Dampak Kenaikan Suku
Bunga The Fed pada Indonesia Yopie Hidayat : Reporter Majalah Tempo, Kontributor
Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
September 2022
PERHATIAN pasar finansial
global kembali terpusat pada kebijakan suku bunga bank sentral Amerika
Serikat atau The Federal Reserve pekan ini. Keputusan bank sentral mengenai
suku bunga sebetulnya perkara rutin belaka. Tapi, kali ini, pasar memang jauh
lebih tegang. Mungkin saja The Fed akan bertindak agresif dalam menentukan
suku bunga. Sebab utamanya apa lagi
kalau bukan inflasi. Tadinya pasar berharap inflasi di Amerika Serikat mulai
reda pada Agustus lalu. Menurunnya harga minyak dunia sepanjang bulan lalu
memunculkan harapan itu. Jika demikian halnya, semestinya kebijakan bunga The
Fed akan lebih lunak pula. Harapan itu menguap ketika
data inflasi terbit pekan lalu. Inflasi bulanan selama Agustus ternyata 0,1
persen lebih tinggi ketimbang pada Juli. Kenaikan tingkat inflasi inti, yang tidak
mencakup harga makanan dan energi, lebih mengagetkan. Inflasi inti di Amerika
per Agustus meningkat 0,6 persen dibanding pada Juli. Secara tahunan, angka
lonjakannya bahkan mencapai 6,3 persen. Ini sungguh di luar dugaan pasar. Adapun dalam berbagai
kesempatan sebelumnya, The Fed sudah mengirim sinyal keras: tak akan ragu
bertindak demi menjinakkan inflasi, apa pun konsekuensinya dan berapa pun
ongkosnya. Dan arsenal yang tersedia di tangan The Fed adalah kenaikan suku
bunga. Kalau toh akibatnya pertumbuhan ekonomi melemah, The Fed melihat hal
itu hanya sebagai ongkos yang mesti dibayar untuk meredakan inflasi. Ini
masih lebih baik ketimbang cekikan inflasi yang makin kuat. Walhasil, pasar kini
mengantisipasi serangkaian kenaikan bunga The Fed yang lebih cepat, lebih
tinggi, dan besar kemungkinan akan bertahan lebih lama. Inflasi di Amerika
terbukti bandel dan liar sehingga membutuhkan pengetatan kebijakan moneter
yang lebih agresif untuk menjinakkannya. Masalahnya, bukan hanya
ekonomi Amerika yang akan melambat jika bunga The Fed melonjak tinggi dan
bertahan lama. Bank Dunia sudah memperingatkan, penetapan bunga tinggi The
Fed, yang pasti akan disusul kebijakan serupa dari bank-bank sentral lain,
sangat berpotensi memicu resesi global tahun depan. Hal ini bisa merusak
ekonomi banyak negara. Selain itu, beberapa
negara harus menghadapi persoalan yang lebih berat daripada sekadar
melambatnya pertumbuhan ekonomi. Muncul tekanan besar yang menggerus nilai
mata uang karena terjadi pelarian modal secara masif di mana-mana. Bunga
tinggi dalam dolar Amerika membuat alokasi dana investasi di seluruh dunia
berbalik arah, mengalir ke berbagai aset dalam dolar. Itulah langkah mencari
aman sekaligus menggali imbal hasil yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, sekali
lagi Indonesia sungguh amat beruntung. Ekonomi kita masih menikmati surplus
neraca perdagangan sehingga rupiah aman dari gejolak pasar. Kurs rupiah
relatif stabil meski mata uang negara-negara lain tertekan berat dan
kehilangan nilai cukup besar. Di Korea Selatan,
misalnya, pemerintah dan bank sentral mulai kelabakan karena nilai won
terhadap dolar Amerika merosot hingga 16,8 persen sejak awal tahun hingga
akhir pekan lalu. Yen Jepang merosot lebih dalam, 24,29 persen pada periode
yang sama. Sebagai pembanding, rupiah hanya merosot 4,7 persen. Pada Agustus, meski harga
berbagai komoditas ekspor Indonesia mulai turun, nilai ekspor Indonesia
justru masih tumbuh dengan pesat, yaitu 9,17 persen dibanding pada Juli 2022.
Hal itu terjadi karena ada lonjakan volume ekspor yang amat besar pada minyak
sawit dan besi baja, terutama ke Cina. Pertumbuhan sebesar ini,
hanya dalam sebulan, adalah rezeki nomplok yang amat signifikan. Jika
dihitung sejak awal tahun hingga akhir Agustus 2022, angka surplus
perdagangan Indonesia sudah mencapai US$ 34,92 miliar. Angka ini tumbuh 68,6
persen jika dibanding pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$
20,71 miliar. Surplus super-gendut ini yang menyelamatkan ekonomi Indonesia
untuk sementara waktu. Namun jangan terlena,
surplus gendut bisa datang dan pergi dengan cepat ketika pasar global
bergejolak selepas kenaikan suku bunga. Jika betul tahun depan resesi global
akan melanda, ekspor Indonesia besar kemungkinan bakal melambat. Tanpa
bantalan surplus gendut, ekonomi Indonesia akan menghadapi cobaan yang
sebenarnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/sinyal-pasar/166933/dampak-kenaikan-suku-bunga-the-fed-pada-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar