Rabu, 02 Mei 2018

Guru Semiprofesional

Guru Semiprofesional
Khoiruddin Bashori  ;  Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 30 April 2018



                                                           
SUNGGUH tepat sebutan pahlawan tanpa tanda jasa untuk para guru. Meski kontribusinya luar biasa bagi perkembangan peserta didik, guru masih juga merelakan diri menjadi kambing hitam bagi setiap problematik pendidikan.

Manakala prestasi belajar siswa kurang memuaskan atau moralitas mereka yang dipandang tidak sesuai harapan, tak pelak guru yang pertama menjadi sasaran kritik.

Mutu pendidikan seolah diletakkan sepenuhnya pada pundak guru.

Mereka kerap menjadi tersangka tanpa melalui proses verbal; tidak linear, kurang kreatif, dan tidak profesional.

Guru profesional adalah mereka yang memiliki kompetensi keterampilan profesional. Memang belum semua guru, utamanya di remote area, mencapai standar keunggulan sesuai harapan, baik bersifat pribadi, sosial, maupun profesional.

Meskipun dalam perbincangan guru di lapangan, profesionalisme ini sering kali kemudian dibatasi hanya pada tiga persoalan utama, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan profesi.

Antara profesionalisme dan semi

Konsep profesionalisme guru, dalam kajian pendidikan, dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda, utamanya dalam kaitannya dengan bagaimana profesi guru dianalisis.

Dalam literatur, konsep profesionalisme guru umumnya didiskusikan dalam konteks sosiologis, pedagogis, dan ideologis (Demirkasimoglu: 2010).

Tidak dapat dihindari, di era keterbukaan dengan tingkat kompetisi sedemikian tinggi seperti sekarang ini, kebutuhan untuk mencapai dan mengembangkan standar, kriteria, atau tolok ukur keberhasilan bagi semua profesi telah meningkat pesat, termasuk standar profesionalisme guru.

Standar menciptakan 'praktik baik' di lingkungan profesional sehingga memungkinkan organisasi membuat sistem, kebijakan, dan prosedur terbaik. Dengan sistem yang baik, institusi pendidikan diharapkan dapat memberikan jaminan kualitas operasional yang tinggi.

Oleh karenanya, kini perhatian para pemangku kepentingan pendidikan kepada profesionalisme semakin besar.

Fenomena ini sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan standar dan kualifikasi guru untuk dapat memenuhi tuntutan perkembangan kontemporer dunia kerja, seperti yang juga terjadi pada kelompok profesi lain.

Pada titik ini, konsep mengenai profesionalisme guru menjadi semakin penting, dan dianggap sebagai salah satu elemen kunci efektivitas dalam pengembangan mutu pendidikan.

Menurut UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan untuk anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pilihan UU jelas memosisikan guru sebagai profesional.

Ini berarti guru sejajar dengan profesi-profesi lain, seperti apoteker, dokter, insinyur, hakim, jaksa, akuntan, atau arsitek.

Malah sementara kalangan menyebut guru sebagai 'ibu' dari semua profesi karena gurulah yang 'melahirkan' profesi lainnya.

Sebenarnya, ketika kita membahas profesionalisme guru, masih tersisa satu persoalan dasar yang terus menjadi perdebatan para teoritisi di bidang ini, yaitu menyangkut pertanyaan apakah guru itu 'profesi' atau 'semiprofesi'.

Apakah tepat seluruh karakteristik pekerjaan 'profesional' yang terkesan transaksional dan kaku diterapkan sepenuhnya pada guru?

Pemaksaan profesionalisme dalam makna ini dapat menjerumuskan guru menjadi 'robot' pendidikan yang kehilangan otonomi dan ruh pengabdian. Guru hanya menjadi pekerja biasa, atau mungkin semacam 'buruh pabrik' pendidikan yang kehilangan daya sentuh pada siswa-siswinya.

Penulis cederung tertarik dengan argumen David (2000), yang memasukkan guru sebagai 'semi' atau 'kuasi' profesional.

Mereka ini tidak semestinya dipaksa untuk memenuhi kriteria profesionalisme seutuhnya, seperti yang sering disebut dalam literatur.

Dengan dimasukkan sebagai semiprofesional, guru wajib mengikuti pakem sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, serta menaati 'panduan akademik' dari asosiasi profesi.

Namun, sebagai 'manusia setengah dewa', guru tetap harus menjadi pribadi autentik, yang otonom dan memiliki keikhlasan yang tinggi dalam mendampingi siswa-siswinya menuju masa depan yang lebih cerah.

Dengan demikian, jika tarik menarik antara tuntutan pemenuhan standar kompetensi profesi yang tinggi dan kemandirian mengembangkan diri sebagai pribadi yang unik dapat dikelola sedemikian rupa, guru dapat tumbuh menjadi pekerja profesional di bidangnya, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai individu.

Keunikan setiap guru perlu dipelihara, bukan saja penting bagi yang bersangkutan untuk menjadi diri sendiri sebagai basis perasaan bahagia.

Namun, yang lebih penting sebenarnya ialah upaya memberikan model yang lebih banyak dan beragam bagi siswa, sebagi media identifikasi diri.

Pengembangan profesionalisme guru yang dilakukan secara seragam dan top down kini dipandang sudah kehilangan signifikansinya.

Pola lama ini cenderung mengabaikan potensi beragam yang dimiliki setiap guru, baik bidang keahlian maupun minat utamanya.

Alih-alih meningkatkan kualifikasi, yang lebih sering terjadi di lapangan justru semakin meningkatkan tekanan batin karena terpaksa menjadi orang lain.

Di sisi lain, siswa menjadi tidak cukup memiliki model identifikasi yang memadai.

Keragaman model sangat diperlukan agar siswa memiliki lebih banyak pilihan model identifikasi.

Pengembangan berkelanjutan

Pengembangan profesionalisme semestinya menjadi kegiatan berkelanjutan, yang dikembangkan atas dasar profil kinerja guru, sebagai hasil perwujudan hasil penilaian kinerja guru, dan didukung hasil evaluasi diri yang jujur.

Pelaksanaan program pengembangan profesionalisme berkelanjutan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masa depan yang berkenaan dengan profesinya sebagai guru berkualitas.

Diperlukan pengembangan, pelaksanaan, pengukuran, dan institusionalisasi standar profesionalisme.

Dari berbagai riset diketahui, jika guru tidak mengetahui standar kualitas tinggi yang harus diraih, terdapat kecenderungan mereka menjadi mediocre, berlaku sedang-sedang saja, dan dalam beberapa kasus kecenderungan demikian kemudian menular kepada teman-teman guru lainnya. Untuk itu, benchmarking menjadi penting.

Guru perlu sering diajak studi banding ke sekokah-sekolah dengan standar kualitas profesionalisme guru yang jauh lebih tinggi.

Kolaborasi antarguru perlu terus diperkuat karena dengan kolaborasi terbuka lebih banyak kesempatan bagi guru untuk saling belajar dan berkembang bersama.

Tak dapat dimungkiri, hasil riset menunjukan (Kraft dan Papay, 2014), kerja sama dengan sesama guru dapat menumbuhkan budaya saling percaya (culture of trust) dan berbagi ilmu (knowledge sharing), yang pada gilirannya mampu meningkatkan efektivitas pembelajaran, menaikkan prestasi belajar siswa, dan menyebabkan guru memiliki keinginan yang lebih kuat untuk menerima berbagai inovasi baru.

2 komentar:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp

    BalasHapus
  2. Jadwal Prediksi Sepakbola terupdate dari hasilbola.vip
    Akan memberikan beberapa Prediksi Bola Terbaru.
    Tapi sebelumnya terima kasih sudah mengizinkan saya berkomentar.

    Prediksi Bola Lazio vs Napoli 12 Januari 2020
    https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/3308/lazio-vs-napoli-12-januari-2020/

    Prediksi Bola Inter vs Atalanta 12 Januari 2020
    https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/3309/inter-vs-atalanta-12-januari-2020/

    BalasHapus