Sabtu, 02 Juni 2018

Puasa Menghadapi Viral Politik Kebencian

Puasa Menghadapi Viral Politik Kebencian
Gantyo Koespradono ;  Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
                                                MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2018



                                                           
APAKAH situasi politik kekinian di Indonesia mencekam dan mengkhawatirkan? Apakah suasana keamanan dan kenyamanan kita terganggu karena memang ada yang mengganggu?

Apakah persaudaraan kita sebagai sesama anak bangsa ikut-ikutan terganggu karena begitu mudahnya kita tersulut dan terprovokasi, sehingga kita bersosok sebagai makhluk pemarah daripada peramah?

Jika Anda membenarkan atas pertanyaan-pertanyaan di atas, sepertinya Anda tidak keliru. Anda tidak sendirian. Sosiolog Imam Prasodjo di Detikdotcom melalui opininya pernah mengungkapkan keprihatinannya atas situasi sosial dan politik di negeri ini.

Melihat kondisi akhir-akhir ini yang semakin mengkhawatirkan, tulis Imam Prasodjo, kini mungkin saat yang tepat, kita harus bicara bersama-sama, mencegah potensi konflik horisontal yang kelihatannya dapat setiap saat terjadi.

"Sungguh pertikaian terbuka yang sarat dengan sentimen kesukuan, ras dan agama telah memorak-porandakan kedamaian kehidupan kita," tulis Prasodjo.

Amarah dan dendam, masih menurut sosiolog itu, terasa begitu bergemuruh membakar nafsu untuk saling melukai dan bahkan saling membunuh karena harga diri kita sebagai manusia merasa disinggung dan direndahkan.

Suara keras, lantang, saling melecehkan dan merendahkan yang kita saling lontarkan, tanpa terasa telah menusuk hati kita masing masing. Kita pun lupa, kita sesama saudara warga bangsa yang pasti akan terus hidup berdampingan.

Situasi kekinian yang diungkapkan Prasodjo, terutama tercermin dan memberikan noda hitam ikatan persaudaraan bangsa ini, manakala kita menyimak beragam informasi yang begitu bias di media sosial. Tak cuma bias, informasi di medsos, termasuk yang mampir di grup-grup What's App bahkan sangat liar.

Saat ini, suara-suara keras saling melukai, terus terdengar, bahkan terasa berulang-ulang diviralkan dengan bantuan teknologi komunikasi dan begitu mudanya mampir ke gadget kita.

Lantas apa yang harus kita lakukan? Imam Prasodjo bertanya dan dijawab: "Setidaknya untuk sementara, saat ini perlu kita tunda mencari siapa yang memulai kekalutan ini dan siapa yang bersalah. Bila ini dilakukan juga, pasti perdebatan berkepanjangan akan terjadi, masing-masing pihak mencari berbagai alasan untuk membela diri, tak mau disalahkan, dan mau menang sendiri."

Kita tidak bisa menutup mata bahwa pasca pilkada di DKI Jakarta yang disusul dengan rencana Pemilu Serentak 2019 -- di dalamnya ada pilpres -- masyarakat kita terbelah dalam dua kubu. Persisnya kedua kubu itu adalah barisan pendukung kesinambungan pembangunan yang direpresentasikan sebagai pro-Jokowi, dan barisan ganti presiden.

Kedua kubu ini tentu merasa benar sesuai dengan argumentasinya masing-masing. Demi keyakinannya, bahkan ada sementara kelompok dalam kubu itu yang terang-terangan merasa telah berada di jalan yang benar dan ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain.

Celakanya, kelompok anti-Pancasila -- rasanya lebih afdol disebut pemberontak -- dimanfaatkan oleh mereka yang bernafsu ingin berkuasa dan segera mengganti presiden yang jika memungkinkan tanpa menunggu agenda konstitusi (pemilu).

Kubu ini (semoga saya salah) seolah tak pernah prihatin bahwa ada dua remaja putri -- mereka ditangkap di Mako Brimob saat akan menyerang polisi -- yang saat diwawancarai Majalah Tempo terang-terangan menyatakan bangga jika ISIS berada di Indonesia untuk menegakkan ideologi mereka. Kedua perempuan itu setuju membunuh untuk memuluskan perjuangan mereka. 

Tapi, baiklah, guna memenuhi anjuran Imam Prasodjo, saya tidak akan membesar-besarkan soal itu. Yang penting dilakukan saat ini, masing-masing kita harus berusaha keras instrospeksi dan menahan diri untuk tidak menambah situasi menjadi lebih runyam.

Fakta memperlihatkan bahwa di sekitar kita masih banyak berseliweran peristiwa dan pernyataan ngawur yang sengaja dilontarkan oleh "tokoh" tertentu untuk memancing kebencian.

Kedua belah pihak, khususnya yang paling waras sebaiknya menahan diri, jangan sampai terbawa emosi.

Sudahlah, tak usahlah kita mengkritisi, apalagi menghina keputusan atau kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang akan mengolah/menyaring limbah tinja menjadi air bersih yang layak minum. Stop! Hentikan kritik itu!

Lagi pula mengapa kita mesti sewot? Jika memang 58% warga DKI Jakarta yang tempo hari memilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berkenan menikmati air bersih limbah tinja, apa dasar kita untuk melarang? Jika kita sok melarang, bukankah malah kita bisa dikelompokkan sebagai manusia pelanggar HAM?

Sebaiknya kita berpikir positif saja seperti teman saya yang menulis status di akun Facebook-nya bahwa 12 tahun lagi di pulau Jawa akan terjadi krisis air bersih. Kita patut mengapresiasi segala upaya untuk penyediaan air bersih, termasuk mengolah tinja menjadi air bersih.

Jijik? Iya. "Tapi kalau kita tidak menguasai teknologinya mulai sekarang, maka saat terlambat kita akan menyesal. Saat nanti, sumber air bersih makin langka, maka pada akhhirnya kita harus belajar untuk menghilangkan rasa jijik itu. Jangan sampai kebencian pada gubernur sekarang menutupi akal sehatmu," tulisnya.

Kubu pendukung kesinambungan pembangunan mungkin saja menjadi "panas hati" tatkala mendengar Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga menyamakan pemerintahan sekarang sama dengan pemerintahan Malaysia saat rezim Najib Razak yang super korup berkuasa.

Sudahlah yang merasa waras tidak usah ikut-ikutan tidak waras dengan memberikan komentar tidak-tidak atas pernyataan Uno. Akal sehat kita jangan sampai tertutup kabut tebal hanya lantaran Uno membuat pernyataan seperti itu.

Dalam soal ini, rasanya suara kita sudah cukup diwakili Media Indonesia yang dalam editorialnya hari ini (Rabu 30 Mei 2018) menulis seperti ini: "Apa yang dilontarkan Sandi bukan lagi kritisisme, melainkan sinisme."

Koran ini menyarankan Sandiaga agar berkaca pada pejabat pemerintah daerah lainnya, yang meski berasal dari partai oposisi, tetap bersikap bijak dan proporsional kepada pemerintah. Sandi mesti mencontoh Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

Kita juga tidak perlu berpanas hati saat menyaksikan kebencian Amien Rais yang begitu memuncak-muncak kepada Presiden Jokowi dengan menyebut pada saatnya "Jokowi akan dilengserkan Allah".

Amien Rais kasar dan tidak etis? Jawabnya tidak jika kita mau berpikir positif dan memertahankan kewarasan kita. Ada baiknya kita belajar berpuasa untuk tidak sebentar-sebentar marah saat kebencian politik diviralkan.

Jika kita mau berpikir positif, apa yang dilontarkan Amien Rais tak akan membawa dampak apa-apa kalau kita masih mampu berpikir waras dan akhirnya memaklumi gejolak batin Amien karena ia sudah tua dan pikun, serta mengalami trauma akut lantaran gagal menjadi presiden.

Sekali lagi, mari kita puasa saat kebencian politik begitu viral di sekitar kita. Tak usahlah kita marah-marah karena Amien membawa-bawa Allah.

Pikiran positif kita harus mampu membawa kita ke arah permakluman bahwa Amien menyebut Allah karena dia masih beragama. Sudah itu saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar