Jumat, 01 Juni 2018

Setelah AS Mengkhianati Iran

Setelah AS Mengkhianati Iran
Smith Alhadar ;  Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
                                                          KOMPAS, 31 Mei 2018



                                                           
Kendati sudah diprediksi, mundurnya AS dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran tetap saja mengagetkan. Pasalnya, kesepakatan nuklir Iran dibuat antara Iran dengan AS, Rusia, Inggris, Perancis, China, dan Jerman setelah negosiasi bertahun-tahun.
Dalam kesepakatan ini, Iran menyetujui membatasi pengayaan uranium dan berjanji tidak akan membuat bom nuklir selama 10 tahun dari sejak kesepakatan ditandatangani, 2015. Sebagai imbalan, sanksi ekonomi internasional dicabut.

Presiden AS Donald Trump sejak awal mengkritik JCPOA, karena dianggap terlalu menguntungkan Iran. Pencairan dana milik Iran 110 miliar dollar AS yang dibekukan bank-bank negara Barat dan keleluasaan Iran mengekspor minyak dianggap meluaskan pengaruh Iran.

Arab Saudi dan Israel mendukung Trump membatalkan kesepakatan. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang sangat dekat dengan Israel, mendesak Trump menjatuhkan  sanksi pada Iran.

Senjata nuklir

April lalu, di televisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengklaim bahwa intelijen Israel menemukan puluhan ribu dokumen, bukti Iran masih membuat senjata nuklir. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan bohong Perdana Menteri Inggris Tony Blair, 2003, bahwa Irak di bawah Presiden Saddam Hussein dapat membuat senjata kimia dalam waktu 45 menit.

Terkait pernyataan Netanyahu, Gedung Putih secara resmi menyatakan, AS sepakat dengan Netanyahu. Gedung Putih tampaknya sedang mencari legitimasi untuk menghukum Iran.

Namun, presentasi Netanyahu mendapat tanggapan minor termasuk dari UE, China, Rusia, dan IAEA. IAEA menyatakan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Iran sedang mengembangkan senjata nuklir.

Hal yang sama dinyatakan Inggris, Perancis, dan Jerman. Mereka bahkan meminta AS mempertahankan kesepakatan karena tidak ada alternatif yang tersedia. Mundur dari JCPOA bisa memicu konflik militer saat Timur Tengah tak lagi mampu mendukung perang baru.

Tuduhan bahwa Iran memainkan peran destabilisasi kawasan tidak seluruhnya benar. Faktor destabilisasi utama Timur Tengah adalah isu Palestina di mana Israel terus melanggar sejumlah resolusi PBB. Israel pun tidak memiliki otoritas dalam hal senjata nuklir karena tidak menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan memiliki 200-an hulu ledak nuklir.

Pemerintahan Trump bahkan ikut mendestabilisasi Timur Tengah dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang diikuti pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Hal ini bertentangan dengan semua hukum internasional dan mencederai proses perdamaian Israel-Palestina.

Ada beberapa alasan mengapa AS, Israel, dan Arab Saudi memusuhi Iran. Pertama, Saudi kalah pengaruh dari Iran di kawasan. Pasca-invasi AS ke Irak pada 2003, Irak menjadi rebutan Iran dan negara-negara Arab Teluk. Iran menang setelah AS menarik pasukan dari  Irak 2011.

Arab Teluk pun kalah setelah proksi mereka, yang umumnya kalangan Arab Sunni, lenyap digantikan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).  Di Suriah, Iran bersama Rusia semakin jauh menanam pengaruh setelah kelompok oposisi dukungan Saudi, Turki, dan AS, kedodoran menghadapi pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad dukungan militer Iran dan Rusia. Saudi juga gagal menyingkirkan Hezbollah—dukungan Iran—di Lebanon, dari pemerintahan.

Bahkan, sekutu Saudi Perdana Menteri Saad al-Hariri, tidak akan terpilih lagi sebagai perdana menteri karena perolehan suara partainya (Gerakan Masa Depan) anjlok dalam pemilu 6 Mei lalu.

Di Yaman, kendati sudah lebih tiga tahun Saudi memimpin koalisi Arab memerangi milisi Houthi dukungan Iran, sampai saat ini tidak ada tanda-tanda Houthi akan menyerah. Komunitas internasional malah semakin kuat menekan Saudi agar mengakhiri perang di negara termiskin di Jazirah Arab itu.
Mendukung Palestina

Kedua, Iran menentang hegemoni AS di kawasan, menolak eksistensi Israel, dan mendukung perjuangan bersenjata Palestina. Iran berhasil menarik simpati masyarakat Muslim global dan membuat Jalur Gaza tetap bergolak. Simpati ini akan meluas saat AS menyodorkan “kesepakatan abad ini” yang didukung Saudi di mana Palestina kehilangan Yerusalem Timur, sebagian Tepi Barat, dan tertolaknya pengungsi Palestina kembali ke kampung halaman.

Ketiga, menciptakan pasar senjata di Timur Tengah. Negara-negara Arab Teluk, khususnya Saudi menghabiskan puluhan miliar dollar AS per tahun untuk belanja militer dengan dalih menghadapi ancaman Iran. Tahun lalu Saudi merupakan negara dengan belanja militer terbesar ketiga setelah AS dan China. AS pemasok terbesar ke Saudi.

Keempat, upaya perubahan rezim di Iran. Dengan sanksi ketat atas Iran, Trump berharap pada akhirnya Teheran bersedia menerima perubahan JCPOA. Terlebih, rakyat Iran kini sedang menghadapi ekonomi sulit.
Akhir Desember sampai awal Januari, rakyat Iran sampai berdemonstrasi di 80 kota, menuntut pemerintah berhenti membantu Suriah 6- 20 miliar dollar AS per tahun, jumlah yang besar untuk Iran.

Untuk mengganti rezim Iran, Washington mengandalkan Mujahidin-e Khalq (MEK), oposisi Iran di pengasingan pimpinan Maryam Rajavi. Sebenarnya, MEK yang berideologi Islam-Marxis merupakan musuh AS sejak zaman Shah Iran. Namun, pada 2012 di masa pemerintahan Presiden Barack Obama, AS merangkul MEK yang berbasis di Perancis.

Trump ingin menambahkan persyaratan baru ke dalam JCPOA, yakni Iran menghentikan program rudal balistiknya, IAEA memperoleh akses tak terbatas terhadap seluruh area di Iran, termasuk area militer, dan pembatasan program nuklir Iran dibuat permanen.
Perubahan ini tidak dapat diterima Iran. Memang tidak masuk akal menghentikan program rudal balistik Iran saat AS dan sekutunya menimbun kekuatan militer di Teluk Persia, Laut Tengah, dan Turki. Apalagi Israel mengancam menyerang Iran.

Menghadapi mundurnya AS dari JCPOA, ada dua respons yang akan diambil oleh Teheran. Pertama,  Iran tetap patuh pada kesepakatan. Ini karena Inggris, Perancis, dan Jerman berpihak padanya, selain Rusia dan China. Tindakan ini akan mengisolasi AS dan menarik simpati internasional. Sebagai upaya membujuk Iran agar tetap dalam kesepakatan, Eropa  mengusulkan agar kerja sama perdagangan non-militer tetap berlanjut.

Teheran menyetujui inisiatif Eropa ini meski menyadari hal itu tidak mudah karena sistem keuangan global saat ini sangat terkoneksi satu sama lain. Hampir mustahil pihak mana pun di dunia melanjutkan bisnis dengan Iran tanpa risiko melanggar sanksi yang diterapkan AS.

Kedua, kalau ternyata dengan tetap berkomitmen pada kesepakatan dan ekspektasi Iran tidak terpenuhi, Iran akan mencampakkan JCPOA dengan mengambil jalan keras. Tetapi aksi ini akan membuka jalan bagi terjadinya perang. AS, Israel, dan Saudi tidak akan menoleransi Iran memiliki senjata nuklir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar