Minggu, 18 September 2022

 

Hutan Lindung Sahendaruman Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

Dini Pramita :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

RASA cemas terus menimpa Samsared B. Barahama. Pegiat lingkungan yang juga Direktur Perkumpulan Sampiri ini belum lega selama Hutan Lindung Gunung Sahendaruman yang berada di Kecamatan Tamako, Manganitu, dan Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, masih masuk area konsesi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS). Sejak Januari 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberi izin operasi kepada PT TMS yang mengantongi konsesi 42 ribu hektare atau setengah wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang luasnya 73.698 hektare.

 

Bagi Samsared dan penduduk pulau, keberadaan Hutan Lindung Sahendaruman lebih memiliki nilai bagi kehidupan dan keselamatan manusia ketimbang tambang emas. “Kami sangat bergantung pada nilai ekologis Hutan Lindung Sahendaruman,” kata Samsared. Hutan primer dan sekunder seluas 3.549 hektare itu berada di bagian selatan Pulau Sangihe yang merupakan sedikit hutan alam yang tersisa di pulau itu.

 

Menurut Samsared, Sahendaruman adalah salah satu penjaga dan penyeimbang iklim mikro di pulau. “Pulau Sangihe dikelilingi lautan sehingga memiliki kelembapan dan suhu udara rata-rata yang tinggi. Hutan lindung Sahendaruman berfungsi menjaga dan menyeimbangkan hal-hal itu, sehingga masyarakat Sangihe dapat merasa nyaman beraktivitas dan tinggal di sini,” katanya. Jika hutan lindung Sahendaruman digaruk, Samsared khawatir tak ada yang menyeimbangkan iklim mikro di daratan Sangihe.

 

Hutan yang berbentuk seperti tapal kuda ini merupakan daerah tangkapan air utama bagi Pulau Sangihe. Hutan ini menjadi hulu dari 70 sungai yang mengalir di Pulau Sangihe. “Karena itu, masyarakat Sangihe sangat menggantungkan pemenuhan air baku dari Hutan Lindung Gunung Sahendaruman,” tutur Samsared. Ketersediaan air di sungai-sungai sepanjang tahun juga sangat penting bagi masyarakat Sangihe yang menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Untuk mengolah sagu dibutuhkan air yang mengalir dalam debit yang cukup besar.

 

Sebagai daerah tangkapan air utama, hutan lindung memegang peran penting dalam mencegah bencana banjir dan longsor serta kekeringan. Tidak hanya potensi tiga bencana itu, Sangihe merupakan pulau dengan potensi multibencana yang tergolong sedang. Menurut kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pulau Sangihe memiliki Indeks Risiko Bencana pada 2021 dengan skor 137,34. Namun, khusus untuk risiko bencana gempa bumi, digolongkan sangat tinggi, dengan skor 20,72.

 

Demikian pula untuk risiko bencana tsunami, Sangihe diklasifikasikan sebagai daerah dengan risiko bencana tsunami yang tinggi. Status ini tak pernah berubah dari tahun ke tahun sejak 2012 dengan skor 12,52. Risiko bencana lain yang menghantui masyarakat Sangihe adalah letusan gunung berapi, yang skornya 15,34 dan menjadi 10 besar daerah dengan tingkat ancaman tertinggi di Indonesia. BNPB juga menggolongkan Sangihe sebagai daerah berisiko bencana tanah longsor yang tinggi dengan skor 23,02.

 

Keberadaan tambang emas di daerah berisiko bencana tinggi ini menambah rasa waswas masyarakat. Apalagi aktivitas penambangan bisa memicu pergerakan tanah ataupun lapisan bebatuan. Menurut Muhammad Jamil, pengacara publik dari Jaringan Advokasi Tambang, penolakan warga Sangihe terhadap tambang emas lebih dari sekadar PT TMS menyalahi Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “Itu hanya alasan formal. Alasan sebenarnya jauh melampaui itu karena terkait dengan ruang hidup, keberlanjutan hidup dan lingkungan, serta keselamatan,” tuturnya.

 

Jamil mengatakan Desa Bowone, yang menjadi lokasi eksplorasi tahap pertama, adalah desa pengungsian ketika terjadi letusan Gunung Awu. “Bila desa itu diubah menjadi pertambangan, ke mana masyarakat akan mengungsi?” ucapnya. Padahal, menurut Jamil, Gunung Awu masih aktif sampai sekarang dan pernah meletus 18 kali serta menelan lebih dari 7.000 korban jiwa. Menurut data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, letusan pada 1856 memakan korban 2.806 jiwa dan pada 1892 menelan korban 1.532 jiwa.

 

Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island juga mengatakan hal yang sama. Jull mengibaratkan aktivitas kegempaan, baik tektonik maupun vulkanis, sebagai makanan sehari-hari penduduk Sangihe. Karena itulah ia tak merasa heran jika daerah itu menjadi rawan tanah longsor dan gempa bumi. “Itulah mengapa, meskipun Sangihe menyimpan kekayaan melimpah di dalam perut buminya, wilayah kami ini tidak layak untuk ditambang,” ujarnya.

 

Menurut Samsared, Hutan Lindung Gunung Sahendaruman menyediakan perlindungan bagi masyarakat Sangihe dari potensi bencana tersebut. “Daerah pegunungan menyediakan tempat bagi masyarakat untuk mengungsi, sekaligus menjadi tempat untuk meredam tingginya potensi tanah longsor,” tuturnya. Ia menyayangkan kecerobohan pemerintah pusat yang memberi konsesi tambang untuk TMS seluas lebih dari setengah pulau dan memasukkan hutan lindung pada konsesi itu.

 

Fungsi lain Hutan Lindung Gunung Sahendaruman, Samsared menambahkan, adalah sebagai habitat atau rumah bagi beberapa satwa endemis Sangihe. Sejak 1995, ia bergulat dengan upaya konservasi Sahendaruman dan perlahan-lahan berhasil mengajak masyarakat untuk ikut serta. Sebelumnya, masyarakat di sekitar Sahendaruman sempat menolak penetapan kawasan itu sebagai hutan lindung karena proses penataan batasnya tak melibatkan masyarakat. “Untuk membuat masyarakat berbalik arah mendukung kelestarian hutan lindung bukan pekerjaan mudah,” ucapnya.

 

•••

 

SEMPAT hilang selama hampir seabad, burung seriwang Sangihe ditemukan kembali oleh John Riley dari University of York, Inggris, dan James C. Wardill dari University of Leeds, Inggris, pada 1998. Kedua periset itu menelusuri hutan primer Sahendaruman berbekal informasi dari Anius Dadoali yang menceritakan perjumpaannya dengan burung misterius. Anius, yang kini telah meninggal, lantas menyebutkan ciri-ciri burung misterius tersebut.

 

Ketika menjelajahi hutan yang terletak di pegunungan Sahendaruman, kedua periset itu berjumpa dengan dua burung misterius yang diceritakan oleh Anius. Berdasarkan pengamatan, para peneliti sepakat burung itu adalah seriwang Sangihe yang dikenal dengan nama latin Eutrichomyias rowleyi. Seriwang Sangihe lantas disebut dengan nama lokal manu’ niu, mengambil nama Anius yang pertama kali berjumpa dengan burung itu dan mengabarkannya kepada para peneliti Inggris.

 

Sematan nama niu juga bukan tanpa alasan. Menurut Samsared B. Barahama, pemberian nama niu juga digunakan untuk melokalkan nama burung tersebut. “Sebab, pada saat itu tak banyak warga Sangihe yang mengetahui burung itu dan tahu namanya,” katanya. Padahal manu’ niu bukanlah jenis burung baru yang belum memiliki taksonomi. Catatan ihwal burung ini salah satunya dapat dilacak lewat konservasionis asal Cambridge, Inggris, George Dawson Rowley.

 

Rowley menjelajahi Nusantara bersama ornitolog atau pakar burung asal Jerman, A.B. Meyer, pada 1870. Ekspedisi itu mengantarkannya ke kawasan hutan yang berada di pegunungan Sahendaruman pada 1872 dan mempertemukannya dengan manu’ niu. Ia mencatatnya pula dalam buku Ornithological Miscellany dan satu spesimen seriwang Sangihe ia berikan kepada A.B. Meyer pada 1873. Sejak saat itu, tak ada lagi catatan apa pun mengenai manu’ niu.

 

Burung manu’ niu memiliki ciri-ciri berwarna biru agak gelap pada bagian atas dan abu-abu kebiruan pucat di bagian bawah tubuhnya hingga ekor. Burung ini memiliki panjang di bawah 20 sentimeter dan hinggap di kanopi atau subkanopi pohon dengan ketinggian di atas 15 meter. Seriwang Sangihe, menurut catatan Rowley dan Meyer, merupakan burung pemakan serangga.

 

Menurut Samsared, manu’ niu dan Sahendaruman tak dapat dipisahkan. Habitatnya sangat spesifik di lembah-lembah pegunungan di dalam Hutan Lindung Sahendaruman yang sangat jauh dari aktivitas manusia. “Manu’ niu satu-satunya di dunia, hanya bisa ditemukan di Sahendaruman, tidak di hutan lain,” tuturnya. Manu’ niu kini juga terancam punah. Berdasarkan riset yang dipublikasikan Riley dan BirdLife International pada 2001, populasi burung yang juga dikenal sebagai Cerulean Paradise-flycatcher itu diperkirakan hanya 34-150 individu.

 

Manu’ niu bukanlah satu-satunya burung endemis Sahendaruman. Di hutan lindung itu, ada sembilan jenis burung endemis lain. Menurut Ferry Hasudungan, konservasionis dari Burung Indonesia, tujuh dari sepuluh burung endemis Sangihe itu termasuk jenis yang terancam punah pada Daftar Merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) untuk Spesies yang Terancam. Lima di antaranya tergolong kritis dan dua lainnya tergolong terancam.

 

Padahal burung-burung endemis ini berperan penting sebagai bagian dari ekosistem. Burung-burung pemakan buah, misalnya, berperan penting sebagai penyebar biji. Burung-burung pemakan serangga seperti manu’ niu adalah pengendali populasi serangga yang sangat penting bagi daya dukung pertanian. Sementara itu, burung madu Sangihe, yang masuk klasifikasi terancam punah, berperan penting dalam proses penyerbukan bunga.

 

Ferry mengatakan, meski saat ini populasi burung-burung endemis ini tergolong stabil, tekanan-tekanan yang dihadapi kawasan Sahendaruman yang menjadi habitatnya terus terjadi. Tekanan tersebut dapat mengancam keberadaan burung-burung tersebut. Ferry menjelaskan, gangguan dan potensi ancaman terhadap burung-burung endemis itu secara umum terbagi menjadi dua, yaitu secara alami yang datang dari curah hujan tinggi sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Adapun aktivitas manusia yang menjadi ancaman antara lain perburuan liar, penebangan kayu, perambahan hutan, dan alih fungsi lahan pertanian atau budi daya.

 

Kehadiran konsesi PT TMS yang berpotensi menyebabkan alih fungsi hutan dan perubahan bentang alam menambah tekanan tersebut. Ferry berkata, “Dengan status Sahendaruman sebagai hutan lindung, seharusnya kawasan itu dikeluarkan dari area konsesi.” Menurut dia, jika demam emas terus bergaung, bukan tak mungkin Sahendaruman ikut digaruk untuk ditambang emasnya.

 

Menurut Samsared, aktivitas PT Tambang Mas Sangihe kelak berpotensi menurunkan populasi burung-burung endemis hutan lindung Sahendaruman. Aktivitas tambang emas dari peledakan hingga pengangkutan akan mengganggu aktivitas burung-burung endemis tersebut. “Jika tambang sudah beroperasi dan makin mendekat ke arah hutan lindung akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi burung seperti manu’ niu yang sangat sensitif terhadap suara dan getaran,” kata Samsared. “Mendengar suara ranting dan daun terinjak saja mereka langsung pergi.”

 

Menurut Legal Senior PT TMS Rico Pandeirot, hutan alam Sahendaruman, meski berada di dalam area konsesi, tidak ada dalam rencana kerja. "Untuk melakukan pembebasan 65 hektare saja sudah sulit dan tidak serta-merta dapat dilakukan penambangan. Apabila ada area hutan lindung atau terdapat permukiman masyarakat, dibutuhkan izin lain yang tidak mudah diterbitkan," ucapnya.

 

Ia menambahkan, dengan adanya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), secara prinsip perusahaan telah mempertimbangkan aspek lingkungan dan potensi alami lain. Menurut Rico, dalam penyusunan amdal, perusahaannya telah melibatkan masyarakat dengan melakukan sosialisasi. "Sosialisasi bukan forum untuk permintaan persetujuan masyarakat," ujarnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/166939/hutan-lindung-sahendaruman-pulau-sangihe-terancam-tambang-emas

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar