Jumat, 01 Juni 2018

Jadilah Umat yang Pemaaf

Jadilah Umat yang Pemaaf
Fauz Noor ;  Ketua Dewan Pendidikan Pesantren Fauzan;
Ketua Lakpesdam PCNU Kota Tasikmalaya;  Dosen Filsafat STAI Tasikmalaya
                                                          KOMPAS, 30 Mei 2018



                                                           
Dalam mengemban tugas untuk menyampaikan risalah-Nya, Rasulullah SAW berhadapan dengan pelbagai budaya, tentu saja yang terutama adalah budaya Arab. Artinya, Islam datang bukan dalam ruang hampa. Islam datang ”dalam” dan ”bersama” budaya Arab.

Itu sebabnya, budaya-budaya yang baik pada masa jahiliah tidaklah ditolak, apalagi dirusak. Misalnya, jika kuffar Quraisy ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka menjawab, ”Allah.” Mereka pun meyakini Allah adalah yang menjadikan bumi terhampar, menurunkan hujan, menjadikan kehidupan berpasang-pasangan, dan yang lainnya.

Semua sistem keyakinan kuffar Quraisy itu direstui oleh Islam. Hanya saja, ketika sistem keyakinannya berkata bahwa Allah punya anak-anak perempuan, dengan tegas dan tak bisa ditawar-tawar, Islam menolak. Ketika sistem budaya bertentangan dengan akidah, Islam tak bisa menerima itu.

Rasulullah SAW pun menjadi seseorang yang ”dibenci” karena dipandang hendak merusak sistem keyakinan nenek moyang mereka. Bukan hanya itu, Rasulullah SAW pun ditampik, diancam, bahkan hendak dibunuh.

Hemat saya, rasa benci atau ketaksukaan merupakan sesuatu yang alamiah. Kita membenci itu adalah wajar. Ketika kuffar Quraisy membenci Rasulullah SAW adalah alamiah saja karena Rasul membawa sesuatu yang ”baru” bagi mereka. Manusia cenderung akan memusuhi atau membenci sesuatu yang ”baru”, sesuatu yang belum atau tidak mereka ketahui.

Itulah sebabnya, ketika Rasulullah dilempari kotoran unta, beliau malah berdoa, ”Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada mereka. Mereka begini karena mereka tidak tahu.”

Yang jadi masalah, karena sudah tidak alamiah lagi, ketika rasa benci itu kemudian diekspresikan dalam laku. Dewasa ini bahkan rasa benci sudah diindustrialisasi. Karena pelbagai kepentingan, ”kebencian” diolah untuk memenangkan hawa nafsu dan menjatuhkan orang lain.  Rasa benci yang awalnya alamiah saja kemudian—meminjam bahasa Cherian George, guru besar studi media di Hong Kong Baptist University—”dipelintir”.

”Saya menunjukkan bahwa episode-episode hasutan dan keterhasutan berbasis agama bukanlah produk alami atau langsung dari keberagaman masyarakat, melainkan suatu pertunjukan yang sengaja dibuat wirausaha politik dalam upaya meraih kekuasaan. Para oportunis ini secara selektif memanfaatkan sentimen agama masyarakat dan mendorong pengekspresian kehendak massa, dalam rangka memobilisasi mereka ke arah tujuan-tujuan anti-demokratis. Ini penggunaan kekuatan rakyat untuk memperlemah kekuatan rakyat itu sendiri,” kata Cherian.

Kita tak bisa menutup mata atas apa yang dikatakan Cherian. Ini nyata dalam kehidupan kita. Kita pun akan terus berusaha melawan ”ujaran kebencian” dengan sekuat tenaga, tentu saja tidak dengan ujaran kebencian kembali. Hanya saja, di zaman di mana regulasi untuk menumpahkan apa yang ada di benak dan di hati begitu gampang menemukan ”medium”-nya, kedewasaan dalam berbangsa mutlak dikedepankan. Maksud saya, jangan kehidupan kita sebagai bangsa sesak oleh kasus-kasus hukum ”ujaran kebencian”.

Ketika regulasi untuk menumpahkan ”kebencian” begitu mudah, sikap pemaaf sepatutnya menjadi senjata kita semua. Satu contoh hebat bisa kita baca. Ketika KH Abdurrahman Wahid di ruang publik disebut buta mata dan buta hati oleh seorang tokoh, dengan entengnya presiden keempat RI itu memaafkannya.

Adalah hak kita sebagai warga negara untuk membawa ”ujaran kebencian” ke meja hijau. Mungkin diniatkan untuk memberikan efek jera dan jadi pelajaran bagi warga lainnya. Hanya saja, para bijak bestari berkata, ”Di atas hukum ada etika dan di atas etika adalah cinta.” Saya percaya, kekuatan uang sebesar apa pun, kekuatan politik semasif apa pun, yang hendak menghancurkan kehidupan berbangsa kita, jika kita hadapi dengan kekuatan cinta Tanah Air, insya Allah kita tetap utuh sebagai bangsa.

Yang pasti, hidup di dunia ini ada pro dan kontra, ada yang suka dan ada yang benci kepada kita. Kita tak bisa hidup dengan niat supaya semua orang suka kepada kita. Jika kita maunya begitu, kita telah melampaui Nabi. Nabi saja, manusia paripurna, diisi orang yang suka kepadanya pun mereka yang benci kepadanya. Dan, dalam hidupnya, Nabi senantiasa mendahulukan untuk memberi maaf ketimbang memberi hukuman. Jadi, jika kita susah memberi maaf, bukan kalau begitu malah kita melampaui Nabi? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar