Jangan
Terbuai Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen Theresa Novalia ; Statistisi Ahli Pertama BPS RI |
DETIKNEWS, 13
Agustus 2021
Setelah pada
triwulan II-2020 mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -5,32
persen, pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perbaikan
dengan mencapai laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 persen (y-on-y) dan
sebesar 3,31 persen (q-to-q). Hal ini menjadi kabar gembira bagi beberapa
pihak karena menunjukkan optimisme bagi kondisi yang mengarah pada pemulihan
ekonomi di Indonesia dalam era pandemi saat ini. Jika kita
berbicara tentang pertumbuhan ekonomi secara y-on-y (year-on-year), berarti
kita akan membandingkan indikator ekonomi makro yaitu Produk Domestik Bruto
(PDB) pada triwulan berjalan di tahun ini dibandingkan triwulan yang sama di
tahun sebelumnya. Dengan demikian, angka 7,07 persen menunjukkan perbandingan
PDB di triwulan II-2021 terhadap triwulan II-2020. Beda hal
dengan pertumbuhan ekonomi secara q-to-q (quarter-to-quarter) yang berarti
PDB triwulan berjalan akan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya pada tahun
yang sama, dalam hal ini PDB Triwulan II-2021 akan dibandingkan dengan
Triwulan I-2021 sehingga menghasilkan angka 3,31 persen. Penyajian angka
pertumbuhan ekonomi secara y-on-y dan q-to-q ini sudah sejak dulu dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan umum digunakan dalam penghitungan
indikator makroekonomi. Perlu
diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi 7,07 persen ini merupakan akibat dari
low-base effect. Pertumbuhan ekonomi menjadi seolah tinggi akibat pada
Triwulan II-2020 basis PDB yang sempat anjlok saat awal mula pandemi tahun
lalu (nominal PDB yaitu Rp 2.589,82 triliun rupiah) --terjadi pembatasan
sosial berskala besar yang cukup ketat. Pada tahun
ini, diindikasi mobilitas masyarakat jauh lebih aktif dibandingkan saat awal
pandemi tahun lalu, sehingga memicu kegiatan ekonomi yang perlahan mulai
membaik. Itulah mengapa persentase pertumbuhan ekonomi di Triwulan II-2021
menjadi meningkat (nomimal PDB menjadi Rp 2.772,83 triliun). Sejumlah
fenomena di balik angka pertumbuhan ini dijelaskan sebagai berikut. Dari sisi
produksi, pada tahun sebelumnya, dari 17 klasifikasi lapangan usaha di
Indonesia, 10 di antaranya mengalami pertumbuhan negatif. Sektor yang
terdampak sangat signifikan adalah Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan
Akomodasi dan Makan Minum, serta Jasa Lainnya dengan masing-masing kontraksi
sebesar -30,80 persen, -21,97 persen, dan -12,6 persen. Pada Triwulan
II-2021 ini, ketiga sektor tersebut menunjukkan kebangkitan dan mengalami
pertumbuhan tertinggi dibanding sektor lainnya, yaitu menjadi 25,10 persen,
21,58 persen, dan 11,97 persen. Fenomena di lapangan menunjukkan adanya
peningkatan pergerakan penumpang di semua moda transportasi umum, terutama
angkutan udara. Selain itu, relaksasi kebijakan pembatasan aktivitas
masyarakat juga memicu kunjungan wisatawan lokal di beberapa wilayah. Tingkat
Penghunian Kamar (TPK) hotel pun meningkat secara rata-rata pada Triwulan
II-2021 sekitar 35,05 persen dibanding Triwulan II-2020 yang hanya sekitar
15,61 persen. Dari sisi
pengeluaran, setelah mengalami kontraksi di Triwulan II-2020, pada tahun ini
di triwulan yang sama menunjukkan bahwa selain ekspor dan impor yang mengalami
perbaikan (masing-masing 31,78 persen dan 31,22 persen), konsumsi pemerintah
dan konsumsi rumah tangga pun mengalami pertumbuhan, yaitu 8,06 persen dan
5,93 persen. Ekspor tumbuh akibat perekonomian mitra dagang utama Indonesia
yang juga mengalami peningkatan. Dari sisi impor pun mengalami peningkatan,
baik impor migas, impor non migas, dan impor jasa. Sedangkan
konsumsi pemerintah tumbuh didorong oleh kenaikan realisasi belanja barang
dan jasa seperti adanya program penangan pandemi COVID-19, yaitu vaksinasi,
pengadaan alat uji medis, penyemprotan disinfektan, testing dan tracing,
serta program-program lainnya. Khusus untuk konsumsi rumah tangga menunjukkan
bahwa pengeluaran masyarakat untuk beberapa sub-komponen mengalami
peningkatan seperti pengeluaran untuk restoran dan hotel, serta transportasi
dan komunikasi. Jadi, perlu
diingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang menembus angka 7,07 persen tersebut
adalah efek pertumbuhan ekonomi yang rendah (-5,32 persen) pada Triwulan
II-2020 sebelumnya, awal mula era pandemi di Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa ekonomi membaik tetapi sebenarnya belum dapat dikatakan pulih. Variabel Lain Kabar tentang
pertumbuhan ekonomi ini dapat membuat sebagian pihak menarik napas lega
karena kita boleh bebas dari perangkap resesi. Namun, yang menjadi
pertanyaan, patutkah kita berbangga dengan pertumbuhan ekonomi 7,07 persen
ini? Dapatkah indikator laju pertumbuhan ekonomi ini menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat sepenuhnya? Tentu saja
selain pertumbuhan ekonomi, kita perlu mempertimbangkan variabel lain,
terutama kondisi sosial masyarakat. Dalam sejumlah fakta tercatat bahwa
berdasarkan data BPS, jumlah penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 pada
Februari 2021 adalah 19,10 juta orang atau sekitar 9,30 persen dari total
penduduk usia kerja. Data ini jauh lebih baik dibanding Agustus 2020 di mana
ada 29,12 juta penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 (sekitar 14,28
persen). Pada rentang
Februari 2020 sampai dengan Februari 2021, terdapat 1,62 juta orang menjadi
pengangguran karena COVID-19, sebanyak 0,65 juta orang menjadi bukan angkatan
kerja karena COVID-19, 1,11 juta orang statusnya sementara tidak bekerja
karena COVID-19, dan 15,72 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja
(shorter hour) karena COVID-19. Selain itu,
pada tahun 2018 pemerintah sempat menoreh prestasi angka kemiskinan sempat
menyentuh 1 digit. Pada awal masa pandemi pada Maret 2020, angka penduduk
miskin masih tercatat 1 digit, yaitu sekitar 9,78 persen atau sejumlah 26,42
juta penduduk miskin. Sangat disayangkan efek pandemi ini sungguh nyata; pada
Agustus 2020 persentase penduduk miskin meningkat menjadi 10,19 persen (27,55
juta penduduk) dan Maret 2021 persentase penduduk miskin berkurang sedikit
menjadi 10,14 persen (27,54 juta penduduk). Berdasarkan
data Kementerian Kesehatan pada Triwulan II-2021, total kasus COVID-19 adalah
sebanyak 666.560 kasus, menurun dibanding Triwulan I-2021 sebanyak 768.514
kasus. Jumlah kematian pun menurun; pada Januari sampai dengan Maret 2021
terdapat 18.720 kematian, sedangkan pada April sampai Juni 2021 terdapat
17.633 kematian. Sayangnya,
apabila diperhitungkan antara data COVID-19 pasca akhir Triwulan II-2021,
yaitu pada rentang 1 Juli 2021 dengan data per 6 Agustus 2021, kasusnya
meningkat lebih dari 100 persen, menjadi 1.429.591 kasus, dengan pasien
sembuh sebanyak 1.116.065 dan kematian yang mencapai 45.765 pada rentang
waktu 37 hari ini. Catatan pada
akhir Juni 2021, Bed Occupancy Rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat
tidur untuk layanan rawat inap pasien COVID-19 di Indonesia secara total
adalah 74 persen, --provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat menunjukkan
angka yang paling mengkhawatirkan, yaitu 92 persen, 91 persen, dan 90 persen.
Pada 5 Agustus 2021, BOR COVID mengalami penurunan; persentase secara total
adalah 55 persen --ketiga provinsi yang telah disebutkan sebelumnya memiliki
BOR COVID di bawah 50 persen. Justru di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, dan
DI Yogyakarta persentase BOR COVID-nya menjadi 75 persen ke atas. Tetap Waspada Berdasarkan
variabel-variabel di atas, dapat dikatakan bahwa memang pertumbuhan ekonomi
pada Triwulan II-2021 mengalami perbaikan dibanding Triwulan II-2020. Kasus
COVID-19 pun masih ada, namun datanya menurun dibanding triwulan sebelumnya. Tetapi,
setelah Triwulan II-2021, kasus COVID-19 meningkat dengan tajam, fasilitas
kesehatan pun dikabarkan kewalahan karena meningkatnya kasus infeksi ini,
tercermin dari tingginya persentase BOR. Terlihat bahwa seiring dengan
pergerakan masyarakat yang menandakan ekonomi mulai berjalan, kasus COVID-19
juga ikut meningkat. Sekalipun vaksin terus berjalan, namun adanya varian
baru COVID-19 nampaknya kembali menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat
kita. Apabila
dikaitkan dengan variabel-variabel lain, pertumbuhan ekonomi 7,07 persen
patut disyukuri tetapi jangan terbuai dengan euforia pertumbuhan tersebut
yang merupakan low-base effect dari pertumbuhan di triwulan yang sama pada
tahun sebelumnya. Program pemulihan ekonomi harus tetap berjalan, termasuk PR
besar bagi pemerintah agar negara kita memiliki pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas di mana dampaknya terasa bagi masyarakat. Perlu berbagai
strategi untuk menuntaskan masalah pengangguran dan kemiskinan yang meningkat
imbas pandemi COVID-19 yang melanda. Begitu pula dalam menghadapi berbagai
kemungkinan mutasi virus, diperlukan kebijakan prioritas yang tepat agar
tidak banyak lagi masyarakat yang menjadi korban karena nyawa bukan sekadar
angka, satu nyawa sangat berharga bagi orang-orang yang ditinggalkan, entah
itu orangtua, anak, sahabat, dan orang-orang terkasih lainnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar