Wawancara Menteri
Agam Soal Kultur Kekerasan Pesantren Gontor Riky Ferdianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
September 2022
KEMATIAN Albar Mahdi,
santri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, kembali
menambah panjang daftar korban penganiayaan di lingkungan pesantren.
Seolah-olah tak pernah berhenti, kekerasan yang umumnya dilakukan kakak kelas
itu masih terus terjadi. Selain Albar, ada tiga santri lain yang meninggal
karena dianiaya senior pada 2022. Kementerian Agama membentuk tim investigasi
untuk menelusuri penyebab kematian Albar di Pesantren Gontor. Menteri Agama Yaqut Cholil
Qoumas sudah meminta timnya untuk mencari akar masalah yang menyebabkan kekerasan
fisik dan seksual terus berulang. Ia berjanji mencabut izin operasi pesantren
jika terbukti menyimpang. Berikut ini petikan wawancara Menteri Yaqut yang
dikirim secara tertulis kepada Tempo pada Kamis, 15 September lalu. Apa
yang hendak didalami dalam kasus kematian santri Gontor? Kami ingin mengetahui
kronologi peristiwa langsung dari pihak Gontor. Juga untuk mendapatkan
gambaran apakah kekerasan yang terjadi di sana bersifat personal atau
sistemik. Dalam
hal ini, banyak pihak ragu Kementerian Agama akan menjatuhkan sanksi kepada
Gontor. Tanggapan Anda? Penilaian orang tidak bisa
kita batasi, monggo saja. Ada
alumnus Gontor yang bersaksi menjadi korban kekerasan. Apakah tim investigasi
Kementerian juga menemukan hal ini? Kesaksian para alumnus bisa
menjadi bahan masukan. Tapi kita juga perlu bersikap proporsional. Saya masih
ber-khusnudzan bahwa peristiwa yang kemarin terjadi tidak serta-merta
mencerminkan corak pendidikan di sana. Benarkah
kultur kekerasan kerap lahir dari relasi senior-junior, bahkan guru-pengasuh? Relasi senioritas dan
yunioritas tidak selamanya negatif. Kita mesti bedakan antara kedisiplinan
dan kekerasan. Kedisiplinan boleh dan bahkan harus ditanamkan sejak dini.
Sebaliknya, kekerasan apa pun bentuknya tidak boleh, apalagi di lembaga
pendidikan. Mengapa
ada indikasi pembiaran kultur kekerasan yang dilakukan pengasuh Gontor? Saya meyakini kekerasan
bukan kultur pesantren. Karena itu, pesantren juga tidak akan membiarkan
tindak kekerasan. Apakah
sistem itu sengaja dipertahankan karena dianggap efektif menciptakan
kedisiplinan santri? Banyak cara untuk
mendisiplinkan santri. Saya yakin akan terus ada perbaikan. Minat masyarakat
untuk menyekolahkan anaknya di pesantren terus meningkat dan ini perlu
menjadi perhatian bersama agar pesantren ke depan terus maju dan lebih baik. Kementerian
Agama berencana menerbitkan aturan pencegahan kekerasan di lembaga
pendidikan. Apa saja isinya? Betul. Kami sedang siapkan
Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Lembaga Pendidikan yang berada dalam binaan Kementerian Agama, tak hanya
lembaga pendidikan Islam. Saat ini masih dalam harmonisasi. Apakah
peraturan tersebut turut menyertakan sanksi penutupan lembaga pendidikan? Sanksi bagi yang melanggar
pasti ada, tentu sesuai dengan regulasi. Saya berharap kejadian di Gontor
tidak terulang. Pesantren lembaga pendidikan yang sudah ada sebelum negeri
ini merdeka. Kontribusi terhadap negara ini juga besar. Dalam
kasus santri Gontor, pengelola pesantren meminta orang tua meneken surat
persetujuan tidak akan menyeret urusan apa pun ke ranah hukum. Tanggapan
Anda? Ihwal maksud surat itu
bisa ditanyakan ke pihak pesantren. Yang pasti semua warga negara mempunyai
kedudukan yang sama di depan hukum. Siapa pun yang melakukan pelanggaran
hukum harus tunduk pada ketentuan yang berlaku. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar