Senin, 28 Mei 2018

Terorisme dan Konservatisme Politik


Terorisme dan Konservatisme Politik
Eduardus Lemanto ;  Mahasiswa Pre-faculty Program Doktoral Filsafat Politik, Peoples’ Friendship University of Russia
                                                          KOMPAS, 28 Mei 2018



                                                           
Sederetan aksi kejahatan terorisme belakangan ini tak bisa lagi dilihat sebagai potongan-potongan kejahatan kemanusiaan yang bersifat spontan, aksidental, dan fragmentaris. Sebab, terdapat pertalian sistematis yang menghubungkan kekacauan politik parpol-parpol dengan kejahatan kemanusiaan tersebut.

Pemeriksaan dua arah terhadap kelakuan politik mereka dalam kaitannya aksi-aksi teror tersebut sangat diperlukan. Pertama, pemeriksaan horizontal dan bersifat langsung dengan pertumbuhan semai-semai terorisme. Wujudnya dalam rupa bangunan relasi yang bersifat eksploitatif timbal balik dengan sayap-sayap ormas-ormas primordial-radikal. Kedua, pemeriksaan vertikal dalam kaitannya dengan political standing position parpol-parpol dalam berbagai kebijakan.

Konservatisme politik

Membaca tindak-tanduk terorisme tidak bisa mengesampingkan gelagat politik parpol-parpol yang ada. Gelagat itu menyuguhkan tegangan antara radikalisme politik di satu sisi yang diwakili oleh golongan penganut tatanan demokrasi liberal, dan konservatisme politik di sisi lain yang diwakili oleh golongan penganut tatanan nilai-nilai tradisional seperti dogma-dogma agama. Ketegangan ini tak hanya bermain di tingkat elite, tetapi sudah dan sedang bergejolak di akar rumput.

Gejolak itu menghasilkan letupan-letupan konflik yang mengerikan. Letupan di tingkat elite berupa konflik-konflik kepentingan seperti yang disuguhkan oleh lembaga legislatif, dari pusat hingga daerah. Bangsa ini disuguhkan segudang tunggakan proses dan penetapan legislasi. Satu yang menjadi sorotan adalah RUU Antiterorisme beberapa peristiwa berdarah tersebut.

Sementara letupan di akar rumput berwujud pembelahan masyarakat ke dalam kotak-kotak organisasi (baca: ormas-ormas), agama, kelompok, dan sebagainya. Yang tampak secara kasatmata adalah tumbuh suburnya ormas-ormas bermantel agama, terlepas dari apakah mereka semata menjadi kuda tunggangan yang dieksploitasi untuk kepentingan politik atau tidak. Namun, ormas-ormas ini berpotensi besar jadi kaki-kaki tempat pijakan berdiri kokohnya konservatisme politik Burkean (J Losco-L William, Political Theory, 2003).

Konservatisme politik yang dimaksudkan adalah paham penyatuan atau perkawinan agama dan negara. Idealnya, relasi keduanya bisa berjalan baik sejauh agama berada pada posisi suportif; bersifat mendukung terhadap negara sesuai porsinya dan ”tidak melompat pagar” ke ranah hukum yang berlaku umum. Poin ini penting ditekankan, apalagi dalam negara majemuk suku-agama-ras. Masalahnya, konservatisme politik semacam ini bisa berbelok ke arah yang menyesatkan dan sangat riskan bagi negara plural.

Kehadiran dan kelakuan destruktif ormas-ormas berbaju agama, misalnya, tidak bisa lagi kita lirik hanya dengan mata sebelah kiri. Eksistensi mereka bukan semata konsekuensi logis dari kebebasan berkumpul dan berpendapat. Sebab, persemaian konservatisme kelompok atau ormas-ormas ini bisa sangat memengaruhi dan menggoda kelakuan parpol-parpol demi perebutan kekuasaan.

Relasi keduanya tak hanya bersifat eksploitatif timbal balik pada level kuantitatif (lumbung suara), juga bisa masuk hingga ke level pengaruh timbal balik yang bersifat kualitatif. Artinya, parpol-parpol tak lagi memakai mereka semata sebagai kuda tunggangan dalam merebut kekuasaan, tetapi bisa menjadi kolaborator membangun politik konservatif karena kesamaan keyakinan atas nilai-nilai tradisional.

Eksploitasi massa konservatif dalam berbagai bentuk dan beberapa peristiwa, katakanlah dalam aksi-aksi demonstrasi misalnya, merupakan pemberian ruang terhadap benih-benih primordialisme secara terang-terangan. Sampai pada titik tertentu, mereka tidak lagi dipakai sebagai alat tekan politik, tetapi bisa berbuntut pada upaya memboyong bangsa ini ke negara berideologi tertutup.

Siapa yang untung? Sejarah mencatat bahwa model negara demikian, apalagi di negara berbangsa majemuk, tak mampu menyelamatkannya dari kehancuran. Ia tak pula menjamin kesejahteraan rakyatnya, atau menguntungkan agama, ormas atau masyarakatnya secara keseluruhan, selain kehancuran total karena permusuhan, konflik yang berujung perang saudara. Terorisme menjadi salah satu wujud destruktif dari proses itu.

Politik komplementaris

Menyelesaikan masalah terorisme di negeri ini mesti dimulai dari gerakan rehabilitasi kelakuan elite-elite politik. Disebut rehabilitasi karena bangsa ini sedang sakit parah dan mengalami gangguan mental. Gangguan itu tentu bersifat top-down; elite-elitenya bermasalah dan secara otomatis masyarakat di akar rumput mengalami kekacauan karena benturan-benturan kepentingan, yang menghasilkan masyarakat penuh kecurigaan.

Salah satu sumber persoalannya adalah disorientasi politik di tingkat elite. Politik yang dihasilkan dominan berupa kebisingan, sekaligus tanda ketakmatangan parpol-parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai pengeras suara rakyat dan jadi telinga pemerintah untuk mendengar suara rakyat. Yang disuguhkan justru politik kekanakan. Derajat egoisme partai lebih dominan ketimbang kepentingan publik.

Kondisi ini menghasilkan disfungsi di berbagai level (agama, organisasi mahasiswa, ormas, lembaga pendidikan, LSM, dan seterusnya) karena semua terperangkap ke dalam eksploitasi dan instrumentalisasi untuk kepentingan politik, ketimbang pendidikan politik. Padahal yang dibutuhkan bangsa ini adalah politik komplementaris; saling melengkapi. Oposisi bukanlah musuh dan yang pro-pemerintah bukanlah ”kerbau dicucuk hidung”. Dengan cara ini, setidaknya bangsa ini bisa secara perlahan keluar dari konservatisme politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar