Seni,
Kebangsaan, dan Nyoman Nuarta Suwarno Wisetrotomo ; Asisten Direktur 1 Pascasarjana ISI
Yogyakarta; Kurator Galeri Nasional Indonesia |
KOMPAS,10 Agustus 2021
Mari
sejenak menginterupsi sergapan senyap pandemi Covid-19, yang menghadirkan
tragedi kemanusiaan ini, untuk membicarakan perkara yang bukan prioritas bagi
siapa pun, termasuk bagi (sebagian aparatur) negara, kecuali bagi (sebagian)
seniman, yakni terkait relasi negara, isu kebangsaan atau kewargaan, dengan
seni dan seniman. Diksi ”bukan prioritas” itu juga dapat dibaca ”enggak ada
pentingnya”. Sebagian
besar dari kita paham, bahwa persoalan paling mendesak hari ini adalah sehat,
vaksinasi, isolasi, sembuh, dan kebal virus korona, dapat kembali menjalani
kehidupan sehari-hari, sadar kebersihan, adaptasi terhadap kebiasaan baru,
dan melipatgandakan belarasa. Hari-hari ini perkara kesenian sungguh terlalu
mewah untuk dibicarakan. Akan
tetapi, kehidupan terus berjalan. Harapan dan kewarasan harus dirawat, agar
imunitas terjaga, salah satunya membicarakan, mengerjakan, dan membuat
peristiwa kesenian. Menengok lintasan waktu dapat ditemukan sejumlah contoh,
bagaimana inisiatif, ide-ide, peristiwa, dan karya seni bernilai ”penting”
dilahirkan oleh para seniman pada situasi muram penuh guncangan. Keberadaan
dan nilai ”penting” karya-karya itu seperti abadi; menjadi penanda waktu,
fakta peristiwa, nama-nama, terkait dengan persoalan sosial, mental, ekonomi,
dan budaya, yang tak habis-habisnya untuk dikaji dan dimaknai. Seni dan kebangsaan/kewargaan Dalam
perjalanan menjadi Indonesia, cerita di sekitar bagaimana Presiden Soekarno
(Bung Karno) berkomunikasi dengan seniman dan kesenian, terus menjadi tutur
tinular yang menarik. Buktinya, terutama bidang seni rupa, berserak: sejumlah
lukisan, patung, keramik, yang entah bagaimana persisnya dulu, kini berada di
Istana Negara, sejumlah monumen di ruang publik yang dibangun pada era
kepemimpinannya, enam jilid buku koleksi, dan catatan-catatan kesaksian dari
sejumlah orang yang mengenal Bung Karno dari dekat. Bung Karno memesan kepada
seniman untuk membuat monumen-monumen itu. Kisah
hubungan seniman dengan penguasa pasca-Bung Karno sempat terus berlanjut
dengan tendensi yang berbeda. Pada era Orde Baru sejumlah karya monumen
berdiri di sejumlah kota (Jakarta, Yogyakarta, Pacitan, dan lainnya). Meski
sama-sama karya ”pesanan”, tetapi (mungkin) yang diinginkan si pemesan
(penguasa) dan yang diterjemahkan oleh terpesan (seniman) berbeda. Bung
Karno memesan monumen yang ditujukan untuk menafsir keberadaan, sikap, dan
identitas kebangsaan mewujud menjadi Monumen Dirgantara, Selamat Datang,
Pembebasan Irian Barat, Tugu Muda (di Semarang). Selain itu juga relief
tentang kerukunan hidup sebagai cita-cita Indonesia yang terpasang di Hotel
Indonesia Kempinski, Royal Ambarukmo, Bali Beach, Samudra Beach, di bekas
Bandara Kemayoran, mural di Museum Kesejarahan Jakarta, Monumen Ikatan di
halaman Gedung MPR/DPR, relief di lantai dasar Gedung Sarinah, Patung Banteng
Ketaton karya Trijoto Abdullah, dan beberapa lainnya. Seiring
pergantian kekuasaan, selera pemesan berganti, menjadi sekadar monumen
pengukuhan dan glorifikasi era kekuasaannya. Ada Monumen Serangan Oemoem 1
Maret, Jogja Kembali, atau diorama sukses pembangunan, atau (sekadar)
mematungkan sosok-sosok pahlawan. Realitas
itu menunjukkan bahwa monumen (pesanan) pun sesungguhnya memerlukan imajinasi
dari si pemesan dan terpesan. Dengan segenap imajinasi itulah, maka lahirlah
Monumen Dirgantara yang menunjukkan gerak menjulang penuh tenaga, monumen
yang menunjukkan lepas dari belenggu, monumen yang menyambut siapa pun dengan
ramah untuk datang. Sosok-sosok dalam monumen itu, sejauh yang saya tahu,
anonim, tetapi hingga hari ini terasa spirit, penanda, dan aspirasi bangsa
Indonesia ada di situ. Ketika
karya-karya itu ’dipesan’ dan kemudian dikerjakan, juga di tengah situasi
yang tidak ideal. Negara baru berumur pendek, politik penuh tegangan, situasi
sosial dan ekonomi ambyar, tetapi Bung Karno yang visioner menganggap seni
penting dan menjadi deretan prioritas karena menunjukkan sisi kemanusiaan
sebuah bangsa. Seniman diajak bicara, dipesan untuk memanggungkan Indonesia
melalui karya seni (seni rupa), dengan upaya-upaya ekstra untuk membiayai. Seniman
yang mengerjakan penuh kebanggan, tak terlupakan sampai akhir hayat. Empu
Ageng Pematung Edhi Sunarso selalu menyala-nyala jika menceritakan
pengalamannya berinteraksi dengan Bung Karno. Terbukti, generasi berikutnya
memanen visi, ide, dan keteguhan Bung Karno hingga kini. Karya-karyanya
menjadi penanda penting, terus dipercakapkan hingga kini. Berbeda
dengan monumen era Orde Baru, aspirasi bangsa itu tidak ada. Di sana hanya
terdapat aspirasi penguasa, dan tentu berjarak dengan realitas dan spiritual
bangsa. Jika kita mengamati monumen-monumen itu, semakin sadar bahwa mereka
yang dimonumenkan itu hero, dan kita adalah jelata. Tidak ada imajinasi
tentang kekitaan. Rupanya
memang, monumen pesanan negara semakin menurun kualitas ide dan pesan yang ingin
disuarakan. Akibatnya, secara bentuk juga mengalami stagnasi. Monumen-monumen
terbaru yang dibiayai negara—antara lain melalui kementerian—lagi-lagi hanya
wajah dan sosok presiden, Jenderal Soedirman atau Bung Karno (berjubah,
ditandu, duduk bersilang kaki, membaca teks proklamasi, yang terbaru, naik
kuda). Tentu
bukan karena sosok-sosok itu tidak penting, sebaliknya sungguh teramat
penting. Namuun, kenyataan itu menunjukkan bahwa tak ada imajinasi sang
pemesan, dan (mungkin) tidak ada ruang percakapan bagi si terpesan (seniman)
untuk menafsir pesanan. Ketika patung-patung monumen itu selesai, terpasang
megah di tengah jalan, di sudut jalan, di halaman kantor kementerian,
sesungguhnya tak memberi inspirasi dan makna apa pun bagi masyarakat luas,
kecuali (mungkin) hanya bagi si pemesan. Monumen
seperti itu sepertinya sudah cukup. Kini dan masa mendatang diperlukan
monumen-monumen yang membangkitkan kesadaran kekitaan, kebangsaan atau
kewargaan, yang mendorong tumbuhnya solidaritas dan toleransi. Berbeda
rasa ketika menatap monumen pembebasan Irian Barat, Dirgantara, atau mural
ruang gedung di kota tua Jakarta, atau relief di lobi Hotel Royal Ambarukmo
Yogyakarta, di Bali Beach, dan lainnya. Keterampilan seniman yang memancarkan
keindahan, sekaligus pesan kebangsaan yang kuat. Karena
itu kasus terbaru, terpilihnya Nyoman Nuarta untuk merancang Gedung Kantor
Kepresidenan atau Istana Negara di ibu kota baru, Kecamatan Sepaku,
Kalimantan Timur, menjadi menarik dalam konteks relasi penguasa/pemimpin
dengan seniman, terkait bagaimana memaknai bangsa ini melalui simbol yang
dapat memancarkan visi dan aura kebangsaan. Seniman kembali “dipanggil” –
melalui kompetisi – untuk memaknai keberadaan bangsa ini melalui penanda
penting setiap negara: Gedung Istana Negara. Lepas
dari kontroversi dan tanggapan kritis dari para pihak (arsitek, tata kota,
dan lainnya), model ini terus dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan
dan strategi. Yang terpenting adalah seniman dan para pihak diajak bicara,
diajak memaknai, didorong untuk menafsir, dan ujungnya menghasilkan karya
yang memiliki daya inspirasi bagi warga bangsa. Monumen
Dirgantara, Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, atau yang terbaru di era
Presiden Joko Widodo monumen sekaligus berfungsi sebagai pintu gerbang di
daerah perbatasan (garapan pematung Yusman), merupakan cara dan strategi
menghadirkan martabat bangsa melalui karya seni. Ketika Presiden Jokowi
memutuskan membangun gerbang di ”halaman depan” negeri ini—di perbatasan—yang
semula kumuh dan mengenaskan, dampaknya adalah mengubah mentalitas warga
menjadi lebih percaya diri. Itulah cara menarik menghadirkan bangsa ini
melalui tangan dan imanjinasi seniman, sekaligus menunjukkan serta menegaskan
apa yang disebut sebagai koleksi nasional yang menyembulkan harkat dan
martabat bangsa. Monumen dan partisipasi warga Menyoal
koleksi nasional akan bertemu dengan kompleksitas persoalan: kualitas, makna,
pencipta/seniman, latar belakang sosial, sejarah, politik, ekonomi, budaya,
dan sebagainya. Betapa pun rumitnya, apa yang disebut sebagai koleksi
nasional tetap harus ditelisik dan ditetapkan, serta berada dalam
perlindungan hukum. Hal
lain yang perlu dicermati adalah, betapa sebagian besar warga bangsa ini
memiliki banyak ide, inisiatif untuk memaknai negeri ini dengan banyak cara,
misalnya: inisiatif membangun tetenger (monumen) di kampungnya, membuat
peristiwa seni berskala internasional (ArtJog, Ngayogjazz, Biennale Jogja,
Jakarta Biennale, Asia Tri, Jatiwangi Art Factory, Projek Seni Cigondewah,
Art Bali, dan sejenisnya). Idealnya, inisiatif warga semacam itu perlu
mendapatkan perhatian dan sokongan negara sepenuh-penuhnya, karena dampaknya
yang menggerakkan banyak orang. Monumen
dan partisipasi warga yang mampu menggerakkan warga secara luas, selayaknya
difasilitasi negara. Negara dapat memberikan stimulus lebih besar misalnya
kepada seniman yang mengolah dan menggerakkan tema dan isu lingkungan—dalam
pengertian yang luas seperti ekologi, sampah plastik, defisit air,
penggundulan hutan, dan lainnya—yang bertujuan menyelamatkan serta produktif.
Yang akan tumbuh diberikan stimulus, yang sudah berkembang terus didukung
dengan fasilitas. Saatnya
aparatur negara memikirkan kembali pola pembangunan kebudayaan. Praktik dan
pemikiran seni serta seniman selayaknya sering diajak bicara, agar dukungan
tidak sekadar ”mengakui” hasilnya, tetapi sungguh nyata dalam fasilitasi,
membesarkan, dan mengumandangkan capaian-capaian para seniman dan pemikir
seni. Interupsi
ini, di tengah situasi muram ini, terlalu ngoyoworo? Mengada-ada? Sepertinya
iya. Sungguh bukan prioritas. Akan tetapi, menyongsong usia 100 tahun
Republik Indonesia (tinggal 24 tahun lagi) ikhwal fungsi seni, kesenian,
kebangsaan, kewargaan semakin sering dipercakapkan, agar tidak tersingkir
oleh semangat politik identitas yang seringkali ngotot dan sangar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar