Tekanan
Ganda Guru Honorer Tamsil Linrung ; Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan
Honorer Dawan Perwakilan Daerah (DPD) RI |
DETIKNEWS, 13
Agustus 2021
Pandemi yang
menginfeksi sendi-sendi kehidupan menimbulkan pukulan ganda. Problematika
juga dialami para guru honorer. Dituntut beradaptasi dengan metode
pembelajaran jarak jauh, berhadapan dengan risiko terinfeksi Covid-19, guru
honorer juga disergap nasib tak pasti. Status masih terkatung-katung. Meski
saban waktu menyuarakan aspirasi agar diangkat sebagai pegawai negeri. Kisah guru
honorer persis yang dialami oleh tenaga medis. Tak kunjung mendapatkan
insentif. Tapi berada di garis depan pandemi. Demikian pula triliunan rupiah tunggakan
tagihan sejumlah rumah sakit yang belum dibayarkan oleh pemerintah. Guru, tenaga
medis dan institusi rumah sakit, berada di front utama perang melawan
Covid-19. Jika paramedis dan layanan kesehatan berjuang menyelamatkan nyawa
manusia, maka guru bekerja memastikan proses pendidikan tak terhenti. Demi
masa depan negeri. Kendati harus bertaruh keselamatan diri. Para guru
terpaksa bertatap muka dengan siswa. Pasalnya, jangkauan infrastruktur
pembelajaran berbasis teknologi belum merata. Masih timpang di sana sini.
Semakin menyedihkan, pembicaraan tentang adaptasi pendidikan di masa pandemi
justru didominasi tema perkotaan. Tentang inovasi pembelajaran, metodologi
virtual dan berbagai tema yang bias wilayah. Padahal, siswa di daerah dan
pelosok butuh perhatian ekstra. Penduduk
"di daerah miskin" misalnya, tidak semua memiliki koneksi internet
memadai. Bahkan cuma 21%. Sementara di pedesaan secara umum, hanya sekitar
42-48% masyarakat yang memiliki akses ke smartphone dan internet. Kendala
utama pembelajaran virtual ini memaksa entitas pendidikan memutar otak.
Termasuk menempuh pilihan dilematis. Guru menerobos risiko. Sekolah
mungkin diliburkan. Tapi para guru terdesak keadaan menyambangi
murid-muridnya secara bergilir. Berinisiatif mengajar dari rumah ke rumah.
Itu opsi satu-satunya meretas problem keterbatasan infrastruktur. Agar proses
pembelajaran terus berlanjut. Bila cara kolosal tersebut tidak ditempuh, maka
pembelajaran mati suri. Implikasi
pandemi terhadap dunia pendidikan semestinya menyadarkan para pengampu
kebijakan, betapa krusial peran guru. Dalam kondisi infrastruktur pendidikan
berbasis teknologi informasi yang timpang, guru faktor determinan. Guru adalah
kunci. Guru variabel penentu. Asupan ilmu pengetahuan para peserta didik
selama pandemi, bergantung pada guru. Dalam pertemuan tatap muka normal
banyak elemen pendukung. Siswa dapat diarahkan belajar mandiri menggunakan
fasilitas di sekolah. Hal itu tak mungkin diterapkan dalam pembelajaran
terpisah. Dari jutaan
guru yang berjibaku menyesuaikan diri dengan metode pembelajaran jarak jauh,
lebih dari separuh merupakan guru honorer. Mereka, yang selalu dielu-elukan
dalam metafora heroik pahlawan tanpa tanda jasa. Pejuang di garis depan.
Sayangnya minim perhatian. Kini, ketika
tuntutan pengabdian kian menekan. Saatnya negara memberikan apresiasi
setimpal. Yakni sesuai aspirasi para guru honorer. Agar dibukakan kesempatan
menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Predikat itu punya banyak makna bagi
guru. Soko utama pembangunan manusia Indonesia. Ada yang
mengabdi hingga 30 tahun. Dimakan usia di depan kelas. Gaji seadanya.
Kehidupan pas-pasan. Bahkan cenderung kekurangan. Empat Argumentasi Betapa naif
bangsa ini bila membiarkan guru menyandang status yang menggantung.
Mengangkat guru honorer menjadi PNS bukan saja bentuk apresiasi atas jasa
mereka. Namun juga merefleksikan bagaimana pemerintah menempatkan pendidikan
dalam kehidupan berbangsa. Uraian di atas
adalah argumentasi kontemporer. Alasan paling aktual dan kontekstual, mengapa
aspirasi guru honorer yang telah bertahun-tahun diartikulasikan itu, harus
direspons dengan serius. Situasi pandemi membuka tabir tentang acakadut tata
kelola guru. Tiga
argumentasi lain mengapa aspirasi guru honorer diangkat menjadi PNS harus
direalisasikan. Pertama, argumentasi filosofis. Pembatasan usia PNS yang
menghalangi peluang guru honorer seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah
No.11 Tahun 2017 Pasal 23, menyalahi filosofi bangsa. Peraturan
mestinya bersenyawa dengan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum.
Untaian filosofi itu berangkat dari suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Secara
tersurat negara jelas mengamanatkan. Pembukaan UUD menegaskan, mencerdaskan
kehidupan bangsa satu tujuan kemerdekaan. Jalan sunyi mencerdaskan kehidupan
bangsa, sejak awal ditempuh oleh para guru honorer. Bahkan mereka rela
berjibaku menantang aral yang melintang. Seperti situasi yang dihadapi saat
ini. Lagipula,
secara substansi, para guru honorer mengabdi sebelum berada di jenjang
limitasi usia 35 tahun. PP yang membatasi usia PNS untuk guru honorer dapat
disimpulkan melenceng dari filosofi bangsa. Tidak mencerminkan spirit yang
mendukung agenda mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua,
argumentasi sosiologis empiris. Kontribusi dan dedikasi guru honorer di
masyarakat terbukti sangat dibutuhkan. Guru honorer berperan krusial di
daerah-daerah yang kekurangan tenaga pengajar. Saking besarnya daya dukung
guru honorer menopang sistem pendidikan di pelosok negeri, hingga muncul
istilah "Pahlawan tanpa tanda jasa". Sosok guru
honorer bahkan dipersonifikasi secara musikal dalam lagu bertajuk Oemar Bakri
oleh musisi Iwan Fals. Mengisahkan sosok guru yang menjalani pengabdian
panjang. Dari tempaan Oemar Bakri, lahir sosok-sosok hebat. Insinyur hingga
profesor. Tapi, Sang Oemar Bakri tak jua kunjung mendapatkan kesejahteraan.
Ke mana-mana, ia selalu mengayuh sepeda kumbang. Saat ini,
jumlah guru di Indonesia sebanyak 3.357.935. Terdiri dari guru yang berstatus
PNS 1.607.480, dan non PNS atau honorer 1.750.455. Artinya lebih dari separuh
sosok yang saban hari berdiri di depan kelas demi menyambung masa depan
negeri, justru mereka yang tak tentu nasibnya. Ketiga,
argumentasi yuridis. Uraian-uraian sebelumnya membawa kita pada satu
kesimpulan, dibutuhkan payung hukum baru untuk mengakomodir para tenaga
honorer tanpa terkecuali. Agar diangkat menjadi PNS. Aturan yang sejalan
dengan spirit UUD. Aturan
derivatif semestinya mampu mengejawantahkan ketentuan di atasnya. Apalagi
menyangkut kepentingan mendasar negara. Cita-cita kemerdekaan. Memajukan
dunia pendidikan. Merespons
situasi dan aspirasi yang kian deras, pemerintah dituntut menerbitkan aturan
baru. Sebagaimana Keppres memberi jalan tenaga medis (perawat/bidan) yang
telah lama mengabdi di Puskesmas menjadi PNS. Intervensi
langsung Presiden dibutuhkan. Mengingat ada kesan lempar tanggung jawab
antarlembaga negara terkait dalam menyikapi tuntutan guru honorer. Mendikbud
Ristek dalam beberapa kali rapat, termasuk dengan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) memberikan sinyalemen bakal membuka jalan guru honorer diangkat menjadi
PNS melalui kebijakan afirmatif PPPK. Namun lembaga lain tampaknya masih
berhitung. Termasuk Badan Kepegawaian Negara yang menimbang soal
administratif. Sengkarut
komunikasi serta kendala administrasi antara lembaga terkait, rentan menjebak
persoalan ini kian berlarut-larut. Sehingga memang perlu ditempuh langkah
khusus. Itulah esensi tuntutan para guru honorer. Agar Presiden peka membaca
problematika yang membelit, dan segera menerbitkan Perpres. Lagipula, kita
dalam suasana bulan kemerdekaan. Momen yang tepat bagi negara memberikan kado
terindah untuk para pahlawan di garis depan. 1,7 juta guru honorer. Kado itu
bukan hanya jadi kenangan manis oleh mereka yang telah menanti lama, tapi
juga bakal tercatat dalam sejarah. Bahwa cita-cita kemerdekaan, mencerdaskan
kehidupan bangsa bukan slogan semata. Namun diwujudkan secara nyata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar