Utang,
Kontra Siklus, dan Pertumbuhan Munib Ansori ; Tamatan Magister Perencanaan dan Kebijakan
Publik (MPKP) Universitas Indonesia |
DETIKNEWS, 13
Agustus 2021
Di tengah
pro-kontra kebijakan utang dan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM) level 1-4, ada kabar menyentak dari Badan Pusat Statistik
(BPS). Ekonomi Indonesia Kuartal II-2021 dilaporkan tumbuh fantastis di level
7,07% year on year (y-o-y). Suatu pencapaian yang menjelaskan betapa sejumlah
langkah seluruh pihak untuk memulihkan ekonomi berada di lajur yang tepat. Angka
pertumbuhan yang melebihi konsensus itu sekaligus mengantarkan Indonesia
keluar dari zona resesi. Kendati demikian, pelaku ekonomi tak perlu terbuai
oleh pencapaian tersebut. Masih ada dua kuartal lagi untuk memastikan
performa perekonomian sepanjang 2021. Lebih-lebih, kuartal III ini diliputi
dengan PPKM darurat hingga PPKM level 1-4 menyusul lonjakan kasus Covid-19
yang mendera sejak akhir Juni silam. Keputusan
negara menambah lagi durasi PPKM tak pelak kian melipatgandakan terkuncinya
mobilitas warga yang pada gilirannya bakal kembali menekan laju perekonomian
nasional. Sehingga hampir dipastikan, pertumbuhan ekonomi di kuartal III sulit
akan secemerlang kuartal II yang telah dirilis BPS itu. Wabah yang tak
kunjung usai dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi mengakibatkan
kebutuhan anggaran jumbo untuk meresponsnya. Covid-19 yang bukan fenomena
biasa direspons dengan serangkaian kebijakan yang tak biasa pula. Maka,
begitu banyak negara ramai-ramai menggelar kebijakan kontra siklus (counter cyclical); rupa-rupa stimulus
digelontorkan untuk memompa perekonomian yang tengah kempis. Sisi
permintaan (demand side) terus
dirangsang dengan belanja pemerintah (government
spending). Dalam himpitan resesi, komponen belanja pemerintah memang yang
paling mungkin diandalkan. Konsumsi domestik, investasi, dan ekspor sebagai
variabel penyusun pertumbuhan selain belanja pemerintah tengah lesu berjamaah. Itu sebabnya,
dalam pengendalian pandemi, pemerintah di banyak negara bukan hanya menggelar
kebijakan luar biasa, tapi juga menempuh segala cara. Termasuk Indonesia.
Kebutuhan melebarkan defisit di dalam suasana sempitnya ruang fiskal lantaran
paceklik penerimaan pajak telah mengkondisikan pembuat kebijakan mengambil
Langkah yang tak mudah dan tak populis: menarik utang baru. Dilematis Belum lama ini
pemerintah menerbitkan global bonds berupa Surat Utang Negara (SUN)
berdenominasi dua mata uang asing (dual currency), US Dolar dan Euro, dengan
nilai masing-masing US$1,65 miliar dan 500 juta Euro. Penerbitan global bond
ini sudah barang tentu menambah utang pemerintah yang telah menyentuh posisi
Rp 6.554,56 triliun dengan rasio 41,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
per akhir Juni 2021. Kenaikan
nominal dan rasio utang tersebut memang dilematis. Betapa tidak. Utang yang
kian membesar mesti diakui punya sejumlah risiko, baik dari aspek pengelolaan
pembiayaan maupun efek samping berupa kritik pedas dari publik, khususnya
netizen di media sosial. Namun, apa boleh buat, pembuat kebijakan mesti
mengambil keputusan cepat. Terkadang opsinya hanya dua dan sama-sama sulit:
memilih menegasikan utang atau tega melihat rakyat bergelimpangan lantaran
tak ada anggaran menangani pagebluk. Dana segar
berasal dari utang, langsung maupun tidak, digunakan untuk vaksinasi gratis
dan belanja lain di sektor kesehatan, bantuan sosial, belanja rutin, hingga
diinjeksi ke pemulihan ekonomi. Pertumbuhan fantastis di kuartal II,
sekurang-kurangnya menegaskan sebuah sinyal bahwa beragam insentif, termasuk
pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap mobil baru
terbukti menggairahkan sektor konsumsi di tengah pandemi melanda. Besarnya
sektor otomotif memang menjadi salah satu lokomotif penggerak perekonomian
secara keseluruhan. Begitu pun
relaksasi pajak penghasilan bagi karyawan dengan pendapatan hingga Rp 16
juta, usaha kecil, dan korporasi yang ditanggung pemerintah. Seluruh
kebijakan kontra siklus ini berimplikasi pada belanja negara yang dalam
keadaan ekonomi tertekan hebat memang mesti berada di garis paling depan. Konsekuensinya,
menambah utang mau tidak mau diambil oleh regulator. Bukan hanya di
Indonesia. Pada saat pandemi melanda, lonjakan rasio utang internasional
terhadap PDB global, sebagaimana dilaporkan Bank Dunia, merupakan yang
terbesar sejak Perang Dunia II. Negara-negara maju maupun berkembang
sama-sama menempuh kebijakan utang demi menyelamatkan rakyat dan sekaligus
ekonominya. Dalam perspektif inilah, segitiga kebijakan utang, program kontra
siklus, dan pertumbuhan ekonomi mesti dibaca secara jernih. Napas Lebih Panjang Perpanjangan
PPKM telah memaksa APBN bekerja ekstra keras. Bahkan, kalau mau jujur,
bekerja di garis batas kemampuannya dalam kondisi normal. Bayangkan saja,
misalnya, pada 2021 alokasi anggaran kesehatan untuk menangani Covid-19 saja
mencapai Rp 214,9 triliun, meningkat drastis dibanding 2020 sebesar Rp 176
triliun. Bahkan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, realisasi belanja
kesehatan pada akhir 2021 bakal melampaui angka di atas Rp 300 triliun. Belanja
pemerintah untuk perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi juga bakal
melambung tinggi seiring ketidakpastian kapan wabah bisa diakhiri.
Lebih-lebih, Indonesia diprediksi berada di jajaran negara yang bakal paling
akhir keluar dari jeratan krisis pandemi, sebagaimana disampaikan pakar
epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman (detikcom, 29/7). Pun laiknya
Indonesia, sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok, telah
mengalami pasang-surut-pasang gelombang Covid-19. Di saat para pemangku
kebijakan publik di banyak negara tengah bereksperimen sekaligus berlomba
mengakhiri wabah, di saat itulah kerapkali terdapat kekeliruan strategi,
kesalahan kalkulasi, dan kelengahan estimasi. Seringkali mereka tampak gugup
dan gagap. Lagi pula,
varian Delta nyata-nyata telah merepotkan negara mana pun dunia. Strategi
lama dalam menangani varian Alfa sudah tidak relevan. Jika kemudian varian
Delta Plus dan varian Lambda juga merebak liar, maka hampir dipastikan butuh
napas lebih panjang dan durasi lebih lama untuk membenamkan wabah. Ini
artinya, ke depan, APBN Indonesia masih akan bekerja superkeras dengan efek
samping pelebaran defisit. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar