Selasa, 22 Desember 2015

Peran Sentral Ibu di Dalam Dunia Pendidikan

Peran Sentral Ibu di Dalam Dunia Pendidikan

Anton Prasetyo  ;  Mengajar di Pondok Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP kali mengakhiri Desember, tepatnya tanggal 22, kita selalu memperingati Hari Ibu. Sungguh, ibu merupakan sosok yang memiliki peran luar biasa dalam segala bidang kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Keberadaan seorang ibu mampu memengaruhi kesuksesan ataupun kegagalan pendidikan anak. Bahkan, dalam adagium Arab disebutkan bahwa Al-ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha, a’dadta sya’ban thayyibal a’raq (ibu ialah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, engkau telah mempersiapkan generasi terbaik).

Jika saja di dunia ini tidak ada seorang ibu tanggap bernama Nancy Matthews Edison, mungkin hingga saat ini dunia masih gelap. Meminjam istilah Munif Chatib, selain menjadi ibu, Nancy merupakan gurunya manusia yang tangguh. Ia mampu mendidik anaknya, Thomas Alva Edison, hingga menjadi ilmuwan dunia ketika dunia pendidikan formal sudah menyatakan angkat tangan. Di sekolah dasar, Edison hanya bertahan selama tiga bulan. Pasalnya, dalam waktu singkat tersebut, pihak sekolah sudah menyatakan Edison ialah anak bodoh, bahkan idiot.

Pascakeluar dari sekolah formal, Edison mengalami keputusasaan yang sangat karena merasa dirinya sangat bodoh. Saat itulah Nancy berperan sebagai pendidik sekaligus motivator tangguh. Dalam kondisi tertekan semacam itu, mestinya Nancy mengalami distres (stres yang berdampak negatif) sebagaimana jamaknya kaum ibu. Pukulan terhadap nasib anaknya justru menjadikan Nancy tetap berpikir positif sembari memberikan motivasi kepada Edison agar tetap mau belajar. Ia memanfaatkan stres menjadi eustress yang memberdayakan.

Cara mengajar Nancy yang menarik meningkatkan semangat Edison dalam menimba ilmu. Karakter yang dibangun Nancy pada Edison menjadikan anak terakhirnya ini lebih dewasa ketimbang anak-anak seusianya. Rahasia kesuksesan Nancy dalam mendidik Edison ialah mendedikasikan seluruh waktunya bagi pendidikan Edison. Ia juga tidak memaksakan kehendak, tetapi berusaha mengembangkan pengalaman dan mencari berbagai cara yang menarik untuk menggugah rasa ingin tahu dan keinginan Edison agar dapat belajar mandiri (abiumi.com). Edison pun tumbuh menjadi pribadi yang mengalami perluasan diri.

Dalam mengajar Edison, Nancy selalu menerapkan model pendidikan humanis. Nancy selalu melihat potensi yang ada pada diri Edison sebagaimana yang diajarkan dalam teori kecerdasan multiple intelligence, yakni berfokus pada kemampuan dan kelebihan sekaligus tidak memedulikan kelemahan yang ada. Saat Edison sudah memiliki semangat belajar kembali, Nancy dengan sabar selalu melayani proses belajar Edison walaupun melelahkan. Model belajar Edison yang sangat berbeda dengan kebanyakan anak seusianya membuatnya banyak bertanya dengan pertanyaan yang unik serta melakukan eksperimen-eksperimen lapangan yang unik pula. Namun, Nancy selalu memberikan apresiasi positif.

Dalam buku Thomas Alva Edison Saja Pernah Gagal Wahyu Indra Permana (2015) mengisahkan eksperimen-eksperimen konyol yang dilakukan Edison. Salah satu eksperimen itu ialah mengerami telur ayam. Bermula dari keingintahuan Edison terhadap perilaku induk ayam yang mengerami telur-telurnya, ia menanyakan alasan kepada Nancy. Nancy pun menjawab sesuai dengan yang diketahui, yakni agar telur-telur tersebut bisa menetas, berubah menjadi ayam sebagaimana induknya. Bagi Thomas, alasan Nancy ini justru 
semakin menambah rasa penasarannya. Hanya, ia urung menanyakan lagi hingga suatu ketika ia melakukan eksperimen mengerami telur-telur ayam milik saudaranya.

Melihat model belajar Edison yang suka dengan eksperimen lapangan, Nancy pun membangunkan laboratorium kecil di rumah. Kepada Edison, Nancy juga mengajarkan ilmu dasar (baca-tulis) serta berbagai macam ilmu pengetahuan, semisal ilmu pengetahuan alam, sejarah, dan sastra. Atas upaya keras Nancy yang tak kenal putus asa inilah, Edison yang semasa kecil dilabeli sebagai anah bodoh dan idiot bisa berkembang menjadi sosok ilmuwan dunia. Bahkan, berkat eksperimentasi bohlam lampunya, seluruh penduduk dunia merasakan hasilnya.

Kisah tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kisah betapa sosok ibu memiliki peran sentral dalam mendidik anak-anaknya. Di dalam sejarah ulama muslim, tentu kita tak asing dengan Imam Syafi’i. Ia yang hidup pada 767–820 Masehi merupakan seorang ulama fikih yang sampai saat ini masih menjadi kiblat sebagian umat muslim dengan mazhabnya, Syafiiah. Keberhasilan Imam Syafi ’i tak lepas dari peran seorang ibu yang begitu memperhatikan pendidikan anak tanpa memperhatikan nasib dirinya yang janda sekaligus miskin.

Di Indonesia, kita mengenal Ir Soekarno. Dalam sejarahnya, kebesaran nama Soekarno juga tak lepas dari peran sentral pendidikan dari ibu serta pengasuh yang dianggapnya sebagai ibu. Di dalam buku Sarinah (2015), S Wisnuwardhana memaparkan Sarinah merupakan tokoh yang memengaruhi kesadaran Soekarno terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Selain itu, ia juga menjadi seorang perempuan yang memantik rasa cinta Soekarno kepada bangsa dan Tanah Air Indonesia. Sebagai seorang pengasuh, Sarinah selalu berusaha menjadi ibu yang baik bagi Soekarno. Ia pun menanamkan rasa cinta dan pengabdian terhadap rakyat serta Tanah Air kepada Soekarno.

Tantangan

Sungguh tantangan yang dihadapi ibu Thomas, ibu Imam Syafi'i, ataupun ibu Soekarno terkait dengan keterbatasan kebutuhan domestik dan kenyamanan hidup tak ada bandingannya dengan ibu-ibu masa kini yang penuh dengan kemegahan dunia. Tantangan kebutuhan domestik dan kenyamanan hidup di masa mereka dapat ditepis dengan sikap rida atas pemberian Tuhan (nerima ing pandum).

Tantangan ibu-ibu sekarang ialah adanya pilihan menjadi perempuan karier dan merebaknya media informasi smart. Kemegahan-kemegahan tersebut sekilas dapat membantu ibu-ibu dalam menyukseskan pendidikan anak. Namun, kenyataannya, kementerengan status ibu sebagai perempuan karier ataupun media informasi canggih justru menjadikan para ibu terlena dengan pendidikan anak.

Dapat dibayangkan betapa sangat telantarnya pendidikan anak-anak perempuan karier yang dilengkapi dengan kehidupan serbadigital. Selama 24 jam, ibu-ibu semacam ini hampir tidak pernah memerhatikan pendidikan anaknya. Pagi-pagi benar, mereka sudah persiapan berangkat kerja.Jika ada waktu luang sedikit, mereka gunakan untuk berselancar di dunia maya, bahkan mengunggah foto kelucuan anaknya yang baru saja bangun tidur di media sosial. Selanjutnya, mereka asyik berkomentar atas posting-an tersebut hingga waktu berangkat kerja. Pada waktu sore atau malam hari, mereka sudah kelelahan hingga harus beristirahat. Jika toh masih bisa beraktivitas, yang dikerjakan juga yang ringan dan menyenangkan; membuka media sosial lagi.

Sementara itu, anak-anak mereka dipercayakan pada sekolah formal serta bimbingan belajar. Mereka dididik sesuai dengan kehendak pendidik tanpa memperhatikan bakat serta kelemahan anak. Hingga saat ini, pendidikan kita masih menganggap anak didik memiliki kualitas kecerdasan sama sehingga diperlakukan sama dalam pendidikan. Mereka dijejali materi pendidikan yang sama dan diharuskan dapat menyerap materi pendidikan yang sama pula. Jika tidak, anak tersebut akan terasing karena diangap bodoh.

Bermula dari sini, pendidikan formal yang mestinya mampu menjadi wadah perkembangan pendidikan anak justru menjadi alat tolok ukur kemampuan. Sementara itu, anak-anak justru mendapatkan pendidikan lebih dari tempat-tempat bimbingan belajar yang merebak di seluruh pelosok Indonesia. Padahal, bimbingan belajar pun umumnya merupakan lahan bisnis yang orientasinya ialah keuntungan, sedangkan patokan keberhasilan belajar anak didik ialah menguasai trik menjawab soal ujian (baca: bukan ilmu).

Bermula dari fenomena memprihantinkan semacam ini, peringatan Hari Ibu mesti menjadi momentum barharga bagi kaum ibu untuk semakin memperhatikan pendidikan anak. Jangan sampai pendidikan anak dinomorduakan jika dibandingkan dengan bekerja atau bahkan sekadar berselancar di dunia maya yang tiada manfaatnya. Ingat pepatah berbahasa Arab, syubbanul yaum rijalul ghadd (pemuda saat ini ialah pemimpin masa depan). Karena itu, persiapkanlah anak-anak kalian untuk masa depan mereka dan masa depan bangsa ini. Sebab, di tangan para ibu nasib bangsa ini akan ditentukan. Ibu pun menjadi salah satu tokoh sentral atas keberhasilan ataupun kegagalan anak. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar