Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Tekanan Ganda Guru Honorer

Tamsil Linrung ;  Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Dawan Perwakilan Daerah (DPD) RI

DETIKNEWS, 13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pandemi yang menginfeksi sendi-sendi kehidupan menimbulkan pukulan ganda. Problematika juga dialami para guru honorer. Dituntut beradaptasi dengan metode pembelajaran jarak jauh, berhadapan dengan risiko terinfeksi Covid-19, guru honorer juga disergap nasib tak pasti. Status masih terkatung-katung. Meski saban waktu menyuarakan aspirasi agar diangkat sebagai pegawai negeri.

 

Kisah guru honorer persis yang dialami oleh tenaga medis. Tak kunjung mendapatkan insentif. Tapi berada di garis depan pandemi. Demikian pula triliunan rupiah tunggakan tagihan sejumlah rumah sakit yang belum dibayarkan oleh pemerintah.

 

Guru, tenaga medis dan institusi rumah sakit, berada di front utama perang melawan Covid-19. Jika paramedis dan layanan kesehatan berjuang menyelamatkan nyawa manusia, maka guru bekerja memastikan proses pendidikan tak terhenti. Demi masa depan negeri. Kendati harus bertaruh keselamatan diri.

 

Para guru terpaksa bertatap muka dengan siswa. Pasalnya, jangkauan infrastruktur pembelajaran berbasis teknologi belum merata. Masih timpang di sana sini. Semakin menyedihkan, pembicaraan tentang adaptasi pendidikan di masa pandemi justru didominasi tema perkotaan. Tentang inovasi pembelajaran, metodologi virtual dan berbagai tema yang bias wilayah. Padahal, siswa di daerah dan pelosok butuh perhatian ekstra.

 

Penduduk "di daerah miskin" misalnya, tidak semua memiliki koneksi internet memadai. Bahkan cuma 21%. Sementara di pedesaan secara umum, hanya sekitar 42-48% masyarakat yang memiliki akses ke smartphone dan internet. Kendala utama pembelajaran virtual ini memaksa entitas pendidikan memutar otak. Termasuk menempuh pilihan dilematis. Guru menerobos risiko.

 

Sekolah mungkin diliburkan. Tapi para guru terdesak keadaan menyambangi murid-muridnya secara bergilir. Berinisiatif mengajar dari rumah ke rumah. Itu opsi satu-satunya meretas problem keterbatasan infrastruktur. Agar proses pembelajaran terus berlanjut. Bila cara kolosal tersebut tidak ditempuh, maka pembelajaran mati suri.

 

Implikasi pandemi terhadap dunia pendidikan semestinya menyadarkan para pengampu kebijakan, betapa krusial peran guru. Dalam kondisi infrastruktur pendidikan berbasis teknologi informasi yang timpang, guru faktor determinan.

 

Guru adalah kunci. Guru variabel penentu. Asupan ilmu pengetahuan para peserta didik selama pandemi, bergantung pada guru. Dalam pertemuan tatap muka normal banyak elemen pendukung. Siswa dapat diarahkan belajar mandiri menggunakan fasilitas di sekolah. Hal itu tak mungkin diterapkan dalam pembelajaran terpisah.

 

Dari jutaan guru yang berjibaku menyesuaikan diri dengan metode pembelajaran jarak jauh, lebih dari separuh merupakan guru honorer. Mereka, yang selalu dielu-elukan dalam metafora heroik pahlawan tanpa tanda jasa. Pejuang di garis depan. Sayangnya minim perhatian.

 

Kini, ketika tuntutan pengabdian kian menekan. Saatnya negara memberikan apresiasi setimpal. Yakni sesuai aspirasi para guru honorer. Agar dibukakan kesempatan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Predikat itu punya banyak makna bagi guru. Soko utama pembangunan manusia Indonesia.

 

Ada yang mengabdi hingga 30 tahun. Dimakan usia di depan kelas. Gaji seadanya. Kehidupan pas-pasan. Bahkan cenderung kekurangan.

 

Empat Argumentasi

 

Betapa naif bangsa ini bila membiarkan guru menyandang status yang menggantung. Mengangkat guru honorer menjadi PNS bukan saja bentuk apresiasi atas jasa mereka. Namun juga merefleksikan bagaimana pemerintah menempatkan pendidikan dalam kehidupan berbangsa.

 

Uraian di atas adalah argumentasi kontemporer. Alasan paling aktual dan kontekstual, mengapa aspirasi guru honorer yang telah bertahun-tahun diartikulasikan itu, harus direspons dengan serius. Situasi pandemi membuka tabir tentang acakadut tata kelola guru.

 

Tiga argumentasi lain mengapa aspirasi guru honorer diangkat menjadi PNS harus direalisasikan. Pertama, argumentasi filosofis. Pembatasan usia PNS yang menghalangi peluang guru honorer seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2017 Pasal 23, menyalahi filosofi bangsa.

 

Peraturan mestinya bersenyawa dengan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum. Untaian filosofi itu berangkat dari suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

 

Secara tersurat negara jelas mengamanatkan. Pembukaan UUD menegaskan, mencerdaskan kehidupan bangsa satu tujuan kemerdekaan. Jalan sunyi mencerdaskan kehidupan bangsa, sejak awal ditempuh oleh para guru honorer. Bahkan mereka rela berjibaku menantang aral yang melintang. Seperti situasi yang dihadapi saat ini.

 

Lagipula, secara substansi, para guru honorer mengabdi sebelum berada di jenjang limitasi usia 35 tahun. PP yang membatasi usia PNS untuk guru honorer dapat disimpulkan melenceng dari filosofi bangsa. Tidak mencerminkan spirit yang mendukung agenda mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Kedua, argumentasi sosiologis empiris. Kontribusi dan dedikasi guru honorer di masyarakat terbukti sangat dibutuhkan. Guru honorer berperan krusial di daerah-daerah yang kekurangan tenaga pengajar. Saking besarnya daya dukung guru honorer menopang sistem pendidikan di pelosok negeri, hingga muncul istilah "Pahlawan tanpa tanda jasa".

 

Sosok guru honorer bahkan dipersonifikasi secara musikal dalam lagu bertajuk Oemar Bakri oleh musisi Iwan Fals. Mengisahkan sosok guru yang menjalani pengabdian panjang. Dari tempaan Oemar Bakri, lahir sosok-sosok hebat. Insinyur hingga profesor. Tapi, Sang Oemar Bakri tak jua kunjung mendapatkan kesejahteraan. Ke mana-mana, ia selalu mengayuh sepeda kumbang.

 

Saat ini, jumlah guru di Indonesia sebanyak 3.357.935. Terdiri dari guru yang berstatus PNS 1.607.480, dan non PNS atau honorer 1.750.455. Artinya lebih dari separuh sosok yang saban hari berdiri di depan kelas demi menyambung masa depan negeri, justru mereka yang tak tentu nasibnya.

 

Ketiga, argumentasi yuridis. Uraian-uraian sebelumnya membawa kita pada satu kesimpulan, dibutuhkan payung hukum baru untuk mengakomodir para tenaga honorer tanpa terkecuali. Agar diangkat menjadi PNS. Aturan yang sejalan dengan spirit UUD.

 

Aturan derivatif semestinya mampu mengejawantahkan ketentuan di atasnya. Apalagi menyangkut kepentingan mendasar negara. Cita-cita kemerdekaan. Memajukan dunia pendidikan.

 

Merespons situasi dan aspirasi yang kian deras, pemerintah dituntut menerbitkan aturan baru. Sebagaimana Keppres memberi jalan tenaga medis (perawat/bidan) yang telah lama mengabdi di Puskesmas menjadi PNS.

 

Intervensi langsung Presiden dibutuhkan. Mengingat ada kesan lempar tanggung jawab antarlembaga negara terkait dalam menyikapi tuntutan guru honorer. Mendikbud Ristek dalam beberapa kali rapat, termasuk dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memberikan sinyalemen bakal membuka jalan guru honorer diangkat menjadi PNS melalui kebijakan afirmatif PPPK. Namun lembaga lain tampaknya masih berhitung. Termasuk Badan Kepegawaian Negara yang menimbang soal administratif.

 

Sengkarut komunikasi serta kendala administrasi antara lembaga terkait, rentan menjebak persoalan ini kian berlarut-larut. Sehingga memang perlu ditempuh langkah khusus. Itulah esensi tuntutan para guru honorer. Agar Presiden peka membaca problematika yang membelit, dan segera menerbitkan Perpres.

 

Lagipula, kita dalam suasana bulan kemerdekaan. Momen yang tepat bagi negara memberikan kado terindah untuk para pahlawan di garis depan. 1,7 juta guru honorer. Kado itu bukan hanya jadi kenangan manis oleh mereka yang telah menanti lama, tapi juga bakal tercatat dalam sejarah. Bahwa cita-cita kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan slogan semata. Namun diwujudkan secara nyata.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar