Minggu, 03 Juni 2018

Keindahan Politik Pudar

Keindahan Politik Pudar
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Real Madrid menekuk Liverpool dengan skor 3-1 di NSC Olimpiyskiy Stadium Kiev, Ukraina, Minggu (27/5/2018). Real Madrid pun memenangi trofi Liga Champions. Pertandingan itu menjadi buah bibir berkepanjangan. Bukan kemenangan Real Madrid yang menjadi juara untuk ketiga kali berturut-turut. Tetapi insiden yang menimpa Mohamed Salah, bintang Liverpool, yang dilakukan pemain belakang Real Madrid, Sergio Ramos. Ramos ”memiting” tangan kanan Salah yang terjatuh tertindih tubuh Ramos. Meski Salah mencoba bertahan, rasa sakit membuatnya terpaksa keluar lapangan.

Dalam tayangan ulang ketika terjadi rebutan bola, terlihat jelas Ramos menjepit tangan kanan Salah dan menariknya sampai ia terjungkal. Aksi Ramos semirip itu sebetulnya bukan hal baru, sebagaimana kerap ia lakukan di Liga Spanyol. Bintang Barcelona, Lionel Messi, misalnya, termasuk pemain yang sering menjadi korban. Tak mengherankan Pelatih Liverpool Juergen Klopp marah. Katanya apa yang dilakukan Ramos itu seperti gulat. Memang, Ramos bisa menghentikan Salah, lalu Liverpool pun kalah.

Bagi penonton awam, sepak bola adalah keindahan. Brasil dikenal dengan gaya tarian samba. Argentina populer dengan gaya tarian tango. Maka, cara-cara kasar boleh jadi akan dicemooh penonton. Menang-kalah adalah hal lumrah. Itulah sportivitas, watak dasar olahraga. Semangat menciptakan permainan indah dan aksi pemain yang bersih bukan perkara gampang. Walaupun berulang kali digembar-gemborkan, terkadang keindahan dan watak bersih bisa lenyap ditelan ambisi untuk meraih kemenangan.

Itulah yang terjadi di politik. Mereka yang bertarung di arena politik tampaknya lebih siap menang. Slogan ”siap menang, siap kalah” bisa jadi cuma lip service. Untuk menang, segala cara ditempuh. Bukan meningkatkan kapasitas, tetapi justru memilih jalan pintas. Tidak sedikit yang menunggu di tikungan terakhir daripada berpeluh dari titik awal. Polanya serangan fajar, politik uang, bagi-bagi bahan pokok, dan sejenisnya. Awas, karena pilkada digelar pada 27 Juni 2018 di 171 daerah (terdiri dari 13 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten). Karena pemungutan suara tak jauh-jauh dari Lebaran, jangan-jangan ada lagi model pembagian THR.

Membersihkan arena politik dari praktik korup (politik uang dan sejenisnya) menjadi problem besar di negeri ini. Begitu banyak kepala daerah ditangkap KPK karena masih terus bermain-main dengan uang haram. Padahal, berulang kali lagi terdengar mereka berada di garda terdepan dalam kampanye pemberantasan korupsi. Inilah politik yang berwajah ganda: antara yang terucap dan praktik tidak sinkron. Betapa sulit membersihkan arena politik dari praktik korupsi.

Itulah yang belakangan ini menjadi polemik ketika KPU melontarkan gagasan melarang bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Tujuannya, membersihkan arena politik dan meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, parpol (para politikus) menolak wacana pelarangan itu dengan alasan tidak sesuai UU Pemilu dan melanggar hak-kewajiban warga negara.

Padahal, mengharapkan pembenahan yang dipelopori parpol, politikus, atau pejabat seperti mimpi di siang bolong. Sulit menemukan pemimpin atau elite politik yang benar-benar tahu diri. Sebaliknya, begitu mudah menemukan elite politik yang suka pamer diri. Negeri kita tak seperti Jepang di mana banyak pejabatnya langsung mundur jika melakukan kesalahan atau perbuatan tercela.

Pada 2016, Aida Hadzialic (29), Menteri Pendidikan Menengah dan Dewasa Swedia, mengundurkan diri setelah kedapatan mengemudi di bawah pengaruh alkohol. Imigran asal Bosnia yang menjadi menteri termuda dalam sejarah kabinet di Swedia itu mengakui, ”Ini adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya. Saya akan bertanggung jawab.” ”Saya marah pada diri saya sendiri dan saya sangat menyesalinya,” kata politikus muda yang sebetulnya harapan masa depan Partai Demokrat Sosial itu.

Di AS, Jumat (1/6/2018), Gubernur Missouri Eric Greitens juga mundur di tengah penyelidikan skandal seks yang menyeretnya dan juga dugaan pelanggaran undang-undang dana kampanye. Semula politikus Partai Republik ini menolak mundur, tetapi wacana pemakzulan menguat. Padahal, ia masuk radar kandidat presiden mendatang. Namun, mereka yang tercela memang tak pantas mengatur masa depan publik.

Di negeri kita, jangankan mundur, mau membersihkan arena politik saja banyak tentangannya. Sebab, politik kita masih didominasi ambisi merebut kemenangan. Cara kasar atau licik tak masalah jika dapat merebut kemenangan. Senangnya menyalahkan pihak lain, tanpa mau becermin ke diri sendiri. Padahal, seperti juga sepak bola, kalau terlalu banyak aksi kasar seperti Ramos, politik itu tidak indah lagi. Keindahannya bisa pudar. ”Hanya menjadi harapan sia-sia untuk membuat orang-orang bahagia dengan politik,” kata Thomas Carlyle (1795-1881), sejarawan asal Skotlandia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar