Minggu, 18 September 2022

 

Kesalahan Pemakaian Tanda Hubung

Kasijanto Sastrodinomo :  Pekolom independen, pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1988-2018)

MAJALAH TEMPO, 18 September 2022

 

 

                                                           

DALAM suatu rapat penyuntingan naskah buku di sebuah instansi, muncul diskusi kecil tentang bagaimana menggunakan tiga tanda baca berbentuk sama, berupa garis datar dalam posisi sejajar, tapi berukuran beda. Yang terpendek disebut hyphen atau sempang alias tanda hubung (-); yang kedua berukuran agak panjang disebut en dash atau tanda rentang (–); dan yang terpanjang ialah em dash (atau dash saja) alias tanda pisah (—). Sangat teknis memang, tapi terasa mengusik: mungkin cukup banyak di antara kita sebagai pengguna bahasa tak terlalu hirau terhadap soal pemakaian tanda-tanda itu secara tepat. Mungkin pula banyak yang merasa tak perlu-perlu amat mengetahui sebutannya; biasanya cukup dikatakan “strip” saja.

 

Dari ketiga tanda baca tersebut, hanya dua tanda, yaitu tanda hubung dan tanda pisah, yang dijelaskan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) V. Begitu pula dalam kamus-kamus linguistik, hanya dua tanda itu yang dicatat sebagai entri. Arkais, hanya tanda hubung yang tertera pada tuts mesin tik manual dan jika diketuk dobel (--) terjelma tanda pisah, dianggap setara dengan dash pada sistem komputer. Sementara itu, tanda rentang luput dijelaskan dalam pedoman ejaan. Mungkin pula telat dikenali karena tanda itu baru muncul dalam sistem komputer melalui menu insert/symbol.

 

Diskusi meletik lantaran ditemukan cara penulisan angka tahun periodisasi yang berbeda pada naskah yang disunting. Cara pertama memakai tanda hubung seperti terbaca pada angka tahun 1942-1945 (periode pendudukan tentara Jepang di Indonesia). Cara kedua menggunakan tanda pisah; contohnya dikutip dari kalimat Paku Buwana IX (1861—1893) menulis tentang seorang Bupati yang dapat disogok ..., dan seterusnya. Kedua kelompok angka tahun itu menunjuk hal sama, yakni kronologi waktu atau periode yang lazim tersua dalam tulisan sejarah. Dalam contoh itu, yang pertama merujuk pada suatu masa penjajahan; sedangkan yang kedua merujuk pada zaman pemerintahan seorang raja.

 

Penulisan versi manakah yang paling pas? Jawaban pertama condong pada pemakaian tanda hubung (-) dengan alasan praktis bahwa tanda itu telah tersedia di keyboard komputer dan siap pakai. Sebaliknya, jawaban kedua memilih menggunakan perintang atau tanda pisah (―) sesuai dengan resèp EYD V. Ada pula jawaban ketiga yang pragmatis bahwa kedua cara penulisan angka periodisasi, dengan tanda hubung ataupun tanda pisah, sami mawon. Argumennya, pembaca umumnya tahu bahwa jika terdapat dua kelompok angka tahun yang disisipi oleh tanda “strip” di antaranya (seberapa pun ukurannya) berarti merujuk pada periode atau penggal waktu tertentu. Artinya, fungsi tanda hubung jadi rancu dengan tanda pisah karena dianggap sama-sama menyatakan “sampai”, “sampai dengan”, “sampai ke”, atau “hingga”.

 

Jika taat asas pada fungsi formal tanda-tanda tersebut, ketiga jawaban itu kurang tepat, bila bukan salah. Mengacu pada fungsi tanda hubung sebagai penyambung atau perangkai (lihat EYD V), penulisan periode 1942-1945 bisa-bisa dianggap identik dengan 19421945. Bandingkan dengan gabungan angka kode negara, kode area, dan nomor telepon yang biasa disurat 62-21-5360409 (pinjam nomor Tempo), juga bisa ditulis bablas menjadi 62215360409 (kebetulan tanda hubung tidak tersedia pada tombol pesawat telepon). Begitu pula non-pribumi, analogi lain, bisa langsung ditulis nonpribumi. Jadi tanda sempang bisa melesap atau dilesapkan.

 

Adapun tanda pisah dipakai untuk, pertama, membatasi atau merintangi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat. Ini contoh tepat: Ia dipenjara―dan dalam tahanan mengalami trauma melihat banyak perempuan tak bersalah disiksa―karena dituduh ikut dalam peristiwa di Lubang Buaya (Laporan Khusus, “Umi Sardjono dan Tuduhan terhadap Gerwani”, Tempo, 10 Oktober 2021). Kedua, tanda pisah berfungsi menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan lain, misalnya Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah Pemuda—harus terus digelorakan (contoh dalam EYD V). Ketiga, menyatakan “sampai dengan” atau “sampai ke” seperti 2010—2013; Jakarta—Bandung (EYD V).

 

Tapi pemakaian tanda pisah pada contoh terakhir (ketiga) tersebut bisa bermasalah. Fungsinya sebagai pemisah menjadi tidak klop untuk menyatakan “sampai dengan” atau “sampai ke” yang bermakna menautkan. Pada contoh penulisan periode 2010—2013 bisa disalahpahami bahwa tahun 2010 dijauhkan dari 2013. Padahal kedua tahun itu sebenarnya justru ditautkan sebagai suatu kesatuan jangka waktu (bayangkan seperti tali jemuran yang direntangkan dari satu tiang ke tiang yang lain). Maka di sini tanda rentang (–) menawarkan cara tepat penulisan tahun periodik: 2010–2013. Begitu pula Jakarta—Bandung semestinya ditulis Jakarta-Bandung jika dimaksudkan “[dari] Jakarta sampai Bandung”.

 

Mungkin ada pendapat bahwa ketidaktepatan dalam penggunaan tanda hubung (-), (–), dan (—) hanyalah soal kecil yang masih bisa dimengerti maksud sebenarnya; atau sebagai wujud asas “manasuka” (arbitrary) yang memungkinkan suatu pilihan bebas. Bolah-boleh saja begitu. Namun yang juga hendak ditekankan di sini ialah “keyakinan” bahwa sekecil apa pun suatu tanda [baca] pastilah diciptakan untuk menyandang fungsi khas tertentu. Juga bisa menjadi semacam batu uji seberapa kita taat, cermat, dan tepat, tanpa meninggalkan kiat, dalam berbahasa. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166943/kesalahan-pemakaian-tanda-hubung

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar