Selasa, 22 Desember 2015

Kangen

Kangen

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 20 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Teman saya mengirimkan pesan terbuka di sebuah media sosial bahwa ia kangen sama saya. Ia bukan seorang teman lama, tetapi kami sudah lama tak berjumpa. Belakangan, beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Satu di antara mereka adalah yang memang sudah lama sekali tidak berjumpa.

Sibuk

Setelah membaca beberapa pesan itu, saya melakukan usaha agar kekangenan itu dapat segera terpenuhi. Kata segera itu lahir karena otak saya yang berpikir demikian. Namanya juga kangen, artinya bukan sekadar ingin bertemu.

Nah, karena pikirannya begitu, eksekusinya adalah mengirim pesan langsung alias japri kepada mereka yang katanya kangen itu. Tetapi, apakah hasilnya? Sampai tulisan ini saya buat, saya belum berjumpa dengan mereka. Kalau dihitung, sudah nyaris dua minggu sejak berita rindu itu berada di ruang publik.

Kalau ditanya mengapa masih juga belum melepas rindu? Yang satu menjawab masih sibuk dan yang satu lagi tidak menjawab sama sekali sampai artikel ini saya tulis. Peristiwa inilah yang memberi inspirasi menuliskan artikel untuk kolom mingguan ini. Ternyata bingung itu bisa menjadi sumber inspirasi menulis.

Saya bingung karena mulut bilang kangen, tetapi niat untuk melepas rindu tak ada sama sekali. Karena saya takut salah mengartikan kata kangen, maka saya melihat kamus bahasa Indonesia. Siapa tahu kalau ternyata kata kangen itu sama sekali tidak menunjukkan adanya sense of urgency.

Kangen dalam kamus besar yang saya lihat secara online penjelasannya singkat sekali, tegas dan jelas. Kangen itu ingin sekali bertemu; rindu. Nah, kalau demikian artinya, maka derajat keinginan berjumpa di atas rata-rata. Kata sekali dalam kalimat ingin sekali bertemu menunjukkan bahwa inginnya itu bukan ingin yang ecek-ecek, bukan hanya sekadar ucapan bibir semata. Ya, kan?

Nah, kalau kemudian saya mendapat jawaban sibuk, apakah kira-kira yang ada di benak mereka ketika menuliskan pesan rindu itu? Sungguh saya tak tahu. Buat saya yang lebih penting, di lain waktu kalau ada yang menuliskan atau menyuarakan kangen banget, saya tak perlu terlalu gegabah menanggapinya.

Penipu

Kejadian itu persis seperti banyak manusia yang mengirimkan pesan untuk menanyakan sesuatu kepada saya, dan ketika yang sesuatu itu sudah didapati, beberapa di antara mereka mengakhiri percakapan dengan kalimat super basi, cliché dan munafik, I miss you dear.

Saya mengelompokkan sebagai ucapan yang tak bermakna sama sekali. Saya sungguh yakin mereka sama sekali tidak merasa kangen dan rindu, yang penting apa yang mereka butuhkan sudah ada di tangan. Kalimat penuh kepalsuan itu adalah kalimat penutup yang kelihatan santun dan melibatkan emosi ke dalamnya. Padahal, sama sekali itu bukan emosi. Itu penipuan.

Nah, karena saya ditipu, selama ini saya menipu balik dengan membalas I miss you too. Padahal, saya miss mereka saja tidak. Saya tahu, Anda mungkin berpikir, elo gak ada bedanya. Dua-duanya penipu. Saya menerima dengan senang hati kalau Anda berpikir demikian. Sejujurnya saya melakukan penipuan dengan kalimat I miss you itu sudah berjuta-juta kali.

Mengapa saya ikut-ikutan jadi penipu, karena saya sungkan. Masak orang bilang aku kangen kamu, saya tidak membalas dengan kalimat yang sama? Sama seperti kalau orang menutup percakapan dengan emoticon mencium, maka saya membalas dengan hal yang sama.

Kan katanya menurut etika pergaulan, harus demikian adanya. Tidak sopan kalau tidak membalas. Meski dalam kenyataannya, saat saya berjumpa dengan beberapa manusia berpredikat socialite, ciuman pipinya pun hanya basa-basi. Artinya tidak bersentuhan. Mereka memberi istilah air kiss. Jadi yang dicium udara, bukan sentuhan dua pipi manusia.

Menipunya karena tidak ada kesungguhan di dalamnya. Tidak sungguh-sungguh kangen, tidak sungguh-sungguh ingin sekali bertemu, tidak sungguh-sungguh ingin mencium sebagai sebuah bentuk mengungkapkan perasaan. Tidak sungguh-sungguh melakukan sebuah kebaikan.

Kalimat kangen atau I miss you itu seperti rambut palsu. Kelihatan cantik, tetapi toh tetap palsu. Kemudian nurani saya menyerang di saat yang tepat. "Makanya, kalau kamu berdoa, juga jangan palsu. Berdoa itu dengan perasaan rindu berjumpa dengan Tuhan, dengan cinta. Jangan basa-basi, jangan cuma berdoa kalau ada maunya doang."

"Berhenti jadi penipu. Gak usah bilang kangen kalau kagak kangen. Jadi manusia itu mukanya cukup satu, enggak usah sampai punya dua. Kayak sepasang sepatu aja. Emang sana sepatu?" Kalau nurani sudah sebawel seperti ini, saya mending mengalah saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar