Selasa, 22 Desember 2015

Momentum Meluruskan Kiblat Industri Manufaktur

Momentum Meluruskan Kiblat Industri Manufaktur

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Institute for Development of Economic and Finance
                                                      KOMPAS, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dampak pelambatan kinerja ekonomi global, terutama pelambatan ekonomi Tiongkok, berdampak pada harga komoditas. Sampai dengan beberapa tahun ke depan, harga berbagai komoditas di pasar global diprediksi masih belum membaik. Tak terkecuali berbagai komoditas andalan ekspor Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, kakao, juga mineral, serta minyak dan gas. Padahal, hampir 80 persen ekspor Indonesia masih berupa komoditas tersebut. Kondisi ini tentu menjadi tantangan cukup berat terhadap kinerja ekspor Indonesia.

Di sisi lain, ironisnya ketergantungan impor bahan baku dan penolong industri juga cukup tinggi. Hampir semua industri manufaktur memiliki ketergantungan bahan baku dan penolong, termasuk industri untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti industri farmasi, tekstil, alas kaki, dan makanan minuman.

Sebagai contoh, sekalipun bahan baku untuk industri makanan minuman tersedia di dalam negeri, tetapi karena kebutuhan kepastian pasokan, akhirnya dipenuhi oleh impor. Sebagai negara agraris dan maritim, tentu ironis bagi Indonesia ketika bahan baku seperti gula, garam, kulit, susu, dan daging sapi untuk industri harus mengimpor. Belum lagi ketergantungan impor bahan penolong produk kemasan, seperti plastik dan kaleng, yang mengambil porsi cukup besar dalam biaya produksi.

Meskipun demikian, di balik tantangan berat tersebut, mestinya justru dapat menjadi peluang emas. Dengan masih rendahnya harga berbagai komoditas di pasar global, dapat menjadi bahan baku yang tersedia relatif melimpah untuk industri dalam negeri. Artinya justru menjadi momentum percepatan berbagai hilirisasi industri yang berdaya saing. Waktunya bagi Indonesia untuk menghentikan ekspor komoditas dan mengolah berbagai hasil sumber daya alam, baik yang berasal dari perut bumi maupun di atas bumi. Demikian juga, depresiasi nilai tukar rupiah sekitar 11 persen menjadi momentum untuk membangun industri substitusi impor.

Proses pengolahan komoditas melalui industri tidak hanya meningkatkan nilai tambah dari komoditas, tetapi juga menggerakkan industri lain. Pengolahan sawit, kakao, karet, dan komoditas lain akan menarik sektor belakangnya (backward linkage) ataupun sektor ke depannya (forward linkage). Berbagai agroindustri tidak hanya mendorong pertumbuhan sektor perkebunan, tetapi juga mendorong sektor perdagangan dan semua sektor jasa. Setiap produksi dan distribusi barang tentu membutuhkan dukungan sektor keuangan, jasa transportasi, jasa komunikasi, jasa asuransi, periklanan, dan sebagainya.

Perhitungan penyerapan tenaga kerja pun tidak hanya dari penggunaan tenaga kerja pada industri yang bersangkutan, tetapi juga dari dampak pengganda semua sektor yang ikut tumbuh. Dengan demikian, dampak terhadap penerimaan pajak pun berlipat. Tidak hanya sekadar penerimaan dari pungutan pajak bea keluar ekspor komoditas, tetapi hampir semua komponen pajak akan menjadi obyek penerimaan.

Kunci utama menggerakkan industri manufaktur tentu harus ada investasi. Berbagai paket stimulus fiskal pemerintah yang terpenting harus konkret dan efektif menghilangkan kendala investasi. Berbagai insentif fiskal tentu akan menjadi daya tarik investor. Namun, jika prasyarat dasar investasi belum mampu terpenuhi, investasi tetap tidak akan terealisasi. Ketersediaan infrastruktur dasar, seperti pasokan energi, sistem logistik yang efisien, dan juga air bersih, lebih penting daripada insentif fiskal. Apalagi ketersediaan kawasan industri, karena sesuai amanat UU Nomor 3/2014 tentang Perindustrian, semua industri harus berada di kawasan industri.

Percepatan pembangunan kawasan industri atas prakarsa pemerintah mutlak diperlukan, terutama untuk luar Jawa. Di samping ketersediaan lahan, potensi pengembangan industri berada di luar Jawa. Kondisi infrastruktur di luar Jawa yang terbatas tentu belum mampu menarik minat investasi swasta untuk membangun kawasan industri. Untuk itu, urgen dibutuhkan badan layanan umum yang bertugas melakukan percepatan pembangunan kawasan industri atas prakarsa pemerintah.

Menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tentu kompetisi semakin ketat. Pertarungan hanya akan dimenangi oleh industri yang efisien. Indonesia harus mampu memetakan industri-industri yang memiliki daya saing. Faktor penentu efisiensi dan daya saing dimulai dari ketersediaan bahan baku lokal dan faktor produksi yang efisien. Tentu juga harus didukung oleh kualitas tenaga kerja yang terampil dan memiliki keahlian. Sebagian besar industri yang mengolah sumber daya masih pada level nilai tambah dan teknologi yang terbatas.

Fokus kebijakan pemerintah harus mampu meyakinkan semua pemangku kepentingan terhadap komitmen program hilirisasi industri dan membangun industri dasar. Perdebatan memprioritaskan industri substitusi impor (inward looking) atau industri promosi ekspor (forward looking) sudah tidak lagi relevan. Ke depan, kiblat industri harus yang betul-betul efisien dan dapat memenangi persaingan. Baik persaingan di pasar global maupun persaingan di pasar domestik sebagai antisipasi penetrasi impor dampak pemberlakuan MEA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar