Kamis, 03 Mei 2018

Tantangan Pendidikan Kita

Tantangan Pendidikan Kita
Agus Suwignyo  ;  Pedagog cum Sejarawan, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
                                                          KOMPAS, 02 Mei 2018



                                                           
Dua dekade Reformasi dan hampir tiga perempat abad sudah usia republik ini. Namun, dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi persoalan-persoalan dasar yang klasik, yaitu rendahnya mutu dan terbatasnya akses pendidikan.

Harian Kompas (27-28 dan 30/4/2018) memberitakan mutu dan daya saing pendidikan Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Salah satu indikatornya adalah hasil tes Program for International Student Assessment (PISA), yang menempatkan kemampuan anak-anak Indonesia dalam bidang sains, membaca, dan matematika jauh di bawah anak-anak Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand.

Kehilangan daya tarik

Pangkal persoalan adalah rendahnya kompetensi guru. Sekalipun secara formal telah memiliki sertifikat pendidik, banyak guru yang kompetensi pedagogik dan profesionalnya tidak memadai. Kompetensi mereka hanya sedikit di atas skor minimal kelulusan Ujian Kompetensi Guru (Kompas, 30/4/2018).

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berbanding lurus dengan tingkat keterserapan ke dunia kerja. Pada tahun 2015 pengangguran lulusan sekolah menengah atas (SMA) sebesar 21,88% menempati posisi tertinggi kedua setelah lulusan sekolah dasar (SD, 24,15%) dari total 17.300.019 penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menganggur. Di sisi lain angka pertumbuhan pengangguran lulusan perguruan tinggi (PT; diploma dan sarjana) mencapai 1.619.329 orang (9,36%), dan cenderung melaju lebih cepat daripada lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).

Secara keseluruhan, sampai tahun 2017 sekitar sepertiga penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun hanya mengenyam pendidikan SD. Di antara lulusan SD yang melanjutkan hingga tamat sekolah menengah pertama (SMP), sekitar 75 persennya meneruskan ke sekolah lanjutan atas (SLA; SMA/SMK), tetapi hanya sekitar 80 persen dari 75 persen itu yang bertahan sampai tamat SLA. Postur tenaga kerja Indonesia saat ini terbesar berpendidikan SD (28,03%) dan SLA (25,1%). Postur ini tidak jauh berbeda dengan data tahun 1996.

Banyaknya tenaga kerja pada kelompok (cohort) lulusan SD dan lulusan SLA mungkin menjadi faktor mengapa pengangguran tertinggi berasal dari kelompok penduduk dengan dua kategori pendidikan tersebut. Artinya, bukan hanya mutu, melainkan juga keterbatasan akses pendidikan dan keberlanjutan sekolah menjadi faktor penyumbang bagi rendahnya daya saing bangsa ini. Di satu sisi, pendidikan belum menjadi daya tarik bagi warga negara. Kesadaran warga tentang pentingnya pendidikan belum merata. Akan tetapi, di sisi lain upaya pemerintah juga harus ditingkatkan.

Harus diakui bahwa—jika ditarik mundur—perbedaan paling mencolok dalam hal capaian pendidikan periode sekarang dengan periode akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda terutama terletak pada besaran angka penduduk melek huruf. Tahun 1942 hanya sekitar 2 persen penduduk Hindia Belanda dapat membaca huruf Latin. Saat ini, setelah 76 tahun Indonesia merdeka, sekitar 99,66% penduduk Indonesia telah mampu membaca dan menulis. Namun, di luar angka melek huruf, akses terhadap layanan pendidikan masih belum merata dan secara proporsi masih menjadi tantangan besar sebagaimana 76 tahun yang lalu.

Hingga akhir 2017, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan kita masih jauh di bawah target yang telah ditetapkan sendiri oleh pemerintah, yaitu APK SD tercatat 108,50 (dari target 114,1); SMP ada di angka 90,23 (dari target 106,9); SLA masih 82,84 (dari target 91,6), dan perguruan tinggi baru di angka 25,00 (dari target 36,7).

Di samping itu, sistem penggajian pada sektor pekerjaan formal tidak menunjukkan perbedaan rentang pendapatan yang signifikan antar-jenjang pendidikan. Gaji pegawai tidak lulus SD dan lulus SD hanya terpaut Rp 41.620, antara lulusan SD dan lulusan SMP terpaut Rp 294.368, antara lulusan SMP dan lulusan SLA terpaut Rp 676.948, antara lulusan SLA dan diploma terpaut Rp 1.174.800, dan antara diploma dan sarjana terpaut Rp 1.036.420 (sumber: ”Keadaan Pekerja di Indonesia”, BPS 2015).

Dengan harga kebutuhan pokok yang berlaku sama bagi semua penduduk, tanpa memandang tingkat pendidikan, ketimpangan sistem pendapatan antar-jenjang pendidikan pekerja membuat orang secara pragmatis mempertanyakan manfaat bersekolah. Tanpa upaya yang sistemik dan terprogram dari pemerintah, baik dengan meningkatkan mutu dan akses pendidikan maupun dengan memperbaiki sistem penggajian pekerja, dunia pendidikan kita dapat betul-betul kehilangan daya tarik bagi generasi muda.

Arus disrupsi teknologi yang mengabaikan sentralitas pendidikan formal semakin berpotensi mempercepat terempasnya makna penting dunia pendidikan di dalam tatanan baru masyarakat. Sebagai dampaknya, kemiskinan struktural berpotensi menguat dan kesenjangan sosial ekonomi antarwarga akan semakin besar.

Hibridasi ideologi

Meskipun demikian, persoalan pemerataan dan peningkatan mutu bukanlah satu-satunya tantangan dunia pendidikan Indonesia saat ini. Ada tantangan lain yang menggoyah dan membelokkan arah pendidikan nasional, yaitu terjadinya hibridasi ideologi sektarian dan antipluralisme di dunia pendidikan.

”Hibridasi ideologi” artinya proses setengah matang penanaman ideologi tertentu secara eksklusif. Sekitar 15 tahun lalu, gejala pengerasan ideologis sejumlah institusi pendidikan telah teramati. Studi sejumlah pihak menunjukkan, sebagai contoh, di Yogyakarta banyak sekolah negeri ”berpenampilan” dan ”bernuansa” agama tertentu saja.

Hari ini, proses hibridasi telah merasuk bukan hanya pada ”penampilan”, melainkan justru pada substansi pendidikan. Bahkan seorang anak usia kelompok bermain (playgroup) akan pertama-tama menanyakan agama yang dianut lawan bicaranya ketika berkenalan.

Sebagian pejabat pemerintah pun mengakui bahwa banyak kampus telah menjadi sarang penyebaran ajaran radikal kelompok-kelompok tertentu. Sebagai konsekuensinya, pemerintah menempatkan kampus sebagai sasaran beberapa program, antara lain deradikalisasi melalui internalisasi Pancasila (Kompas, 30/4/2018).

Akar persoalan kiranya terletak pada instrumentasi institusi pendidikan untuk penyebaran ideologi. Gejala radikalisasi agama di sekolah dan di kampus merupakan titik balik terhadap ideologisasi Pancasila di sekolah dan di kampus pada masa Orde Baru. Pendulum pendekatannya berayun dari satu ekstremitas ke ekstremitas yang lain.

Sekarang upaya menderadikalisasi sekolah dan kampus dari unsur-unsur sektarian keagamaan, melalui program internalisasi Pancasila, mencerminkan pendekatan ekstremitas yang sama. Pendekatan yang berpola ekstremitas ini merupakan akar rusaknya pendidikan Indonesia selama ini.

Oleh karena itu, tantangan terbesar pendidikan kita saat ini adalah mengembalikan arah pendidikan nasional pada marwahnya yang hakiki, yaitu ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. ”Titipan-titipan” pesan ideologis (dan politis) harus diminimalkan dari praktik pendidikan. Proses pendidikan perlu dikembalikan kepada landasan nilai dasarnya, yaitu kemanusiaan universal.

Sayangnya, selama 3,5 tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, aspek-aspek filosofis pendidikan lenyap total dari aneka kebijakan strategis sekalipun banyak cerdik cendekia kampus duduk di sana. Secara khusus, Jusuf Kalla yang ketika menjadi wakil bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat gencar berbicara tentang persoalan-persoalan pendidikan nasional dan upaya penyelesaiannya, sekarang sebagai wakil bagi Presiden Joko Widodo hampir tak terdengar ide-idenya yang menggebrak dalam hal itu. ●   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar