Minggu, 18 September 2022

 

Ancaman Polarisasi di Balik Kisruh Calon Presiden Partai Politik

Opini Tempo :  Redaktur Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

MENGKLAIM dirinya sebagai partai wong cilik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai penggede yang elitis. Dalam soal regenerasi kepemimpinan, termasuk proses melahirkan calon presiden, partai politik ini menabalkan diri sebagai partai trah Sukarno khususnya darah biru Megawati Soekarnoputri.

 

Muncul sebagai pemenang pada Pemilihan Umum 2019 dengan 19,33 persen suara atau 128 kursi Dewan Perwakilan Rakyat, PDIP kini satu-satunya partai politik yang memenuhi ambang batas pencalonan presiden. Artinya, tanpa berkoalisi dengan partai lain, partai itu dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden sendiri.

 

Tiket masuk itu kini digenggam erat-erat Megawati dengan mempersiapkan Puan Maharani, putri Mega, sebagai kandidat. Dengan elektabilitas yang rendah, Puan sebenarnya sulit diharapkan memenangi pertarungan Pemilu 2024—setidaknya demikian hasil sigi sejumlah lembaga survei. Tak menghiraukan kader banteng lain yang memiliki kans lebih besar, Mega tancap gas menjajakan Puan Maharani.

 

Sudah sejak setahun lalu nama Puan dan Ganjar Pranowo, kader PDI Perjuangan yang sekarang menjabat Gubernur Jawa Tengah, masuk bursa calon. Berbeda dengan Puan yang tingkat keterpilihannya lambat beringsut dari posisi bawah, Ganjar selalu masuk tiga besar bersama dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

 

Tak ingin mendapat pesaing dari kandang sendiri, Puan kini bermanuver menghadang Ganjar. Didukung orang-orang dekatnya yang mayoritas pengurus teras partai, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini bergerilya mencari dukungan. Megawati telah pula meminta Puan bersafari menemui sejumlah ketua umum partai politik untuk menjajaki kerja sama di Pemilu 2024. Dalam sebulan terakhir, dia bertemu dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.

 

Bukan hanya di Jakarta, Puan juga bergerak ke tingkat cabang dan ranting. Dengan dukungan penuh sebagian besar anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR, dia blusukan ke sejumlah daerah. Tim khusus bernama Dewan Kolonel yang diisi politikus Senayan dari PDI Perjuangan diketahui menyiapkan panggung buat Puan di tiap daerah pemilihan. Adapun Ganjar dikunci di pelbagai kesempatan. Kunjungannya ke sejumlah daerah dalam kapasitasnya sebagai Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada dihardik sejumlah petinggi PDI Perjuangan sebagai sikap tak patuh pada komando pimpinan pusat.

 

Sudah sedari awal Megawati berniat melanggengkan trah dirinya di PDI Perjuangan. Apalagi, seperti yang sudah-sudah, dalam Rapat Kerja Nasional II pada Juni lalu dia didapuk menjadi penentu akhir calon presiden dan wakil presiden dari PDI Perjuangan.

 

Memajukan Puan sejalan dengan rencana PDIP mempersempit pertarungan pemilihan presiden menjadi dua pasangan calon saja. PDIP dengan koalisinya di satu pihak dengan kandidat lawan di pihak lain. Puan, jika elektabilitasnya tak kunjung membaik, akan ditempatkan sebagai calon wakil presiden. Informasi yang santer beredar, ia akan berpasangan dengan Prabowo Subianto.

 

Dengan menarik Prabowo—atau kandidat dari partai lain dengan elektabilitas moncer—diharapkan partai-partai kelas bawah dan menengah akan bergabung dalam koalisi besar PDIP. Mereka yang tak sehaluan bersekutu dalam koalisi lawan. Dengan ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara Pemilu 2019 bagi partai atau koalisi partai yang ingin mengajukan calon, sulit bagi partai kecil untuk punya kesempatan menyorongkan kandidat alternatif.

 

Jika ini yang terjadi, polarisasi dua kandidat tidak terhindarkan. Dari mereka yang selama ini mengklaim dirinya memiliki elektabilitas tinggi—Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau siapa pun dia—hanya akan terpilih satu orang sebagai calon dari “kubu lawan”. Mereka pun bukan tidak mungkin hanya akan menjadi calon wakil presiden mengingat tak semuanya adalah orang partai. Sisanya akan gigit jari. Adapun publik kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin alternatif.

 

Polarisasi kandidat akan melahirkan polarisasi pemilih. Sampai di sini kecemasan banyak orang bahwa Pemilu 2024 akan sama tegangnya dengan pemilu sebelumnya boleh jadi ada benarnya. Ketegangan itu sialnya akan bersumber dari hal-hal yang sensasional dan bukan substansial. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan, misalnya, akan menjadi topik utama perdebatan di masyarakat. Publik tak selamanya bisa disalahkan: hingga saat ini, tak satu pun kandidat yang berpendapat misalnya tentang perubahan iklim, perang Rusia-Ukraina, atau fenomena diskriminasi terhadap orang dengan gender non-biner.

 

Pemilu dengan demikian hanya sarana menyalurkan syahwat kekuasaan para juragan partai politik. Adapun pemilih cuma tukang coblos yang suaranya bisa dibeli dengan kaus oblong, goyang dombret di TikTok, atau sentimen darah biru ketua umum partai politik. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/opini/166954/ancaman-polarisasi-di-balik-kisruh-calon-presiden-partai-politik

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar