Rabu, 02 Mei 2018

HOTS yang sedang Hot

HOTS yang sedang Hot
Indra Charismiadji ;  Pengamat dan Praktisi Pendidikan dengan spesialisasi
                                              MEDIA INDONESIA, 28 April 2018



                                                           
TOPIK soal ujian higher order thinking skills (HOTS) atau soal dengan daya nalar tingkat tinggi jadi perbincangan hangat, tepatnya ketika peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2018 meluapkan keluhan di media sosial. Mereka mengeluh soal ujiannya sulit. Keluhan ini lantas menjadi sorotan praktisi pendidikan, orangtua, hingga guru.

Keluhan itu muncul karena Kemendikbud menyisipkan soal HOTS di UNBK mata pelajaran matematika jenjang sekolah menengah atas (SMA). Alasannya soal itu mengikuti standar Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Peserta ujian yang baru pertama kali menjumpai soal seperti itu, apalagi di ujian akhir, jadi terkaget-kaget.

PISA adalah survei tiga tahunan yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains. Pada survei terbaru (survei periode 2015) posisi Indonesia kurang baik. Kemampuan literasi ada di urutan ke-66 dari 72 negara. Sementara itu, kemampuan matematika di peringkat ke-65 dan kemampuan sains di peringkat ke-64.

Apakah HOTS?

HOTS merupakan konsep reformasi pendidikan yang dimulai pada awal abad ke-21. Tujuannya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) menghadapi Revolusi Industri 4.0. Pada era revolusi industri ini manusia tidak hanya menjadi pekerja yang mengikuti perintah, tetapi juga memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik, mampu berkolaborasi, berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah, lalu kreatif serta mampu berinovasi.

HOTS dilandasi taksonomi pembelajaran yang dicetuskan Benjamin S Bloom pada 1956. Dia psikolog pendidikan asal Amerika Serikat. Taksonomi tersebut kemudian direvisi murid Benjamin S Bloom, yakni Lorin Anderson di 2001. Lorin mengelompokkan keterampilan atau kemampuan berpikir manusia dari tingkatan paling rendah ke paling tinggi.

Kemampuan kognitif itu ada enam tingkatan. Paling rendah ialah menghafal (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), menilai (evaluating), dan yang tertinggi ialah mencipta (creating).

Kemampuan berpikir menghafal, memahami, dan menerapkan disebut dengan keterampilan berpikir tingkat rendah, sedangkan untuk kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan ialah kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Pada konteks ujian nasional, jika soalnya pada keterampilan berpikir tingkat rendah, tentu anak-anak kita diajari bisa menghafal, tapi tidak bisa bertindak. Jika ini diteruskan, saya khawatir cita-cita kehidupan bangsa sebagai bangsa yang maju sulit tercapai.

Dengan demikian, hasil kajian PISA yang menyebutkan peringkat pendidikan di Tanah Air masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain tidak bisa dibantah. Begitu pun dengan kajian Bank Dunia yang menyebut pendidikan kita masih tertinggal 75 tahun jika dibandingkan dengan negara lain, juga tak bisa dipungkiri.

Sederhanakan kurikulum

Saya mengapresiasi langkah Kemendikbud menaikkan tingkat kesulitan soal ujian nasional. Dari tingkat hafalan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni HOTS. Ini suatu langkah yang berani. Republik ini merdeka dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Sayangnya hampir 73 tahun kemerdekaan, cita-cita itu belum tercapai.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Salah satunya membuat cetak biru (blue print) rancangan induk untuk mengembangkan SDM Indonesia. Tentunya SDM yang sesuai dengan kebutuhan Revolusi Industri 4.0.

Revolusi Industri 4.0 membutuhkan SDM yang inovatif, kreatif, mampu menciptakan hal yang baru, serta menciptakan solusi meskipun tidak harus orisinal. Contoh nyatanya bisnis taksi. Taksi sejatinya bukan bisnis baru. Namun, taksi daring merupakan bisnis baru yang berkembang pesat. Menariknya, pebisnis taksi daring, seperti Go-Jek, Grab, atau Uber, tidak memiliki satu unit taksi pun dan tanpa merekrut satu pun sopir.

Pun dengan perusahaan perhotelan terbesar di dunia, Airbnb, tidak memiliki satu pun unit properti. Facebook sebagai perusahaan media sosial terbesar di dunia justru tidak memiliki konten dan penulis. Revolusi Industri 4.0 isinya disrupsi, yang membutuhkan SDM dengan tingkat berpikir HOTS.

Langkah lainnya menyederhanakan kurikulum. Kurikulum sekarang terlampau banyak materi untuk siswa. Siswa tak ada kesempatan untuk memperdalam materi melalui cara berpikir HOTS. Baru pada tingkat cara berpikir rendah. Semakin banyak informasi yang diberikan kepada siswa, kian rendah cara berpikirnya.

Pengalaman pribadi saya kuliah di Amerika Serikat, materi matematikanya sama dengan materi matematika sekolah menengah pertama (SMP) di Indonesia. Jadi, terlampau jauh materi yang diberikan kepada anak-anak kita.

Langkah berikutnya menyiapkan guru untuk menerapkan HOTS dalam pembelajaran sehari-hari. Guru dilatih bagaimana menyiapkan soal HOTS. Kian tinggi levelnya, semakin tidak ada kunci jawabannya. Sebabnya, level tertinggi dari HOTS menciptakan sesuatu yang baru. Guru harus siap tidak hanya berpegangan pada kunci jawaban.

Orangtua dan masyarakat saatnya mengubah pola pikir. Nilai 100 yang diraih anak bukanlah suatu prestasi jika tingkat berpikir anak itu rendah. Jangan bangga anak dapat nilai 100, tapi soalnya hanya hafalan. Sebabnya, itu tingkatan berpikir paling rendah.

Saya sepakat dengan Mendikbud Muhadjir Effendy yang menyampaikan anak kita jangan cengeng. Ujian nasional tidak menentukan kelulusan. Hanya memetakan pendidikan. Ujian kehidupan justru lebih berat.

Kita harus terbiasa masuk ke zona tidak nyaman untuk mencoba sesuatu yang baru sehingga apa yang dicita-citakan di awal kemerdekaan bangsa ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat tercapai. Bangsa Indonesia yang merdeka, tidak bergantung pada bangsa asing serta mampu mengelola kekayaan alamnya sendiri. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar