Minggu, 03 Juni 2018

Menimbang Iuran LPS

Menimbang Iuran LPS
Paul Sutaryono ;  Pengamat Perbankan;  Mantan Assistant Vice President BNI
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Satu pungutan lagi berupa iuran restrukturisasi perbankan segera dibebankan kepada bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Iuran itu menyu- sul premi penjaminan kepada LPS dan iuran kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Bagaimana implikasinya pada suku bunga kredit? Lantas, bagaimana menangkisnya? Besaran iuran itu akan ditetapkan dengan Peraturan pemerintah (PP) yang masih digodok Kementerian Keuangan dengan berkonsultasi dengan DPR. PP itu merupakan aturan turunan dari UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang diundangkan pada 15 April 2016.

Pasal 39 UU itu menitahkan bahwa dana penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan berasal dari pemegang saham bank dan atau pihak lain berupa tambahan modal dan/atau perubahan utang tertentu menjadi modal, hasil pengelolaan aset dan kewajiban yang berasal dari aset dan kewajiban bank yang ditangani, kontribusi industri perbankan dan/atau pinjaman yang diperoleh LPS dari pihak lain. Pinjaman dari pihak lain itu berasal dari perseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta dan/atau badan hukum lainnya.

Program restrukturisasi perbankan adalah program yang diselenggarakan untuk menangani permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. Kelak program itu diselenggarakan oleh LPS. Apakah iuran restrukturisasi perbankan harus dari bank? Tidak. Pasal 39 menitahkan iuran restrukturisasi perbankan tidak harus berasal dari bank. Tetapi mengingat ada bank yang memiliki risiko sistemik, maka kemungkinan besar iuran akan dibebankan kepada bank.

Aneka pertimbangan

Lantas, faktor apa saja yang patut dipertimbangkan dalam menetapkan iuran itu? Pertama, apakah iuran itu sudah waktunya untuk dibebankan dalam waktu dekat ini pada 2018? Rasanya belum. Hal itu lantaran Pasal 38 menitahkan bahwa dalam kondisi krisis sistem keuangan dan terjadi permasalahan sektor perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Komite Stabilitas Sistem Keuangan merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan.

Apakah saat ini ada masalah sektor perbankan yang membahayakan perekonomian? Tidak. Ada beberapa indikator yang mendukung. Sebut saja, rasio pemenuhan kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) naik dari 21,39 persen per Desember 2015 menjadi 22,93 persen (2016), 23,18 persen (2017) dan 22,65 persen (Maret 2018). Data itu mengandung arti bahwa permodalan industri perbankan nasional makin gagah.

Imbal hasil aset (return on assets/ROA) juga tinggi dari 2,32 persen per Desember 2015 menjadi 2,23 persen (2016), 2,45 persen (2017) dan 2,55 persen (Maret 2018), mendekati dua kali atas ambang batas 1,5 persen. Artinya, kualitas aset (assets quality) masih perkasa.

Demikian pula margin bunga bersih (net interest margin/NIM) sebagai mesin pencetak pendapatan dari bunga kredit masih perkasa dari 5,39 persen per Desember 2015 menjadi 5,63 persen (2016), 5,32 persen (2017) dan 5,07 persen (Maret 2018). Hal ini menegaskan bank masih mampu menggali pendapatan bunga kredit (interest income) yang tinggi jauh melebihi rata-rata NIM bank-bank di negara ASEAN yang sekitar 3 persen.

Kedua, metode penetapan besaran iuran semestinya dibahas dengan industri melalui masing-masing asosiasi seperti Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara), Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) dan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda). Tampaknya LPS akan menetapkan iuran berdasarkan pada total aset bank seperti iuran kepada OJK.

Untuk premi penjaminan LPS, setiap peserta penjaminan mempunyai dua kewajiban. Pertama, kontribusi kepesertaan 0,1 persen dari modal disetor bank. Kedua, premi penjaminan yang dibayarkan dua kali dalam setahun: periode 1 Januari-30 Juni dan periode 1 Juli-31 Desember. Premi itu 0,1 persen per periode dari rata-rata saldo bulanan total simpanan.

Implikasi

Ketiga, kemungkinan besar iuran itu akan dibebankan kepada nasabah sebagai pengguna akhir (end user). Hal itu logis tetapi dapat mendorong kenaikan bunga kredit terlebih ketika bunga acuan sudah naik 25 basis poin (bps) (0,25 persen) menjadi 4,50 persen. Kok bisa? Ketika iuran sudah berlaku efektif, bank akan terbebani biaya operasional lebih tinggi lagi yang mengakibatkan biaya penyaluran kredit (cost of loanable fund) juga naik.

Sebagai informasi, besarnya suku bunga deposito yang diberikan bank kepada nasabah, pajak, premi risiko (risk premium) dan cadangan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) merupakan paket biaya operasional bagi bank dalam menentukan suku bunga kredit. Kenaikan suku bunga kredit itu dapat mengganggu upaya pemerintah dalam menciptakan suku bunga kredit satu digit (single digit) untuk mendorong supaya sektor riil bergerak lebih kencang.

Padahal suku bunga rata-rata kredit (dalam rupiah) bank umum sudah turun cukup signifikan. Coba simak data berikut. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh OJK pada 9 Mei 2018 menunjukkan suku bunga rata-rata kredit modal kerja telah turun 185 bps (1,85 persen) selama tiga tahun terakhir dari 12,48 persen per Desember 2015 menjadi 10,63 persen per Maret 2018. Demikian pula suku bunga rata-rata kredit investasi telah turun 174 bps (1,74 persen) dari 12,12 persen menjadi 10,38 persen, sedangkan suku bunga rata-rata kredit konsumsi turun 14 bps (0,14 persen) dari 13,88 persen menjadi 12,48 persen pada periode sama.

Manakala suku bunga kredit terus merangkak naik, permintaan kredit diprediksi akan kian tertekan. Kondisi itu akan menekan pula pertumbuhan ekonomi mengingat pertumbuhan kredit perbankan merupakan cermin pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, ketika bunga kredit naik tetapi suku bunga deposito minimal tetap, maka NIM bank bakal melaju lebih cepat sebagai salah satu pilar penting dalam mencetak laba. Sungguh ironis tatkala pertumbuhan laba bank makin tinggi, pertumbuhan ekonomi justru tertekan.

Padahal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) telah menahan BI 7 Day Repo Reverse Rate pada 4,25 persen sejak 22 September 2017 hingga akhirnya naik menjadi 4,50 persen pada 17 Mei 2018 setelah rupiah terkulai pada level Rp 14.000 per dollar AS. Hal itu sebagai akibat kenaikan suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate) 25 bps menjadi 1,75 persen pada Maret 2018. Ancaman kenaikan itu akan berlanjut yang diprediksi pada Juni dan Desember 2018.

Alternatif solusi

Keempat, karena itu perlu ada jurus teroboson yang ampuh untuk mengatasi resistensi industri perbankan terhadap iuran restrukturisasi itu. Untuk menjamin kesetaraan dan rasa keadilan (fairness), iuran sudah seharusnya berbasis risiko bank (risk based premium) atau menurut profil risiko masing-masing bank.

Dalam menentukan peringkat risiko, LPS dapat bekerja sama dengan OJK yang telah menentukan tingkat kesehatan bank. Tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kondisi bank yang dilakukan terhadap risiko dan kinerja bank.

Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas tingkat kesehatan bank. Tingkat kesehatan bank secara individu dengan menggunakan pendekatan risiko (risk-based bank rating) dengan cakupan penilaian terhadap faktor-faktor profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), rentabilitas (earnings) dan permodalan (capital). 

Namun ketika terdapat perbedaan antara hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan OJK dan hasil penilaian sendiri tingkat kesehatan bank, yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh OJK.

Dengan Peraturan OJK No 4/POJK.03/2016 tentang Penentuan Tingkat Kesehatan Bank Umum, OJK menetapkan lima peringkat tingkat kesehatan bank. Peringkat 1 (sangat sehat), 2 (sehat), 3 (cukup sehat), 4 (kurang sehat) dan 5 (tidak sehat). Peringkat 1 mencerminkan kondisi bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.

Untuk itu, LPS sudah semestinya juga membagi peringkat risiko dalam lima peringkat agar sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan bank yang disusun OJK. Dengan demikian, iuran berbasis risiko itu akan membuat bank yang punya potensi risiko lebih tinggi sudah selayaknya membayar iuran lebih tinggi. Sebaliknya, bank yang memiliki potensi risiko lebih rendah akan membayar iuran lebih rendah.

Kelima, sejatinya, iuran berbasis risiko itu secara tidak langsung menuntut bank supaya selalu melakukan berbagai upaya untuk mengerek tingkat kesehatan bank. Untuk itu, BI sudah menetapkan countercyclical buffer melalui Peraturan BI No 17/22/PBI/2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer. Countercyclical buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Besaran countercyclical buffer ditetapkan dalam kisaran paling kurang nol persen sampai dengan 2,5 persen dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang efektif berlaku 1 Januari 2016. Dengan bahasa lebih bening, kini bank dituntut untuk tiada henti meningkatkan modal untuk menepis aneka potensi risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas. Dengan mengenakan iuran berbasis risiko demikian, resistensi terhadap pengenaan iuran restrukturisasi perbankan akan dapat ditekan sedemikian rupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar