Noda
Akademi Pejabat Publik Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi
Visual FSR ISI Yogyakarta |
KOMPAS,10 Agustus 2021
Peristiwa
dobel jabatan yang dilakukan rektor sebuah perguruan tinggi negeri ternama
sontak menjadi perbincangan publik. Perilaku seperti ini dinilai menjadi
bagian noda akademik yang ditaburkan pejabat publik. Atas
peristiwa kurang elok itu, secara khusus Tajuk Rencana Kompas (23/7/2021)
ikut meneropongnya. ”Sejak Selasa (20/7/2021), publik di negeri ini gaduh
gegara perubahan Statuta Universitas Indonesia. Rektor UI yang semula tak
boleh rangkap jabatan, kini diizinkan.” Pada
bagian lainnya, Tajuk Rencana Kompas menorehkan catatannya. ”Statuta UI yang
melarang rektor merangkap jabatan, termasuk di badan usaha milik negara
(BUMN), semula dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun
2013.’’ Anehnya,
tulis Tajuk Rencana Kompas, pada 2 Juli 2021, Presiden Joko Widodo
menerbitkan PP Nomor 75 Tahun 2021 yang menggantikan PP sebelumnya. ”Sehingga
Rektor dan Wakil Rektor UI bisa menduduki jabatan di BUMN. Prof Dr Ari
Kuncoro yang menjabat Rektor UI sejak Desember 2019 dilegalkan untuk menjadi
Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk.’’ Jejak
digital noda akademik yang ditaburkan pejabat publik bergelar sarjana,
magister, bahkan profesor doktor sudah menjadi realitas sosial di jagat raya
ataupun jagat maya. Tabiat buruk yang tidak mencerminkan kesakralan Tri
Dharma Perguruan Tinggi dianggap sebagai prestasi akademik. Kesalahkaprahan
akademik seperti itu justru mendapatkan sanjungan puja puji para pihak. Noda
akademik lainnya juga menyembul ke permukaan ruang publik. Torehan noda
akademik ini muncul akibat perilaku anggota dewan yang notabene lulusan
perguruan tinggi menuntut perlakuan khusus terkait pandemi Covid-19. Mereka
minta disediakan rumah sakit khusus guna merawat anggota dewan yang terserang
virus korona. Noda
akademik yang paling menyakitkan bagi kalangan sivitas akademika ketika
mendengar pejabat publik lulusan program sarjana, magister, dan doktor
ditangkap KPK karena kasus korupsi. Noda akademik semacam ini semakin
menenggelamkan reputasi akademik berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Watak dan ”watuk” Noda
akademik yang dipertontonkan pejabat publik, tidak dapat dilepaskan dari
penggemukan sifat egois dari seseorang berjuluk pejabat publik. Sifat egois
yang tidak sanggup dikendalikan pejabat publik bergelar sarjana, magister,
bahkan profesor doktor, menjadi bibit negatif berkembangnya noda akademik. Harus
diakui, sifat egois menjadi separuh jiwa dari insan manusia. Secara batiniah,
sifat egois itu jamak disebut sebagai watak. Secara gamblang, KBBI
(kbbi.web.id) menggambarkan diksi watak sebagai sifat batin yang mempengaruhi
segenap pikiran dan tingkah laku serta budi pekerti setiap manusia. Bagi
sesepuh kejawen Jawa, watak dikonotasikan sebagai tabiat negatif. Tidak dapat
diubah alias tidak dapat disembuhkan. Mengapa? Karena keberadaan watak
bersemayam di dalam jiwa raga sang jabang bayi. Eksistensinya melekat erat
sejak ia berada di lubuk kehangatan rahim ibundanya. Sementara
watuk atau batuk oleh KBBI.web.id direkatkan makna sebagai penyakit yang
menyerang jalan organ pernapasan. Dampak kesehatannya, kerap kali menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan. Penyakit watuk ini senantiasa merangsang
penderita untuk mengeluarkan bunyi yang keras, seperti menyalak. Karena watuk
merupakan sejenis penyakit yang mengganggu jalan pernapasan manusia. Maka
secara medis, dapat cepat disembuhkan. Dengan
demikian, merebaknya noda akademik yang disemburkan pejabat publik, diyakini
menjadi watak jelek dari para pengemban amanah rakyat. Mereka melakukannya
dengan kesadaran penuh. Targetnya demi melanggengkan kekuasaannya dari serangan
tangan usil para seterunya. Ironisnya, noda akademik semacam ini dipaksa
menjadi camilan keseharian. Pelaku yang menyebarkan noda akademik menekan
publik untuk mengakuinya sebagai sebuah kebenaran serta bahasa baru. Pemeo
watak dan watuk terpapar jelas pada
fenomena noda akademik yang dilakukan pejabat publik. Noda akademik selain
berkaitan dengan watak negatif pejabat publik, ternyata keberadaannya juga
beririsan dengan sifat pemimpin yang memiliki watak tan kena luput cinatur. ”Tan kena luput cinatur" Noda
akademik yang menjadi representasi watak buruk dari pejabat publik acap kali
dipertontonkan secara vulgar. Dalam perspektif budaya visual, semuanya itu
dijalankan demi memperebutkan pangkat dan kekuasaan. Ujung capaiannya berupa
penumpukan harta kekayaan duniawi. Selain itu, mereka mengutamakan sifat
maruk (serakah). Mereka mengedepankan ego pribadi, kelompok, dan partainya. Watak
buruk yang dimiliki pejabat publik, dalam perspektif budaya Jawa disebut
pemimpin tan kena luput cinatur (tidak mau diajak berbicara atau berdiskusi).
Kelompok pejabat publik berwatak seperti ini menganggap pemikirannya selalu
baik dan benar. Watak
pejabat publik tan kena luput cinatur
dapat dicermati dari perilaku dan kebijakannya. Mereka enggan diajak berkomunikasi.
Mereka tidak suka berdialog apalagi berembug. Mereka gemar berkolaborasi
negatif dengan siapa pun yang memiliki frekuensi sama. Kebijakannya
seakan untuk kemakmuran rakyat. Padahal, realitas sosialnya sudah dicetak
sedemikian rupa. Hasilnya berupa sebongkah cetakan kebijakan yang tidak
bijaksana. Cetakan kebijakannya senantiasa didedikasikan demi keuntungan diri
pribadi, kelompok, dan partai pendukungnya. Pertanyaannya
kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menekan fenomena teror sosial yang
mengapung bersama noda akademik? Bagi pejabat publik yang merupakan alumni
perguruan tinggi, memiliki kewajiban sosial untuk mewujudkan sila kedua
Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Demi
mewujudkan ajaran sila kedua Pancasila, ideologi pejabat publik seyogyanya
didekonstruksi menjadi pelayan publik. Seseorang yang diberi amanah untuk
melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Selain
itu, frasa amanah melayani, wajib dibaca sebagai perwujudan dari konsep asah
(mempertajam keterampilan berpikir dan bertindak), konsep asih (rasa kasih
sayang) dan asuh (membimbing). Terpenting, frasa amanah melayani harus
direkatkan makna untuk senantiasa ngayomi (melindungi) dan ngayemi (membuat
tenang dan nyaman) dari warga masyarakat yang dilayaninya. Konsep
3A plus 2N tersebut harus senantiasa ditiupkan di dalam sanubari para pelayan
publik. Watak sosial pelayan publik sebaiknya dibangun sejak dini demi
menyandingkan rasa kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan sosial bagi
umat yang hidup dan bernaung di wilayah Republik Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar