Minggu, 03 Juni 2018

Menggali Etos Kerja Pancasila

Menggali Etos Kerja Pancasila
M Alfan Alfian ;  Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional;
Pengurus Pusat HIPIIS
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! … Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan … Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong!      Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945

Kutipan di atas setidaknya menegaskan bahwa Bung Karno telah memberi pandangan khusus bahwa etos kerja bangsa Indonesia ialah gotong royong. Hakikat gotong royong adalah kerja sama yang dinamis, demi kepentingan bersama. Oleh karena itulah, Bung Karno memaknainya lebih dari sekadar kekeluargaan yang dinilainya statis. Apa yang dikemukakan Bung Karno ini, terkesan jalan tengah atas polemik panjang polemik kebudayaan, yang mencakup pula soal etos kerja bangsa. Polemik kebudayaan itu berkembang pada 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan sejumlah tokoh intelektual yang lain.

STA menawarkan agar etos kerja bangsa Indonesia seperti bangsa Barat. Titik berangkat etos kerja bangsa Barat ialah individualisme, bukan kolektivisme. Semangat berusaha pun berangkat dari etos individu yang dinamis untuk memenangi persaingan. Api bangsa Barat menyala kuat di atas intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme. Bagi STA, jiwa Barat itu harus kita ambil, “jiwa nrimo” harus ditolak.

Di sisi lain, penolak gagasan STA menekankan gagasan pentingnya kolektivisme, gotong royong, dan kekeluargaan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai jiwa bangsa yang telah melekat erat sejak zaman nenek moyang. Di antara mereka bahkan mengilustrasikan kebesaran-kebesaran  ragam kerajaan Nusantara tempo dulu. Filosofi nenek moyang lebih diyakini lebih mulia ketimbang bangsa Barat yang terbelenggu materi dan keserakahan menjajah bangsa lain.

Oleh karena, menurut mereka, bangsa Barat bukanlah contoh model yang perlu ditiru. Api atau jiwa bangsa pun harus digali dari akarnya di bangsa sendiri.

Kendati tidak ikut langsung dalam polemik, Bung Karno tampak sangat menghargai gagasan yang kedua, bahwa api Indonesia harus digali dari akarnya di bangsa sendiri. Akan tetapi, di sisi lain ia cenderung tidak menolak perlunya bangsa ini dinamis. Di sini tampak pandangan Bung Karno seolah menjadi jalan tengahnya, hadirlah konsep “gotong royong adalah paham yang dinamis”.

Kolektivisme, karena itu, lebih merupakan dasar pergerakan bangsa yang dinamis.. Dinamisasi kolektif ini tentu berbeda dengan dinamisasi individualisme atau egoisme. Dinamisasi kolektif membutuhkan kebersamaan, yang dalam bahasa Bung Karno sebagai “pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama” dalam bingkai ‘amal semua buat kepentingan semua’ atau ‘kebahagiaan semua’.”

Gotong royong dinamis

Apakah gotong royong yang dinamis itu bukan sesuatu yang kontradiktif? Bukankah gotong royong yang mempersyaratkan kebersamaan antarentitas yang berbeda-beda itu, dalam logika ekonomi liberal lebih susah ketimbang menyelenggarakan kerja yang berbasis individualisme?

Dalam kaitan ini perlu kiranya kita menggali kembali hakikat gotong royong yang dinamis itu, lalu mengaitkan relevansinya untuk zaman kita. Dalam perspektif konstitusi, gagasan Bung Karno itu berimpitan dengan gagasan Bung Hatta, bapak bangsa (the founding fathers) lainnya, yang juga jelas-jelas mengakomodasi prinsip gotong royong dan kebersamaan dalam berekonomi.

Hal itu lantas tercermin pada Pasal 33 UUD 1945. Pada Ayat 1 pasal itu ditegaskan “Perekonomian disusun  sebagai usaha bersama berdasar atas  asas kekeluargaan”.  Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan relevansinya dengan ayat tersebut.

Pembahasan mengenai ekonomi Pancasila yang belakangan ini merebak kembali, tentu tak dapat dilepaskan dari perspektif konstitusi. Berbagai pandangan mengemuka dalam kajian ekonomi Pancasila justru ketika hakikat kegotongroyongan dalam berekonomi diinterpretasi dan reinterpretasikan. Ada yang lebih bertumpu pada semangatnya, ada pula yang menitikberatkan bentuk usaha atau kelembagaannya.

Namun, yang sama-sama disepakati, ekonomi Pancasila merupakan kegiatan ekonomi yang dilandasi etos kerja dalam bingkai nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila. Nilai-nilai itulah yang membedakan dengan semata-mata etos kerja kapitalisme atau liberalisme ekonomi. Etos kerja Pancasila memang sarat nilai, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Etos kerja Pancasila, karena itu, bukanlah etos kerja tanpa arah yang berpotensi menghalalkan segala cara dengan mengabaikan nilai-nilai adiluhung.

Dalam konteks “gotong royong yang dinamis” sebagai etos kerja Pancasila, sinergisitas antarelemen bangsa mutlak adanya. Tentu saja sinergisitas atau kerja sama dimaksud bukanlah sesuatu yang bekerja secara otomatis, kecuali dalam bingkai kebersamaan dan persatuan Indonesia.

Dalam konteks ini, masalah keragaman atau pluralisme bangsa justru menjadi kekuatan, mengingat satu sama lain saling menopang dan melengkapi. Namun, hal tersebut tidak akan tercapai manakala aspek manusia serta sistem kelembagaannya bermasalah, mengingat gerak kegotongroyongan tidak dapat dilepaskan dari keduanya.

Negara dan masyarakat

Aspek manusia jelas terkait dengan konteks manusia Pancasila. Kendati cukup abstrak dalam menggambarkan bagaimana manusia Pancasila, tetapi ia terkait dengan komitmen nilai-nilai dan kualifikasi sumberdaya. Oleh karena itu, tak berlebihan manakala ia dikaitkan dengan disiplin asketis atau spiritual (mesu budi) yang mendorong tindakan kemanusiaan, persatuan dan persaudaraan, musyawarah untuk konsensus atau mufakat, serta ikhtiar perwujudan keadilan sosial. Untuk itu, selain berbudi luhur atau mulia, perlu kompetensi, keunggulan, dan kemampuan yang mumpuni untuk merespons tantangan.

Aspek sistem kelembagaan tidak kalah rumit: bagaimana ia harus mengakomodasi, kalau bukan menjadikan bagian integral prinsip gotong royong dan kebersamaan agar operasional. Dari sini muncul peluang merekonstruksi—bahkan memperbarui—sistem kelembagaan berdasar prinsip-prinsip konstitusi sehingga selaras zaman.

Peran negara sebagai penentu regulasi sangatlah penting. Negara membuat regulasi yang dibingkai nilai-nilai Pancasila, tanpa harus mematikan aspek-aspek dinamis kompetisi dunia usaha. Negara mengatur agar persaingan ekonomi dan bisnis berjalan seimbang dan adil, tidak membiarkan segalanya berjalan secara bebas (free fight liberalism).

Di sisi lain, masyarakat, termasuk golongan pengusaha, mutlak harus memiliki etos kerja dan kerja sama tinggi, jujur, benar-benar bekerja keras dalam suatu iklim persaingan usaha yang kondusif. Tulisan ini bisa dikembangkan lagi, akan tetapi intinya adalah bagaimana etos kerja bangsa justru kita gali dari Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar