Sabtu, 02 Juni 2018

Transformasi Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni

Transformasi Kesadaran
Delusi Menjadi Kesadaran Murni
Iwan Setiawan ;  Pandita dan Staf di Majelis Nichiren Shoshu
Buddha Dharma Indonesia
                                                MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2018



                                                           
PERAYAAN Trisuci Waisak 2562/2018 yang mengangkat tema Transformasikan kesadaran delusi menjadi kesadaran murni, dengan sub tema: Marilah kita bersama-sama berjuang mengalahkan sang ego.  Tema memiliki makna penting mengingat berbagai fenomena terakhir ini telah menumbuhkembangkan banyak nilai-nilai delutif. Dianut dan dipercaya, bahkan dilaksanakan sepenuh jiwa dan raga sebagai kesadaran yang mampu menjadi sumber kebahagiaan. Sebaliknya, kesadaran murni yang sesungguhnya bersumber dari ajaran Buddha cenderung terlupakan, tersisih dari keseharian.

Untuk itu, peringatan Trisuci Waisak ini menjadi penting untuk kita sama-sama menghayati, mengimani sepenuh hati, dan menjadi sumber kata, perilaku serta pikiran kita dalam keseharian. Trisuci Waisak ialah perayaan yang mengajak kita menengok kembali kelahiran, pencapaian kesadaran sempurna sebagai Buddha dan kemoksyaan beliau. Tiga peristiwa tersebut menyatakan tujuan atau makna dari keberadaan Buddha untuk manusia dan dunia sepanjang masa.

Dimulai dari kelahiran beliau sebagai pangeran dari Kerajaan Kapilavastu di India. Ketika dewasa, setelah menikah dan dikaruniai seorang anak, sang Buddha yang kala itu masih bernama Siddharta Gautama malah kepincut jadi pengembara sebagai petapa, belajar berbagai filsafat.

Hal tersebut didorong pengalamannya menyaksikan 4 peristiwa, yakni kelahiran, orang tua, orang sakit, dan orang meninggal. Bagai gegar mental, beliau terus bertanya–tanya. Mengapa sepertinya sejak lahir hingga meninggal manusia hanya menjalani derita. Buat apa sesungguhnya mengalami kehidupan jika hanya melulu mengalami derita?

Beliau meninggalkan istana, keluarga, dan segalanya untuk mencari jawaban atas misteri kehidupan. Ia pun mengembara ke berbagai tempat, belajar banyak filsafat dari banyak guru, termasuk menyiksa diri dengan meniadakan makan dan minum, hingga beliau mencapai kesadaran di bawah pohon Boddhi. Masyarakat memberinya gelar Buddha Sakyamuni, orang yang memiliki kesadaran, yang berasal dari Sakya.

Apa yang menjadi kesadaran beliau? Dalam ajarannya yang dibabarkan selama 40 tahun hingga kemudian beliau moksya, salah satunya disampaikan bahwa sumber bahagia sesungguhnya ialah bagaimana kita menemukan sumber derita orang lain dan memikirkan serta mengupayakan membangkitkan kebahagiaan untuk orang tersebut. Konsep ini disebut maitre karuna.

Melalui Waisak ini kita diingatkan mengenai kesadaran Buddha yang murni, sesungguhnya ialah ketika menjadikan kebahagiaan orang lain  sebagai juga kebahagaan kita. Seperti yang dijalankan Pangeran Siddharta, kita belajar betapa harta, dan takhta tidak lalu membahagiakan beliau. Justru ketika membabarkan ajaran, berdialog bersama murid dan penganut mencari solusi hidup, saat itulah beliau mencapai kesadaran.

Keberhasilan pemerintahan ialah ketika berhasil menciptakan iklim yang menumbuhkan kesejahteraan yang utuh bagi rakyatnya. Rakyat yang bahagia ialah yang menjalani hari-hari sebagai siapa saja. Entah itu pedagang, petani, guru, profesional segala bidang, dan seluruhnya untuk kebahagiaan orang lain. Seperti dokter yang sepenuh hati menyembuhkan pasien, guru yang mencerdaskan murid hingga anak-anak muda yang menjaminkan tongkat estafet masa depan yang lebih baik terjamin.

Trisuci Waisak ini mengingat dan mengajak kita bahwa pada akhirnya keimanan atau pelaksanaan ‘ritual’ dalam beragama ada justru pada seberapa kita telah membahagiakan orang lain. Menjadi pemerintah yang mensejahterakan rakyat ialah ibadah. Jadi, rakyat yang ikut menjaga dan menenteramkan pemerintahan dengan menjadi warga yang rukun dan saling membangun ialah ibadah.

Namun, akibat hawa nafsu diri sendiri yang terlalu besar, kita malah terjerat oleh delusi khayalan yang memabukkan. Mendapati orang lain bahagia kita malah iri. Menyalahkan dan membenci orang lain karena dianggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan kita dianggap solusi.

Memperkaya diri sendiri dengan mencuri, jadi jalan yang dianggap mampu membahagiakan. Menjadi terhormat dan dihargai hanya dengan jalan menjadi lebih kaya atau lebih segala-galanya jika dibandingkan dengan yang lain, ini semua jelas delusi.
Dengan semangat Trisuci Waisak, mari kita ubah kesadaran delusi menjadi kesadaran murni. Bahagia, rasa dihormati atau bangga justru datang dari membahagiakan dan menghargai serta mengangkat harkat orang lain.  Selamat Waisak! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar