurnya nasib yang diterima mantan Ketua DPR Setya Novanto. Meski mayoritas anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menyatakan anggota Partai Golkar itu terbukti melanggar kode etik yang sanksinya sedang atau berat, Setya Novanto tetap menjadi anggota DPR yang mulia.

Walau Setya Novanto melakukan langkah pengunduran diri agar MKD tidak menjatuhkan putusannya, mantan Bendahara Partai Golkar itu tetap bernasib baik. Setya diberikan jabatan hebat, Ketua Fraksi Partai Golkar.

Pemberian jabatan baru itu tentu saja memperlihatkan dukungan Partai Golkar terhadap anggotanya yang terlibat kasus ‘Papa Minta Saham’ itu. Apa yang menyebabkan Partai Golkar mempertahankan anggotanya yang telah merusak muruah partai sedemikian rupa? Bukankah pemberian jabatan pimpinan fraksi akan menimbulkan luka bagi perasaan keadilan masyarakat? Apa pula logika politik yang digunakan anggota MKD dalam memberikan sanksi kepada pimpinan DPR yang telah terbukti melanggar etik?

Jika Senayan salah langkah dalam menghukum para pelanggar etik, bukan tidak mungkin kejahatan serupa semakin marak terjadi dan kian meruntuhkan wibawa para wakil rakyat.

Sedang atau berat?

Puncak perdebatan dalam perkara Setya Novanto ialah apakah pertemuan mantan Ketua DPR itu dengan para pebisnis tersebut merupakan pelanggaran etik yang harus diberi sanksi sedang atau sanksi berat? Jawabanya hukumnya mungkin tidak terlalu rumit, yaitu setiap anggota dewan yang melanggar sumpah atau janji yang terkait dengan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran etik berat.

Meskipun jawaban hukum itu begitu sederhana, dalam ruang politik, jawaban sederhana itu dapat berganti rumit. Bagaimanapun perhitungan politik tak dapat disejajarkan dengan logika penegakan hukum yang baik. Secara politis, kasus ‘Papa Minta Saham’ tidak akan mungkin diberi sanksi berat karena berpotensi memperpanjang episode persidangan.

Simak ketentuan Pasal 148 ayat (1) UU No 17/ 2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang berbunyi ‘dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, Mahkamah Kehormatan Dewan harus membentuk panel sidang pelanggaran kode etik anggota DPR’. Ketentuan itu menghendaki agar anggota DPR yang diberhentikan harus terlebih dulu melalui proses persidangan panel ketika diberi sanksi berat yang berdampak pada pemberhentian anggota.

Mayoritas anggota MKD yang berseberangan dengan Setya Novanto tentu tidak ingin memperpanjang perdebatan berkepanjangan melalui panel sidang. Logika politik semacam itu dapat dimengerti, apalagi jika merujuk ke ketentuan Pasal 147 ayat (8) huruf c UU MD3 yang menentukan sanksi berat disertai dengan pemberhentian sementara yang berlangsung tiga bulan dan berujung pada pemberhentian tetap melalui panel sidang dan paripurna DPR.

Potensi keributan dan mengulur waktu dapat saja dilakukan anggota MKD yang mendukung Setya Novanto melalui sanksi berat. Itu sebabnya anggota MKD yang berasal dari Partai Golkar memberikan sanksi berat yang bertujuan memperpanjang jabatan Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Apalagi, ‘perang’ di panel dan paripurna DPR berpotensi membalikkan keadaan dan berubah menjadi mempertahankan kursi pimpinan yang dimiliki Setya Novanto.

Akhirnya, pilihan mayoritas anggota MKD untuk memberikan sanksi sedang kepada Setya Novanto yang dapat memberhentikannya dari jabatan Ketua DPR sangat masuk akal. Namun, pemberian sanksi sedang itu tidak berarti pelanggaran yang terjadi tidak pantas untuk dihukum berat.

Mestinya mayoritas MKD harus memahami bahwa terminology sanksi berat bermakna sanksi sedang berupa pemberhentian dari pimpinan DPR ditambah dengan sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR. Jika tidak dimaknai demikian, tentu sanksi berat terkesan lebih ringan dari sanksi sedang. Pemaknaan yang salah MKD terhadap sanksi berat itu membuat nasib baik berpihak kepada Setya Novanto.

Lanjutkan pidana

Nasib baik mungkin memihak Setya Novanto dalam persidangan MKD. Namun, keberuntungan yang sama belum tentu menyertai Ketua Fraksi Golkar yang baru tersebut dalam ranah hukum pidana. Kejaksaan Agung telah melakukan langkah-langkah penyelidikan yang menggali unsur pidana dari pertemuan ‘Papa Minta Saham’ tersebut.

Pilihan kejaksaan terhadap pertemuan itu bisa beragam, mulai tindak pidana pemufakatan jahat, suap, gratifikasi, hingga tindak pidana korupsi lainnya. Belum lagi potensi pencemaran nama baik terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Dengan menyimak kemarahan Presiden dan Wakil Presiden terhadap kasus tersebut, mustahil jika pihak Kejaksaan Agung mengulur-ulur waktu menindaklanjuti proses pidananya.

Pihak kejaksaan harus memanggil para pihak dan mengumpulkan alat bukti yang dapat membuat terang perkara tersebut. Jika pelaku pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden itu lolos dari sanksi pidana, saya dapat membayangkan akan semakin marak anggota dewan yang akan menjual nama Presiden. Langkah kejaksaan menindaklanjuti proses pidana `Papa Minta Saham' tentu berkaitan dengan perlindungan terhadap nama baik orang nomor satu di republik ini.

Membiarkan perkara ini hanya menjadi komoditas politik di MKD dan mengabaikan proses pidananya hanya akan mengukuhkan betapa bernasib baiknya menjadi anggota DPR. Ingat ketentuan UUD 1945, semua orang sama di hadapan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar