Rabu, 02 Mei 2018

Ashabiyah

Ashabiyah
Irvan Sihombing  ;  Wartawan Media Indonesia
                                              MEDIA INDONESIA, 30 April 2018



                                                           
PRESIDEN Soekarno punya mimpi besar untuk bangsa yang baru saja ia bawa keluar dari lembah penjajahan. Di benak Putra Sang Fajar, Indonesia harus menjadi bangsa yang kuat dan tidak pernah bisa luluh lantak sekalipun tergilas kerasnya roda persaingan dunia.

'Kita ingin menjadi satu bangsa yang setiap hari digembleng oleh keadaan. Digembleng, hampir hancur lebur bangun kembali. Digembleng, hampir hancur lebur bangun kembali. Hanya dengan jalan itu demikianlah kita bisa menjadi satu bangsa yang benar-benar bangsa otot kawat balung wesi.'

Soekarno paham betul bahwa tidak akan mudah bagi bangsa yang begitu lama mengalami exploitation de I'homme par I'homme (penghisapan manusia atas manusia) untuk berdiri di atas kaki sendiri, bahkan duduk sejajar dengan mereka yang pernah menjajah.

Itu karena rakyat terus-menerus dicekoki kebohongan bahwa “inlander seperti kerbau”, “inlander goblok”, “inlander bodoh", dan tidak akan pernah bisa hidup tanpa kaum penjajah. Mental bangsa ini rapuh, hilang keperwiraan.

'Kami menjadilah rakyat yang mengira, ya, percaya bahwa kami memang adalah rakyat yang inferieur. Kini di mana-mana terdengarlah kesah. Yah, kami memang bodoh, kalau tidak ada bangsa Eropa bagaimana kami bisa hidup.'

Itulah gambaran mentalitas bangsa terjajah. Profesor Universitas Columbia, Gayatri Chakravorty Spivak, mengungkapkan kolonialisme memang tidak hanya melakukan penaklukan fisik, tetapi juga penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.

Mentalitas yang demikian sulit hilang, bahkan meninggalkan residu. Jika sebelumnya khawatir tidak bisa berjalan tanpa uluran tangan bangsa Eropa, sekarang ini hinggap kekhawatiran lajak perihal serbuan tenaga kerja asing khususnya dari Tiongkok.

Ini bukan barang baru karena pernah muncul sebelumnya propaganda 10 juta tenaga kerja asal 'Negeri Tirai Bambu' mendarat di Indonesia. Angka tersebut sebenarnya terlalu fantastis mengingat jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2017 mencapai 10,37 juta jiwa.

Propaganda tentang serbuan puluhan juta tenaga kerja asing itu menghangat pada tahun 2016 menjelang pilkada Jakarta, namun kemudian menghilang. Isu itu kembali hidup begitu Joko Widodo menandatangani Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Bangsa ini, setidaknya yang terpotret dari perbincangan di media sosial, berwalang hati tenaga kerja dari Tiongkok bakal berbondong-bondong membanjiri Indonesia. Banjir itu kemudian dibayangkan bakal memporak-porandakan bahkan menyapu bersih bangsa ini.

Khawatir tentu sah-sah saja, karena angka pengangguran di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik sampai Agustus 2017 mencapai 7,04 juta jiwa dari 128,06 juta orang angkatan kerja. Tetapi, sibuk berkubang dalam kekhawatiran tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Bila benar kita bangsa otot kawat balung wesi seperti yang dibayangkan Soekarno, perpres itu justru menjadi sarana meningkatkan daya saing. Mungkin kita akan keteteran bila harus bersaing dengan tenaga kerja asing, tapi kita tidak akan pernah hancur malah menjadi digdaya.

Sudah saatnya kita kikis mentalitas bangsa terjajah dengan berani menghadapi persaingan. Kedua, yang tidak kalah penting, perkuat ashabiyah (solidaritas sosial) seperti yang disampaikan Abd al-Rahman Abu Zaid Waliudin alias Ibnu Khaldun (1332-1406).

Ia mengatakan negara dengan ashabiyah yang kuat akan menghadirkan dominasi karena ada semangat bekerja sama, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban bagi sesama. Sebaliknya, negara dengan ashabiyah rendah akan berada di ambang kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar