Kamis, 24 Desember 2015

Rapor Merah Ekonomi Akhir Tahun

Rapor Merah Ekonomi Akhir Tahun

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                                     HALUAN, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Badan Pusat Sta­tistik (BPS) me­nyatakan bahwa impor Indonesia pada November 2015 yang mencapai 11,51 miliar do­lar Amerika Serikat menga­lami kenaikan sebesar 3,61 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya 11,10 miliar dolar AS.

Se­cara teknis, ada peningkatan impor pada empat golongan barang untuk bulan Novem­ber dibandingkan bulan Oktober 2015, namun jika dibandingkan dengan tahun lalu masih mengalami penu­runan. Empat golongan barang tersebut adalah me­sin dan peralatan listrik yang naik sebesar 11,71 persen, besi dan baja sebesar 17,65 persen, kendaraan dan ba­gian­nya sebesar 0,96 persen dan benda dari besi dan baja sebesar 21,79 persen.

Sementara itu jika di­ban­dingkan dengan bulan yang sama tahun 2014 lalu, BPS mengatakan, kinerja impor masih mengalami penurunan sebesar 18,03 persen di mana pada bulan yang sama di tahun tersebut tercatat impor sebesar 14,04 miliar dolar AS. Untuk impor non migas pada No­vem­ber 2015 mencapai 9,87 miliar dolar AS atau me­ning­kat 5,60 persen jika dibandingkan Oktober 2015 yang tercatat sebesar 9,34 miliar dolar AS, namun demikian masih tercatat turun 6,62 persen jika diban­dingkan November 2014.

Sementara itu, impor migas pada bulan yang sama mencapai 1,64 miliar dolar AS atau turun 6,95 persen jika dibandingkan bulan Oktober tahun 2015. Demikian pula jika dibandingkan dengan bulan November 2014, maka tercatat turun sebesar 52,76 persen, yak­ni  3,47 miliar dolar AS. Secara kumulatif nilai im­por Januari-November 2015 (year to date) sudah mencapai 130,61 miliar dolar AS atau turun 20,24 persen dibanding periode yang sama tahun 2014. Kumu­latif nilai impor terdiri dari impor migas sebesar 22,82 miliar dolar AS yang turun 43,06 persen dan nonmigas 107,79 miliar dolar AS yang turun 12,84 persen.

Disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) juga melan­sir bahwa neraca perdagangan pada bulan November 2015 tercatat mengalami defisit sebesar 346,4 juta dolar Amerika Serikat. Ini adalah defisit pertama kali selama tahun 2015 alias baru terjadi pada bulan November. Sementara un­tuk bulan lainnya tercatat masih mengantongi surplus, walaupun surplus yang ter­ja­di akibat pengempisan kapitalisasi import. Defisit dipicu oleh defisit sektor mi­gas sebesar 0,06 miliar do­lar AS dan nonmigas se­besar 0,29 miliar dolar AS. Untuk nilai impor pada bu­lan November 2015 ter­ca­­tat sebesar 11,51 miliar do­lar AS, sementara ekspor se­besar 11,16 miliar dolar AS.

Jika dilihat dari sisi volume perdagangan, nera­ca volume perdagangan Indonesia mengalami surplus se­besar 28,37 juta ton. Hal tersebut didorong oleh sur­plus neraca sektor migas sebesar 0,56 juta ton dan nonmigas sebesar 27,81 juta ton. Dan jika dilihat dari sisi kinerja ekspor impor ber­dasarkan negara, untuk wi­la­yah ASEAN, khususnya dengan Thailand, Indonesia mengantongi defisit sebesar 250,6 juta dolar AS pada November 2015. Dengan Uni Eropa, defisit hanya terjadi dengan Jerman sebe­sar 71,4 juta dolar AS.

Namun, dengan negara utama lainnya, khususnya Tiongkok, defisit perdagangan mencapai 1,5 miliar dolar AS pada November 2015, sementara sepanjang tahun 2015 hingga bulan yang sama mencapai 14,42 miliar dolar AS. Bahkan menurut BPS, dalam satu bulan saja, defisit dengan Tiongkok bisa mencapai 1,5 miliar dolar AS. Namun secara kumulatif untuk pe­rio­de Januari—November 2015 (year to date), neraca perdagangan Indonesia ma­sih mengantongi surplus sebesar 7,81 miliar dolar AS dengan nilai ekspor pada periode yang sama, men­capai 138,42 miliar dolar AS, sementara impor sebe­sar 130,61 miliar dolar AS.

Dengan kondisi perda­gangan yang agak terseok-seok seperti itu, sangat bisa dipahami jika Bank Dunia masih mempertahankan proyeksi yang dikeluarkan bulan Oktober 2015 lalu, yakni pertumbuhan ekono­mi Indonesia pada 2016 hanya sebesar 5,3 persen dan pada tahun ini sebesar 4,7 persen. Proyeksi ini sangat didasari oleh sudut pandang belanja peme­rin­tah yang masih dianggap akan bisa menjadi sumber pertum­bu­han Indonesia pada tahun 2016, meskipun Indonesia ma­sih akan ter­ombang-am­bing di tengah tingginya te­kanan ekonomi global yang bisa meng­hambat ki­ner­­ja ekspor dan aliran in­ves­tasi.

Bagaimanapun, inves­tasi pemerintah yang lebih banyak diarahkan untuk membangun infrastruktur, terutama infrastruktur pela­yanan dasar seperti layanan kesehatan dan program ban­tuan sosial diperkirakan akan menjadi dasar yang memperkuat proyeksi per­tumbuhan ke depan disatu sisi dan dapat membantu masyarakat miskin dan ren­tan disisi yang lain. Jika dilihat dari data kemen­terian keuangan misalnya, Belanja modal Indonesia akan  meningkat menjadi 2,5 persen dari Produk Do­mes­tik Bruto pada tahun 2016, dibanding tahun 2015 yang hanya sebesar 2,2 per­sen. Bahkan salah satu pagu belanja modal, yakni belanja infrastruktur, mencapai angka Rp313,4 triliun.

Namun demikian, ada yang disayangkan yang akan menghalangi proyeksi ini, yakni penerimaan negara yang kian seret. Tingginya belanja modal di tahun 2016 tentu harus diimbangi dengan upaya pemerintah dalam menggenjot peneri­maan, terutama dari sektor pajak. Masalahnya, rencana pendapatan negara tahun depan yang sebesar Rp1.822 triliun bisa sangat sulit ter­ca­pai karena tekanan eko­nomi global dan pelandaian harga komoditas yang masih menghantui. Jika pene­rima­an pemerintah pada tahun 2016 tetap lemah, momen­tum belanja infra­struk­tur publik untuk men­do­rong percepatan perekonomian nasional justru bisa teran­cam karena ketidakpastian faktor pembiayaan akibat seretnya penerimaan.

Lihat saja shortfall tahun ini, penerimaan pajak juga meleset jauh dari target yang ditetapkan. Target pajak yang ditetapkan dalam AP­BN-P 2015 adalah sebesar Rp 1.294 triliun. Sampai 22 November, penerimaan ba­ru tercatat sekitar 828,93 triliun atau 64% dari target. Selisih dana yang harus dikejar dalam satu bulan mencapai Rp 465 triliun, yang diakui atau tidak, akan sangat tidak mungkin dica­pai dengan rentang waktu yang tersisa.

Mau tak mau, tahun de­pan pemerintah harus be­nar-benar menetapkan ska­la 
prioritas pembiayaan yang sesuai dengan prediksi yang sesuai pula dengan rencana penerimaan negara. Pembiayaan untuk infra­struktur utama yang akan menggenjot pertumbuhan harus dikombinasikan de­ngan pembiayaan-pembiayaan proyek kesejahteraan sosial yang akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat agar tingkat konsumsi bisa diper­ta­han­kan, bahkan ditingkatkan. Selain itu, pemerintah harus terus mencari terobosan baru peningkatan peneri­ma­an negara dari sektor pajak yang terus terancam seret, baik dengan perluasan di­ver­sifikasi komoditas eks­por andalan yang akan menghasilkan tambahan pajak maupun dengan kon­sesi-konsesi ekonomi poli­tik yang akan memperluas basis objek pajak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar