Rabu, 02 Mei 2018

Situasi Pangan 2018

Situasi Pangan 2018
Dwi Andreas Santosa ;  Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; 
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI)
                                                         KOMPAS, 28 April 2018



                                                           
Situasi pangan Indonesia tahun ini tampaknya masih menghadapi tantangan besar. Hasil kajian AB2TI di 23 kabupaten menunjuk- kan harga gabah di tingkat usaha tani relatif masih tinggi sehingga berimbas ke harga beras di tingkat konsumen.

Harga gabah kering panen (GKP) di tahun 2018 mencapai puncak tertingginya di Januari sebesar Rp 5.667 per kilogram (kg), lalu menurun dengan mulai berlangsungnya panen di Februari menjadi Rp 4.853, Maret sebesar Rp 4.472, dan melandai hingga pertengahan April 2018 sebesar Rp 4.319. Harga gabah di caturwulan I-2018 jauh lebih tinggi dibandingkan caturwulan I-2017. Pada Februari-Maret 2017 di beberapa wilayah harga gabah bahkan jatuh ke kisaran Rp 2.000-Rp 3.000/kg akibat mutunya buruk (basah), harga kemudian membaik di April 2017 menjadi rata-rata Rp 3.800.

Berdasarkan kajian yang sama, impor beras 500.000 ton yang telah dilakukan tak berdampak terhadap harga gabah di tingkat usaha tani maupun beras di tingkat konsumen. Ada beberapa penyebab utama mengapa harga gabah masih relatif baik bagi petani dan harga beras (meskipun telah mengalami penurunan) tetap stabil tinggi hingga memasuki bulan April.

Pertama, stok yang benar-benar kosong ketika memasuki awal 2018. Panen di Januari dan Februari belum mampu menutupi defisit yang terjadi. Surplus produksi terhadap konsumsi kemungkinan baru terjadi di panen Maret dan April 2018. Data Internasional juga mengonfirmasi hal ini. Stok akhir (ending stock) beras pada periode 2016/2017 yang menjadi stok awal di 2017/2018 terendah selama empat tahun terakhir. Stok akhir beras terus menurun, berturut-turut dari 5,501 juta ton (2013/2014), menjadi 4,111 juta ton (2014/2015), 3,509 juta ton (2015/2016) dan 3,165 juta ton (2016/2017). Stok akhir beras pada periode 2017/2018 diperkirakan meningkat menjadi 4,063 juta ton karena masuknya beras impor (Foreign Agricultural Service/FAS, USDA, April 2018).

Faktor kedua, panen yang tak serempak. Ketidakserempakan panen menyebabkan harga gabah tidak turun tajam sebagaimana tahun sebelumnya. Hingga April ini panen masih terjadi di banyak tempat. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk perencanaan pola tanam nasional yang mengedepankan kepentingan petani. Selain itu, panen kali ini juga lebih baik, baik dari sisi produksi maupun mutu gabah, karena serangan hama yang relatif menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Ketiga, penggilingan-penggilingan padi kecil saat ini tak sempat menyimpan gabah karena permintaan beras yang masih tinggi dari pusat-pusat konsumsi. Keempat, sinyal di tingkat usaha tani terkait informasi kelangkaan beras di 2018 yang cukup kuat, terutama di Jawa Barat, yang menyebabkan harga gabah jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Harga gabah di Jawa Barat rata-rata Rp 4.573 per kg gabah kering panen (GKP) pada April 2018. Fenomena ini disebabkan sekitar 70 persen gabah masih disimpan petani dan akan dilepas nanti ketika harga tinggi. Hal ini berkebalikan dengan tahun-tahun sebelumnya di mana sekitar 90 persen gabah di musim panen pertama dijual.

Stabilisasi harga di hari raya

Situasi beras 2018 akan berpengaruh terhadap stabilitas harga menjelang dan saat hari raya Idul Fitri yang merupakan tujuan penting pemerintah saat ini. Pemerintah berhasil menjaga stabilitas harga pangan dengan baik pada Lebaran 2017. Harga beras medium saat puasa-Lebaran (dihitung rata-rata H-7 sebelum puasa hingga H+7 setelah Idul Fitri) sebesar Rp 10.596 per kg dan lebih rendah dibandingkan rerata tahunan sebesar Rp 10.665 per kg. Harga bahan pangan yang dominan impor, yaitu gandum dan kedelai, juga lebih rendah saat puasa-Lebaran.

Harga daging sapi masih sangat tinggi di saat itu, yaitu Rp 116.108 per kg yang jauh dari harga yang diinginkan Presiden Jokowi sebesar Rp 80.000 per kg, meskipun banyak upaya telah dilakukan melalui impor daging sapi beku hingga daging kerbau dari India. Namun, jika dilihat dari sisi stabilitas, harga relatif stabil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Harga daging sapi saat puasa-Lebaran dibandingkan rerata tahunan di tahun 2014-2016 lebih tinggi, yaitu berturut-turut 13,1 persen, 13,5 persen, dan 13,4 persen, sedangkan di tahun 2017 hanya 0,15 persen lebih tinggi.

Harga ayam broiler dan telur ayam juga mengalami peningkatan kecil, yaitu berturut-turut 1,32 persen dan 0,84 persen dibandingkan harga di luar puasa-Lebaran, demikian juga gula pasir yang hanya 0,71 persen. Produk-produk hortikultura, yaitu bawang merah dan cabai, juga mengalami peningkatan kecil di saat puasa-Lebaran.

Strategi tata kelola pangan saat puasa-Lebaran tahun 2018 ini sebaiknya tidak ditujukan untuk menurunkan harga secara tajam, misalnya menurunkan harga beras ke tingkat harga eceran tertinggi (HET) atau daging sapi di angka Rp 80.000 per kg karena terbukti memang tak pernah bisa diwujudkan. Selain itu, upaya itu akan sangat merugikan petani dan peternak. Strategi stabilisasi harga supaya tak naik terlalu tajam sebagaimana dilakukan tahun lalu merupakan langkah yang tepat.

Tata kelola pangan 2018

Melihat tren produksi dan perkembangan harga, beras masih akan menempati posisi terpenting dalam tata kelola pangan 2018, baik dalam menghadapi puasa-Lebaran maupun antisipasi gejolak harga di tahun politik ini. Harga beras bulan Mei diperkirakan paling rendah di tahun ini, tetapi hampir dapat dipastikan harga akan naik di bulan Juni karena panen sudah selesai. Dengan demikian, upaya pemerintah dan Bulog untuk menambah stok dari produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan hingga bulan Mei apabila inpres peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak segera diterbitkan. Meski ada kenaikan harga mulai bulan Juni, komoditas beras dipastikan aman di puasa dan Lebaran tahun ini.

Hal yang perlu diwaspadai bersama adalah pasca-Lebaran. Kondisi iklim pada tahun 2018 hampir dipastikan normal dengan awal musim kemarau di sebagian besar zona musim berlangsung di bulan Mei, bahkan sebagian besar (52,6 persen) akan mundur dari rata-rata selama 30 tahun (1981-2010) (BMKG, Maret 2018). Dengan demikian, pola produksi pelana kuda untuk padi akan berlangsung.

Pada bulan Agustus panen musim tanam kedua akan mulai dengan volume diperkirakan 14 persen lebih rendah dibandingkan volume panen di Maret dan puncaknya di September dengan volume panen yang juga diperkirakan 14 persen lebih rendah dibandingkan April. Setelah itu produksi padi akan mengalami bulan paceklik mulai Oktober 2018 hingga Februari 2019. Panen di Januari hingga Juni serta luas tanam di bulan April hingga Juni sudah memadai untuk menghitung volume surplus ataupun defisit beras di 2018, dengan catatan data yang ada benar-benar akurat. Dengan bermodalkan data yang akurat, dipastikan tata kelola beras mulai tahun 2018 ini akan jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Hal yang perlu diperhatikan untuk tahun ini adalah serangan penyakit dan hama untuk musim tanam kedua. Berdasarkan laporan petani anggota AB2TI, serangan penyakit sudah mulai terjadi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur terutama bagian tengah-selatan. Hama wereng batang coklat dan penggerek batang mulai meluas lagi di Jawa Barat terutama di wilayah utara.

Dengan stok awal 2018 yang kritis, kemungkinan pemerintah perlu menambah cadangan beras dari luar negeri sekitar 1,5 juta ton untuk mencapai tingkat cadangan beras pemerintah yang aman di awal 2019 sebesar 1 juta ton. Jika penambahan cadangan harus dilakukan, maka hanya boleh dilakukan oleh pemerintah dan harus sudah diputuskan paling lambat September.

Daging sapi masih menjadi persoalan besar selama empat tahun terakhir ini. Tidak ada tahun di mana harga daging sapi tidak meningkat. Harga daging sapi di April 2014 yang hanya Rp 97.928 per kg, terus meningkat menjadi Rp 101.471 di 2015, Rp 112.494 di 2016, Rp 114.838 di 2017, dan mencetak rekor lagi April 2018 ini setinggi Rp 117.641 per kg (Kemendag, 2014 – 2018).

Pemerintah perlu mendengar dan melaksanakan berbagai saran yang telah disampaikan berbagai pihak.

Beberapa komoditas lain perlu diwaspadai karena naik dengan kemiringan yang cukup tajam akhir-akhir ini yaitu daging ayam ras, bawang putih dan cabe. Harga telur ayam ras meskipun turun beberapa bulan terakhir ini, kemungkinan mulai bulan Mei akan meningkat. Untuk bawang merah pemerintah diharapkan tidak melakukan intervensi apapun meskipun peningkatan harganya relatif tajam sejak bulan Maret. Petani bawang merah telah mengalami kerugian luar biasa akibat jatuhnya harga pada periode November 2017 hingga Januari 2018 yang menurut perhitungan penulis mencapai hampir Rp 2 triliun. Biarlah mereka menikmati sedikit keuntungan di tengah kerugian besar yang telah mereka alami.

Gandum memerlukan perhatian khusus. Diperkirakan pada periode 2017/2018 ini Indonesia menjadi importir gandum terbesar di dunia dengan volume mencapai 12,5 juta ton (FAS-USDA, Februari 2018). Kenaikan tajam impor gandum sejak 2016 dikarenakan penggunaan gandum untuk pakan ternak menggantikan jagung yang dibatasi impornya. Proporsi gandum sebagai pangan pokok juga meningkat tajam dan mencapai 25,4 persen saat ini. Semoga program diversifikasi pangan bukan hanya menjadi impian indah yang tidak membumi.

Intervensi pemerintah terkait persoalan pangan harus benar-benar terukur dengan didasari informasi yang akurat. Kasus beras 2017 mengajarkan kita semua bahwa sesuatu yang tujuannya baik bisa berakhir lebih buruk. Penggerebekan penggilingan dan pedagang beras besar maupun kecil dalam upaya menurunkan harga beras di tingkat konsumen justru berakibat sebaliknya. Harga beras terus meningkat dan ironisnya Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) untuk komoditas beras justru meningkat dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 10,47 menjadi 26,12 (BPS, 2018).

Hal yang sama juga terjadi di bawang putih. Retorika upaya swasembada bawang putih telah membuat harga bawang putih meningkat tajam dari rata-rata Rp 24.000 sejak Oktober 2017 hingga awal Februari 2018 menjadi rata-rata Rp 35.000 saat ini. Di beberapa wilayah bahkan mencapai di atas Rp 50.000 per kg (PIHPS, April 2018).

Dengan MPP yang hanya 10,43 (2014), 10,42 (2015) dan 10,57 (2016) sesungguhnya struktur pasar beras di Indonesia sudah berjalan dengan baik, sayangnya struktur tersebut dihancurkan sehingga keuntungan yang diterima pedagang (besar) justru meningkat dan petani tetap terpuruk. Pembenahan seharusnya dilakukan untuk komoditas pangan yang struktur pasarnya kurang baik.

Perlu upaya “melihat ke dalam”, apakah semua peraturan, kebijakan, intervensi terhadap sistem yang sudah berjalan sesungguhnya diperlukan atau tidak, bukan mencari kesalahan pihak lainnya. Kebijakan yang salah merugikan semua pihak baik konsumen, pelaku usaha dan petani.

Kedua, barangkali perlu anggaran pertanian dan pangan yang sesungguhnya adalah ”milik petani” dikembalikan seluruhnya kepada petani, dan biarkan petani menentukan dan memilih apa yang terbaik bagi mereka. Kesejahteraan petani adalah kunci mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar