Kamis, 03 Mei 2018

TKA dan Serikat Buruh

TKA dan Serikat Buruh
Dinna Wisnu ;  Pengamat Hubungan Internasional
                                                     KORAN SINDO,  2 Mei 2018



                                                           
Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah salah satu tema kampanye yang menarik dalam setiap kontes pemilihan presiden atau anggota legislatif. Tema ini juga biasanya satu paket dengan tema-tema lain yang terkait dengan memperkuat kedaulatan bangsa (sovereignty) di era kompetisi global.

Hal ini bukan saja terjadi di Indonesia tetapi juga di banyak negara. Tema ini membantu menaikkan popularitas partai politik dan tokoh-tokoh yang secara elektabilitas rendah secara instan.

Saya bisa mengatakan bahwa strategi ini sangat menggoda. Strategi ini dapat dengan biaya yang rendah meningkatkan elektabilitas secara signifikan dalam waktu yang cepat meskipun dengan mengorbankan masyarakat menjadi terbelah.

Beberapa partai politik ultra kanan di Uni Eropa yang menganut pola pikir Eurosceptic atau yang menyakini bahwa integrasi antaranggota Uni Eropa melemahkan kedaulatan sebuah negara, umumnya mengangkat tema TKA dan imigrasi sebagai bagian dari politik kampanye. Partai Konservatif di Inggris misalnya berhasil memenangkan referendum (Brexit) dengan tema tenaga kerja asing dari Rumania dan Bulgaria.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga berhasil membangun sentimen anti TKA dari Meksiko untuk mengkonsolidasi pemilihnya. Beberapa presiden atau pimpinan politik yang mengangkat isu anti-imigran atau membatasi imigrasi dan menjadi menang antara lain Presiden Miloš Zeman petahana dari Cekoslovakia, Luigi Di Maio dari Partai Gerakan Lima Bintang di Italia, Viktor Orban dari partai Fidez di Hungaria dan beberapa pemimpin lain.

Merujuk kepada pengalaman di atas dan potensialnya menggunakan tema TKA untuk mendulang suara maka perlu bagi kita untuk menempatkan secara proposional kritik terhadap TKA terutama mereka yang sering disebut datang dari Tiongkok. Perdebatan di tengah masyarakat seringkali mencampuradukkan antara TKA yang memiliki dokumen, yang tidak memiliki dokumen, yang terampil dan tidak terampil serta TKA yang menjadi korban sindikat perdagangan manusia.

Ketidakproposionalan tersebut yang sering membingungkan antara data yang dikeluarkan oleh pemerintah, temuan di lapangan dan juga rumor yang beredar di media sosial. Perbedaan persepsi dan teori yang digunakan dalam menginterpretasi data juga semakin menambah lebih dalam kerumitan tersebut.

Sejujurnya, sangat sulit untuk mendapatkan data yang akurat baik tentang TKA yang terdokumen atau tidak. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan sumber dari ketidakuratan data disebabkan karena di banyak negara statistik paling umum tentang migrasi tidak lengkap, ketinggalan zaman atau tidak ada.

Oleh sebab itu, saya di sini akan lebih membatasi diskusi dalam konteks TKA yang memiliki dokumen karena terkait dengan data yang resmi sementara TKA lain baik yang tidak memiliki dokumen atau korban trafficking memerlukan data yang lebih baik untuk mendukung sebuah argumen.

TKA Tiongkok

Serbuan TKA asal Tiongkok bukan kabar burung dan itu memang terjadi di benua Afrika. Yoon Jung Park, akademisi dari Korea Selatan, menyatakan terdapat 1 juta orang di Afrika. Sepertiga atau lebih, dari mereka adalah buruh migran sementara, yang bekerja dan disponsori oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok dan Perusahaan lokal untuk jangka waktu tertentu antara 1-3 tahun.

Howard French yang meneliti dan juga menemukan temuan yang sama dalam China’s Second Continent: How a Million Migrants Are Building a New Empire in Africa, warga China telah pindah ke Afrika di mana mereka telah mendirikan beragam bisnis, mulai dari pertanian kecil hingga perusahaan konstruksi besar.

Migrasi warga Tiongkok ke Afrika sering dikategorikan ke dalam tiga jenis: migran tenaga kerja sementara, wirausaha skala kecil, dan migran transit (pekerja perantara). Kategori pertama dapat dibagi menjadi dua subkelompok: pekerja semi-terampil yang sebagian besar kembali ke China setelah menyelesaikan kontrak mereka, dan sekelompok kecil manajer dan profesional sering tinggal di Afrika sebagai pengusaha.

Apa yang menarik dari sejumlah data yang dikumpulkan lewat penelitian itu bahwa mereka berimigrasi ke Afrika tidak terjadi secara mendadak. “Serbuan” TKA Tiongkok ke Afrika tidak terjadi seperti serombongan pengungsi yang menggunakan satu kapal menyeberangi lautan menuju ke daratan seperti yang terjadi di Eropa saat ini.

Kedatangan TKA Tiongkok ke Afrika terjadi paling sedikit membutuhkan waktu 20 tahun untuk mencapai angka 1 juta orang. Jumlah itu sendiri tersebar ke 20 negara Afrika dengan rata-rata paling tinggi sekitar 300.000 orang  dengan kurun waktu yang disebutkan di atas.

Penelitian di atas juga menemukan bahwa sebagian besar mereka berimigrasi karena melihat peluang kehidupan yang lebih baik di Afrika dibandingkan dengan di Tiongkok. Tidak ditemukan ada intervensi dari Pemerintah Tiongkok untuk mendorong gelombang imigrasi itu.

Oleh sebab itu, Pemerintah Tiongkok juga mengalami masalah dengan imigrasi tersebut karena beberapa masalah yang ditimbulkan warga negaranya di wilayah tersebut. Beberapa diplomat dibentuk khusus untuk menangani masalah-masalah yang muncul tersebut terutama terkait dengan hubungan ketenagakerjaan.

Mereka yang datang ke Afrika tidak lepas dari investasi yang ditanamkan di negara-negara Afrika. Investasi itu biasanya adalah bagian dari bentuk diplomasi hibah atau utang dari Tiongkok ke negara-negara Afrika sebagai bagian dari kebijakan pendekatan lunak mereka.

Beberapa alasan TKA Tiongkok itu serta dalam investasi pada umumnya karena tenaga kerja Tiongkok lebih murah, bersedia bekerja dengan jam kerja yang panjang, mampu mencapat target yang ditetapkan dan yang paling penting adalah kepatuhan. Hal ini yang seringkali tidak dapat dikejar oleh tenaga tenaga kerja lokal di Afrika.

Bagi pemerintah Afrika sendiri, selesainya proyek dengan waktu cepat  juga akan menguntungkan karena proyek tersebut dapat segera beroperasi dan mendatangkan pemasukan buat negara. Dalam hal ini, maka tenaga kerja lokal yang menjadi korbannya.

Peran Serikat Buruh

Mempertimbangkan kenyataan yang terjadi di Afrika dan menempatkannya dalam konteks di Indonesia secara khusus dan perdagangan bebas secara lebih luas maka sangat terlihat peran penting dari Serikat Buruh. Dalam dunia perdagangan bebas saat ini, kebijakan proteksionis dalam satu sektor di sebuah negara juga pasti akan dibalas dengan kebijakan proteksionis di sektor lain oleh negara yang menjadi korban.

Dalam perdagangan bebas, alasan-alasan untuk melindungi kepentingan di dalam negeri semakin tidak lagi sering digunakan karena akan memiliki efek bumerang menyerang kepentingan kita kembali.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam perdagangan bebas dan memiliki bobot politik yang besar adalah melalui serikat buruh. Perdagangan bebas baik di WTO, Trans Pacific Partnership (TPP) dan beberapa perjanjian mulitelateral lain mengakui keberadaan dari serikat buruh dan menjamin hak-hak mereka untuk menuntut kesejahteraan.

Oleh sebab itu maka penting bagi Indonesia untuk semakin menguatkan peran serikat buruh. Dan serikat buruh sendiri juga harus semakin profesional dalam melakukan advokasi untuk membela kepentingan-kepentingan anggotanya. Keprofesionalan ini tidak hanya dalam strategi untuk melakukan pendekatan ke negara tetapi juga memproduksi gagasan-gagasan yang baru dan kompetitif untuk mengimbangi pendekatan perusahaan yang cenderung mengutamakan akumulasi modal.

Serikat Buruh juga dapat berpolitik sebagai jalan untuk memengaruhi dan proses membuat kebijakan  publik tetapi solidaritas dan kebersamaan di antara buruh dan serikat buruh tidak boleh terbelah-belah dalam kepentingan kepentingan politik elektoral. Kepentingan pemilu hanya berdampak jangka pendek tetapi kepentingan buruh dan pekerja sepanjang masa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar