Selasa, 29 Mei 2018

Menembus ”Kalabendu”

Menembus ”Kalabendu”
Mochtar Pabottingi ;  Profesor Riset LIPI 2000-2010
                                                          KOMPAS, 25 Mei 2018



                                                           
Dalam artikel ini, ”kalabendu” kita pakai sebagai metafor bagi kumulasi terkini dari kompleks lima negativitas. Kelima negativitas, yaitu kala kebenaran dilihat sebagai sudah milik masa lampau (post-truth); kala ”politik” tak lagi jadi ajang upaya kemaslahatan dalam keberagaman (eksklusivisme identitas); kala patokan-patokan akal-budi di ranah publik dicampakkan (pencemoohan political correctness); kala peradaban sedunia dibaca sebagai sudah terkungkung VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) dan kala telah berlaku apa yang disebut Barry R Posen (2018) ”the rise of illiberal hegemony” (mengacu pada perilaku politik liar korosif dari Donald Trump).

Empat yang terakhir jelas menjamurkan terorisme dan kelima-limanya mengorak irasionalitas politik. Historis, negara-bangsa kita memang lebih banyak hidup dalam irasionalitas politik. Delapan tahun Demokrasi Terpimpin menjunjung bangsa atau nasion, tetapi melecehkan demokrasi. Tiga puluh dua tahun Orde Baru melecehkan nasion dan demokrasi sekaligus. Dua puluh tahun era Reformasi, yang dimulai tanpa ”a clean regime change”, banyak melecehkan nasion dan memanipulasi demokrasi. Selama 20 tahun terakhir kita kerap menjalankan ampas demokrasi, bukan jati demokrasi. Selama 32 tahun, Orde Baru melancarkan pembodohan politik masif sehingga total 60 dari 73 tahun usia republik kita, kita lebih banyak tersungkup dalam irasionalitas politik. Demokrasi yang kita jalankan selama dua dekade reformasi ini pun ramai acara, tetapi miskin ”hikmat kebijaksanaan”.

Dua ”kalabendu”

Negara-bangsa kita setidaknya sudah mengalami dua kali momen kalabendu: pada periode 1965-1971 dan 1997-2001. Tiga dari lima negativitas di atas berlaku di dalamnya. Pada kedua periode itu negara-bangsa kita benar-benar berada di ujung tanduk. Selain itu, sesudahnya, bangsa kita pernah ”bermain-main” dengan risiko kalabendu, yaitu pada Pilpres 2014 dan pada Pilkada DKI 2017. Di sini praktis kelima negativitas itu berlaku.

Momen kalabendu memiriskan akal budi kita secara berganda. Pertama, ia menghunjamkan kita ke waktu siklis, bukan ke waktu progresif. Ia menjejalkan alam kehidupan di mana keadaban dilumat oleh kekuatan-kekuatan antitesisnya. Tak lagi berfungsi agregasi koheren dari produk akal budi manusia di ranah individual maupun publik. Di dalam kalabendu, kebenaran jadi serba terjungkir, terbalik dari pesan parabel ”gua Plato”. Seperti dikatakan Martin Heidegger, ”Terang alam nyata menggelapkan segala sesuatu.” Di atas semuanya, tak lagi diindahkan ”the defining moments of our nation”—momen-momen mutiara kita sebagai bangsa di dalam rentang kehidupan politik yang tercerahkan, yang disarikan secara cemerlang oleh para Bapak Bangsa kita.

Jika kita tak siaga menghadapinya, runtun Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 bisa kembali membuat bangsa kita berhadapan dengan momok kalabendu. Itu bisa terjadi lantaran keduanya berkresendo dua tahun berturut-turut dan bermuara pada perlombaan politik tak hanya dengan taruhan tertinggi, tetapi juga potensial dengan laku-laku politik terburuk. Rasionalitas politik perenial bisa kembali dicampakkan. Kini pun masih terasa kegetiran dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017, yang sarat aneka manipulasi, politik uang, penghalalan cara, kampanye hitam, bahkan fitnah keji. Di sini merajalela sikap dan perilaku pokoke: ”Biar segalanya hancur jika bukan kami yang menang.” Termasuk orkestrasi ”pelintiran kebencian”, yang ceroboh disebut Sherian George (Hate Spin, 2016), sebagai hasil kerja para ”political entrepreneurs”—ungkapan penanda kegagalan paham akan esensi ”politics” dan ”entrepreneurs”.

Nasion dan demokrasi terikat dalam simbiosis alamiah. Nasion sebagai bangunan egaliter-otosentris, himpunan solidaritas terbesar, memberi wadah ideal bagi demokrasi. Dan demokrasi sebagai sistem politik otosentris adalah landasan rasional dari keadaban publik yang memperkuat serat-serat nasion. Otosentrisitas nasion maupun demokrasi berlaku manakala tiap warga negara-bangsa menghormati warga lainnya dalam prinsip ”to live and let live” (hidup dan menghidupi) tanpa diskriminasi apa pun. Esensi otosentrisitas juga bersinar pada prinsip leluhur Bugis: sipakkatau (saling memanusiakan), sipakatuo (saling menghidupi), sipakatokkong (saling membangkitkan).

Melecehkan nasion berarti mengerdilkan demokrasi, dan melecehkan demokrasi berarti menggerogoti nasion. Tanpa nasion, demokrasi tersesat; tanpa demokrasi, nasion mengerdil. Di zaman kita, bangsa mana pun akan porak poranda atau terus centang perenang jika tak mengindahkan salah satu apalagi keduanya. Internalisasi dan praksis simbiosis nasion-demokrasi adalah inti rasionalitas politik perenial. Wacana pesimisme ataupun optimisme perihal perkiraan ujung usia negara-bangsa sama tak relevan dan lebih merupakan perbincangan sia-sia, an idle talk. Negara-bangsa kita bisa bubar bahkan sebelum 2030, tetapi juga bisa berjaya melintasi 2045 dan seterusnya. Perbincangan yang paling dibutuhkan saat ini tak lain dari pengembalian rasionalitas politik seutuhnya, mulai dari patokan puncaknya. Rasionalitas politik mestilah dilaksanakan teguh dalam praksis berdemokrasi.

Kita perlu menyimak rasionalitas politik tertinggi itu. Di zaman kita, ketahanan hidup ”negara-bangsa” demokrasi ditentukan krusial oleh kesanggupannya menegari bangunan ”demokrasi-bangsa”. Begitu suatu ”negara-bangsa” terbentuk dengan sistem demokrasi, jadilah penentu keberlangsungan hidupnya hingga jauh ke masa depan tak lain dari ”demokrasi-bangsa”. Maka, begitu suatu negara-bangsa memilih sistem demokrasi, saat itu pula ia dituntut terus mengaktivasi jati diri kebangsaannya pada tiap momen dan mekanisme kontestasi substansial-prosedural dalam berdemokrasi.

Simbiosis nasion-demokrasi juga terpulang pada perbedaan hierarki di antara keduanya. Nasion atau bangsa adalah variabel penentu (independent variable) dan ”demokrasi” variabel tergantung (dependent variable), sama seperti ”bangsa” bagi ”negara”. Tak satu pun momen demokrasi di mana posisi kedua variabel ini bisa dilanggar tanpa risiko tersesatnya demokrasi atau bubarnya ”negara-bangsa”. Artinya, ”demokrasi-bangsa” (demokrasi yang tiap saat harus menjunjung bangsa sebagai variabel penentu) adalah kunci bagi keberlanjutan ”negara-bangsa”. Ini yang saya sebut ”rasionalitas politik perenial”. Negara-bangsa kita hanya bisa dipertahankan lewat rangkaian praksis demokrasi otosentris yang senantiasa bertumpu dan dalam arti kata sesungguhnya terus menyantuni bangsa secara keseluruhan.

Menembus gugus ”kalabendu”

Penyebab utama dari kalabendu 1965-1971 serta konklusi celakanya pada periode 1997-2001 tak lain karena pada kedua-duanya bangsa dicampakkan. Pada 1965-1971, para eksponen Orde Baru mem-privilese-kan diri sebagai penyelenggara pemerintahan utama di atas segala partai dan golongan di dalam republik kita. Semua kekuatan sosial-politik di luarnya selalu mereka lihat dengan penuh kecurigaan, bahkan sebagai sarang para ”pengkhianat negara” dan lantaran itu mereka anak-tirikan secara sistemik.

Pada 1997-2001 berlangsung ”showdown” antara barisan Orde Baru yang pahamnya sudah kedaluwarsa tetapi masih utuh dan mati-matian mengangkangi pemerintahan (dan ditutup dengan laku biadab adu domba bumi hangus di sejumlah daerah plus laku rampok besar-besaran di bidang ekonomi) dengan barisan reformasi yang menangkap tuntutan politik zaman tetapi berserak tanpa koherensi. Hingga kini pun residu Orde Baru masih bertahan kuat di lingkungan negara, paling mencolok di parlemen, dengan ciri yang tetap sama: miskin kepedulian pada bangsa dan kebangsaan. Di sebagian besar daerah, secara ekonomi dan politik, praksis otonomi banyak menginjak-injak keutamaan bangsa dan kebangsaan—induk semua daerah.

Khusus ihwal pilkada dan pilpres, rasionalitas politik menuntut kita melaksanakan tiap perlombaan politik secara berpantang mengorak politik identitas dan/atau populisme, termasuk paham kilafah yang sungguh eskapis. Tak boleh dilupakan pilkada ataupun pilpres adalah perhelatan negara-bangsa. Dalam negara-bangsa, penjunjungan pada bangsa tak kenal jeda dan absurd memperlakukan bangsa sebagai sewaktu-waktu tiada.

Dalam konteks Indonesia, populisme (sebutan lain dari mayoritarianisme) identik dengan politik identitas yang diusung oleh banyak kalangan mayoritas dan harus dituding sebagai laku tirani mayoritas. Dan kapan pun tiap laku tirani mayoritas, seperti juga tiap laku tirani minoritas (yaitu manakala para pelaksana negara disetir oleh segelintir taipan), pada sebuah bangsa berarti pengkhianatan terhadap negara-bangsa, terhadap bangunan kebangsaan yang telah disepakati sebagai prinsip, titik tolak, dan tempat bertumpu kegiatan apa pun yang berlangsung di dalamnya. Dan suatu tirani mustahil diatasi dengan tirani lainnya, sebab tiap praksis tirani merupakan laku menuju bunuh diri.

Para pengorak populisme atau politik identitas membaca dan menggunakan alinea terpanjang dari pidato ”Lahirnya Pancasila”, yaitu kala Soekarno menyinggung isi Badan Perwakilan Rakyat, secara keluar dari inti pesan keseluruhan pidato. Di situ terbaca: ”Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam …, marilah kita—pemimpin-pemimpin yang menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam.”

Para eksponen politik identitas tak mengindahkan kalimat penutup sarat ”hikmat kebijaksanaan” dari alinea itu: ”Allah subhanahu wa taala memberikan pikiran kepada kita agar dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.” Ungkapan ”dalam pergaulan kita sehari-hari” searti dengan kata ”kapan pun” dan frasa ”kita selalu bergosok” senapas dengan ”kita selalu saling asah” dalam perlombaan keadaban publik demi kemaslahatan bersama.

Itu berarti ”adu program”, ”adu akal-budi”, bukan ”adu identitas”. Alinea itu juga wajib dibaca searah dengan kesimpulan alinea kesembilan di bawahnya: ”Marilah kita amalkan, jalankan agama … dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.” Pesan inti dari keseluruhan pidato cemerlang itu tak lain adalah agar bangsa kita yang beragam ini tegak bersatu dan terus berkiprah bersama di bawah cahaya kelima sila di dalam Pancasila—jati diri kebangsaan kita.

Kita mesti meyakini bahwa panji ”post-truth” hanyalah bagian dari omong kosong zaman—the fads and foibles of the time. Akal budi maupun hati nurani manusia selalu gandrung pada kebenaran. Bahwa siapa pun yang mengamalkan ”politik” sebagai arena akal bulus politik identitas akan hancur sendiri. Bahwa kompetisi di ranah publik hanya bisa dimenangi dengan menjunjung akal budi. Bahwa tiap eksponen dan kekuatan bajik di Tanah Air maupun di seluruh dunia tekun bekerja agar volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas tetap terkendali. Bahwa ”bangkitnya hegemoni tak waras” hanya merupakan gejala selintas, sebab kembali ke butir pertama, secara agregat manusia di mana pun senantiasa gandrung pada akal budi ataupun hati nuraninya.

Kini, dan sedari awal, Trump terus kewalahan menghadapi perlawanan dari kekompakan eksponen kebajikan di Amerika Serikat, bahkan tanpa jeda dari dalam Gedung Putih sendiri. Maka Posen benar sekali kala menulis, ”Sekuat apa pun dia berusaha, Trump akan gagal dalam upayanya merespons tantangan-tantangan masa kini dengan kembali ke masa lampau.”

Begitu pula halnya praktis dengan segenap barisan teroris. Jika mereka mengaku Muslim, laku ”amaliyah” mereka sepenuhnya bertolak belakang dengan prinsip ”ahsanu amala”. Hanya dengan ”ahsanu amala”, akal budi, atau ”hikmat kebijaksanaan” yang teguh bertumpu pada rasionalitas politik perenial, negara-bangsa kita bisa mengatasi dan menembus gugus-gugus kalabendu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar