Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Jangan Terbuai Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen

Theresa Novalia ;  Statistisi Ahli Pertama BPS RI

DETIKNEWS, 13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Setelah pada triwulan II-2020 mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -5,32 persen, pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perbaikan dengan mencapai laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 persen (y-on-y) dan sebesar 3,31 persen (q-to-q). Hal ini menjadi kabar gembira bagi beberapa pihak karena menunjukkan optimisme bagi kondisi yang mengarah pada pemulihan ekonomi di Indonesia dalam era pandemi saat ini.

 

Jika kita berbicara tentang pertumbuhan ekonomi secara y-on-y (year-on-year), berarti kita akan membandingkan indikator ekonomi makro yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan berjalan di tahun ini dibandingkan triwulan yang sama di tahun sebelumnya. Dengan demikian, angka 7,07 persen menunjukkan perbandingan PDB di triwulan II-2021 terhadap triwulan II-2020.

 

Beda hal dengan pertumbuhan ekonomi secara q-to-q (quarter-to-quarter) yang berarti PDB triwulan berjalan akan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya pada tahun yang sama, dalam hal ini PDB Triwulan II-2021 akan dibandingkan dengan Triwulan I-2021 sehingga menghasilkan angka 3,31 persen. Penyajian angka pertumbuhan ekonomi secara y-on-y dan q-to-q ini sudah sejak dulu dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan umum digunakan dalam penghitungan indikator makroekonomi.

 

Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi 7,07 persen ini merupakan akibat dari low-base effect. Pertumbuhan ekonomi menjadi seolah tinggi akibat pada Triwulan II-2020 basis PDB yang sempat anjlok saat awal mula pandemi tahun lalu (nominal PDB yaitu Rp 2.589,82 triliun rupiah) --terjadi pembatasan sosial berskala besar yang cukup ketat.

 

Pada tahun ini, diindikasi mobilitas masyarakat jauh lebih aktif dibandingkan saat awal pandemi tahun lalu, sehingga memicu kegiatan ekonomi yang perlahan mulai membaik. Itulah mengapa persentase pertumbuhan ekonomi di Triwulan II-2021 menjadi meningkat (nomimal PDB menjadi Rp 2.772,83 triliun).

 

Sejumlah fenomena di balik angka pertumbuhan ini dijelaskan sebagai berikut. Dari sisi produksi, pada tahun sebelumnya, dari 17 klasifikasi lapangan usaha di Indonesia, 10 di antaranya mengalami pertumbuhan negatif. Sektor yang terdampak sangat signifikan adalah Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, serta Jasa Lainnya dengan masing-masing kontraksi sebesar -30,80 persen, -21,97 persen, dan -12,6 persen.

 

Pada Triwulan II-2021 ini, ketiga sektor tersebut menunjukkan kebangkitan dan mengalami pertumbuhan tertinggi dibanding sektor lainnya, yaitu menjadi 25,10 persen, 21,58 persen, dan 11,97 persen. Fenomena di lapangan menunjukkan adanya peningkatan pergerakan penumpang di semua moda transportasi umum, terutama angkutan udara. Selain itu, relaksasi kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat juga memicu kunjungan wisatawan lokal di beberapa wilayah. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel pun meningkat secara rata-rata pada Triwulan II-2021 sekitar 35,05 persen dibanding Triwulan II-2020 yang hanya sekitar 15,61 persen.

 

Dari sisi pengeluaran, setelah mengalami kontraksi di Triwulan II-2020, pada tahun ini di triwulan yang sama menunjukkan bahwa selain ekspor dan impor yang mengalami perbaikan (masing-masing 31,78 persen dan 31,22 persen), konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga pun mengalami pertumbuhan, yaitu 8,06 persen dan 5,93 persen. Ekspor tumbuh akibat perekonomian mitra dagang utama Indonesia yang juga mengalami peningkatan. Dari sisi impor pun mengalami peningkatan, baik impor migas, impor non migas, dan impor jasa.

 

Sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh didorong oleh kenaikan realisasi belanja barang dan jasa seperti adanya program penangan pandemi COVID-19, yaitu vaksinasi, pengadaan alat uji medis, penyemprotan disinfektan, testing dan tracing, serta program-program lainnya. Khusus untuk konsumsi rumah tangga menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat untuk beberapa sub-komponen mengalami peningkatan seperti pengeluaran untuk restoran dan hotel, serta transportasi dan komunikasi.

 

Jadi, perlu diingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang menembus angka 7,07 persen tersebut adalah efek pertumbuhan ekonomi yang rendah (-5,32 persen) pada Triwulan II-2020 sebelumnya, awal mula era pandemi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi membaik tetapi sebenarnya belum dapat dikatakan pulih.

 

Variabel Lain

 

Kabar tentang pertumbuhan ekonomi ini dapat membuat sebagian pihak menarik napas lega karena kita boleh bebas dari perangkap resesi. Namun, yang menjadi pertanyaan, patutkah kita berbangga dengan pertumbuhan ekonomi 7,07 persen ini? Dapatkah indikator laju pertumbuhan ekonomi ini menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat sepenuhnya?

 

Tentu saja selain pertumbuhan ekonomi, kita perlu mempertimbangkan variabel lain, terutama kondisi sosial masyarakat. Dalam sejumlah fakta tercatat bahwa berdasarkan data BPS, jumlah penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 pada Februari 2021 adalah 19,10 juta orang atau sekitar 9,30 persen dari total penduduk usia kerja. Data ini jauh lebih baik dibanding Agustus 2020 di mana ada 29,12 juta penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 (sekitar 14,28 persen).

 

Pada rentang Februari 2020 sampai dengan Februari 2021, terdapat 1,62 juta orang menjadi pengangguran karena COVID-19, sebanyak 0,65 juta orang menjadi bukan angkatan kerja karena COVID-19, 1,11 juta orang statusnya sementara tidak bekerja karena COVID-19, dan 15,72 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja (shorter hour) karena COVID-19.

 

Selain itu, pada tahun 2018 pemerintah sempat menoreh prestasi angka kemiskinan sempat menyentuh 1 digit. Pada awal masa pandemi pada Maret 2020, angka penduduk miskin masih tercatat 1 digit, yaitu sekitar 9,78 persen atau sejumlah 26,42 juta penduduk miskin. Sangat disayangkan efek pandemi ini sungguh nyata; pada Agustus 2020 persentase penduduk miskin meningkat menjadi 10,19 persen (27,55 juta penduduk) dan Maret 2021 persentase penduduk miskin berkurang sedikit menjadi 10,14 persen (27,54 juta penduduk).

 

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada Triwulan II-2021, total kasus COVID-19 adalah sebanyak 666.560 kasus, menurun dibanding Triwulan I-2021 sebanyak 768.514 kasus. Jumlah kematian pun menurun; pada Januari sampai dengan Maret 2021 terdapat 18.720 kematian, sedangkan pada April sampai Juni 2021 terdapat 17.633 kematian.

 

Sayangnya, apabila diperhitungkan antara data COVID-19 pasca akhir Triwulan II-2021, yaitu pada rentang 1 Juli 2021 dengan data per 6 Agustus 2021, kasusnya meningkat lebih dari 100 persen, menjadi 1.429.591 kasus, dengan pasien sembuh sebanyak 1.116.065 dan kematian yang mencapai 45.765 pada rentang waktu 37 hari ini.

 

Catatan pada akhir Juni 2021, Bed Occupancy Rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur untuk layanan rawat inap pasien COVID-19 di Indonesia secara total adalah 74 persen, --provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat menunjukkan angka yang paling mengkhawatirkan, yaitu 92 persen, 91 persen, dan 90 persen. Pada 5 Agustus 2021, BOR COVID mengalami penurunan; persentase secara total adalah 55 persen --ketiga provinsi yang telah disebutkan sebelumnya memiliki BOR COVID di bawah 50 persen. Justru di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, dan DI Yogyakarta persentase BOR COVID-nya menjadi 75 persen ke atas.

 

Tetap Waspada

 

Berdasarkan variabel-variabel di atas, dapat dikatakan bahwa memang pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II-2021 mengalami perbaikan dibanding Triwulan II-2020. Kasus COVID-19 pun masih ada, namun datanya menurun dibanding triwulan sebelumnya.

 

Tetapi, setelah Triwulan II-2021, kasus COVID-19 meningkat dengan tajam, fasilitas kesehatan pun dikabarkan kewalahan karena meningkatnya kasus infeksi ini, tercermin dari tingginya persentase BOR. Terlihat bahwa seiring dengan pergerakan masyarakat yang menandakan ekonomi mulai berjalan, kasus COVID-19 juga ikut meningkat. Sekalipun vaksin terus berjalan, namun adanya varian baru COVID-19 nampaknya kembali menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat kita.

 

Apabila dikaitkan dengan variabel-variabel lain, pertumbuhan ekonomi 7,07 persen patut disyukuri tetapi jangan terbuai dengan euforia pertumbuhan tersebut yang merupakan low-base effect dari pertumbuhan di triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Program pemulihan ekonomi harus tetap berjalan, termasuk PR besar bagi pemerintah agar negara kita memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di mana dampaknya terasa bagi masyarakat.

 

Perlu berbagai strategi untuk menuntaskan masalah pengangguran dan kemiskinan yang meningkat imbas pandemi COVID-19 yang melanda. Begitu pula dalam menghadapi berbagai kemungkinan mutasi virus, diperlukan kebijakan prioritas yang tepat agar tidak banyak lagi masyarakat yang menjadi korban karena nyawa bukan sekadar angka, satu nyawa sangat berharga bagi orang-orang yang ditinggalkan, entah itu orangtua, anak, sahabat, dan orang-orang terkasih lainnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar