Kamis, 03 Mei 2018

Memutus Rantai (Re)Kolonialisme

Memutus Rantai (Re)Kolonialisme
Muhammad Nur Rizal  ;  Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan dan
Guru di Universitas Gadjah Mada
                                                          KOMPAS, 03 Mei 2018



                                                           
Hampir satu bad lalu, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa untuk memutus rantai kolonialisme di Indonesia. Taman siswa jadi semacam pengingat: perlawanan tidak cukup hanya dilakukan melalui fisik, tapi memobilisasi pergerakan dengan membebaskan manusia dari ketertindasan dan keterbelengguan pikiran.

Apa yang disiapkan Ki Hadjar bukanlah diplomasi ataupun persenjataan untuk mengusir penjajah. Sebaliknya, ia justru menyiapkan manusia Indonesia untuk melampaui arti kemerdekaan itu sendiri. Merdeka dari penjajahan tentu jadi harga mati di tengah penderitaan rakyat kala itu, tetapi apa yang harus dilakukan setelah merdeka?

Menteri Pendidikan pertama Indonesia itu sudah berpikir jauh ke depan dan menyajikan strategi atas pertanyaan tersebut dalam pendidikan Taman Siswa. Dalam model sekolah Taman Siswa, setiap insan harus mengenyam pendidikan yang berpusat pada kodratnya masing-masing, yakni kodrat untuk jadi manusia yang mandiri, mampu mengatur hidupnya sendiri serta tidak terperintah oleh manusia lain. Maksudnya, manusia Indonesia disiapkan untuk menyongsong masa depan, tidak sekadar merdeka dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka dalam nalar dan batin.

(Re)kolonialisasi modern

Sungguh disayangkan karena model pendidikan semacam itu tidak didapati lagi dalam kurikulum kita dewasa ini. Terhitung sejak Orde Baru, pendidikan Indonesia cenderung mematikan kemerdekaan nalar dan batin itu sendiri. 

Apa yang didapatkan di sekolah-sekolah justru menyeragamkan, mendewakan proses ajar dengan cara mengukur kecakapan menghafal sebagai tanda kemampuan bernalar, tanpa menghargai keunikan masing- masing pribadi manusia. Hal itu terjadi karena banyaknya prakarsa pendidikan baru saat itu yang secara serempak diperuntukkan mengagungkan kecakapkan hafalan atau bernalar tingkat rendah demi memenuhi kebutuhan industri (pabrik).

Dengan instrumen “standardisasi”, ideologi pendidikan cenderung untuk menyeragamkan setiap insan manusia. Pengagungan pada standardisasi, mulai isi, cara, hingga hasil ajar, akan membuat para siswa menekan talenta keunikannya. Muncul ketakutan jika kecakapan yang diperoleh siswa selama proses belajar berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh sistem besar pendidikan, dan tentu ini melawan kodrat manusia sebagai makhluk yang istimewa. Keterampilan yang diajarkan pun tidak lebih dari pengajaran untuk menjadikan manusia sebagai sekrup industri. Sesuatu yang sangat tidak sejalan dengan nilai atau ide awal ajaran Dewantara.

Dengan dalih mutu, penindasan dan penyeragaman itu dilanggengkan dengan kurikulum-kurikulum yang mengikat. Ujian nasional (UN) menjadi salah satu perangkat untuk mempertahankan tirani penyeragaman tersebut. Padahal, apa yang diuji dalam UN tidak lebih dari kemampuan kognitif untuk kecakapan bernalar tingkat rendah karena kecakapan hanya dihargai dari kemampuan siswa menghafal atau memahami isi, bukan menerapkan, menganalisa hingga mencipta seperti diungkapkan Bloom (1956). 

Sementara ada berbagai aspek lain yang perlu dikuasai manusia, seperti emosi, sosial, kepemimpinan. Materi yang diajarkan oleh guru hanya bersifat abstrak dan secara tidak langsung anak-anak diminta untuk “menyembah” buku pelajaran dan terasing dari masalah-masalah konkret di sekitarnya.

Mari kita perhatikan ciri-ciri model pendidikan kita seperti yang disebutkan di atas. Ketika masyarakat dimatikan kebebasannya, dipasung oleh perspektif kognitif, dan dituntut bertahan hidup dengan menjaga perputaran roda industri, kolonialisme kembali hadir di sana. Secara fisik memang tidak ada lagi Belanda ataupun Jepang yang menjajah, tetapi sebenarnya pikiran kita masih terbelenggu.

Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada era yang serba tidak pasti. Perubahan berlangsung begitu cepat, baik dari segi tatanan sosial maupun teknologi. Globalisasi sudah dirasakan dampaknya dan manusia cepat atau lambat akan dituntut untuk memahami dan memberi sumbangan pada dunia.

Kita belum bicara konsekuensi yang terjadi pada lapangan pekerjaan dan ruang hidup manusia. Dengan hadirnya teknologi, ada begitu banyak pekerjaan lama yang tergilas dan digantikan oleh profesi baru yang kompetensinya belum dirumuskan. Pembangunan pun pelan- pelan mengikis sumber daya alam yang kita miliki. Manusia tak bisa lagi berpatokan pada tradisi masa lalu ataupun mengandalkan konsep-konsep industri lama.

Memutus mata rantai

Pertanyaannya, apakah pendidikan kita sekarang mampu menjawab kebutuhan itu? Untuk menghadapi situasi semacam ini, pendidikan macam apa yang kita butuhkan?

Jawabannya mungkin sudah jelas. Kita membutuhkan pendidikan yang tidak membelenggu kodrat manusia dengan dalih apa pun, melainkan yang memerdekakan nalar dan batin. Dengan memerdekakan nalar, ketidakpastian bisa dipahami dan diantisipasi. Melalui pemerdekaan batin, kecerdasan tak digunakan untuk memisahkan diri dari persoalan di masyarakat. Nalar dan batin yang merdeka akan mengangkat derajat kemanusiaan.

Oleh karena itu sekolah tidak semestinya membunuh kemandirian manusia yang kodrati. Manusia tak bisa beradaptasi dengan lingkungannya ketika kodratnya dibunuh. Kodrat yang dimaksud adalah kekritisan, kreativitas, kemandirian, dan tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.

Pada akhirnya, pendidikan Indonesia harus mampu mengeskalasi pemikiran, melawan keterbatasan yang tanpa sadar kita ciptakan sendiri. Kemandirian perlu dipahami dalam arti luas, target dan tujuan pendidikan harus kita rumuskan sendiri.

Model pendidikan yang berkutat pada aspek kognitif dan penyeragaman sudah tak relevan. Indonesia memiliki kekayaan alam dan intelektual yang berwarna, sudah sepatutnya hal itu dimanfaatkan. Kurikulum tidak seharusnya ditentukan oleh pusat dan disebarkan ke 17.000 lebih pulau di Indonesia, tetapi diserahkan kepada masing-masing daerah. Toh, pendidikan seharusnya mampu menghadirkan solusi atas permasalahan-permasalahan di sekitar.

Yang perlu dilakukan oleh pusat adalah memastikan proses kemandirian bernalar tidak terasing dalam sistem pendidikan, serta menyediakan budaya atau sistem belajar yang benar agar anak-anak “suka-cita” atau “kasmaran” dalam belajar untuk mengembangkan kecakapan abad-21. Kecakapan untuk memanfaatkan informasi, bukan menghafal informasi yang sudah dapat dikerjakan oleh mesin pencari “Google”.

Sistem yang ideal ini semua pernah dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam model pendidikan Taman Siswa. Dulu, beliau menggunakannya sebagai strategi untuk memutus rantai kolonialisme penjajahan. Mata rantai penjajahan itu tersambung kembali dalam wujud yang berbeda sejak Orde Baru hingga saat ini. Adapun di Hari Pendidikan, tidak ada salahnya bagi negara (dan kita) untuk melakukan introspeksi. Pendidikan kita masih terjebak pada rekolonialisme dan sudah saatnya untuk kembali pada “ruh” pendidikan Taman Siswa yang memerdekakan nalar serta batin manusia. ●   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar