Rabu, 18 Agustus 2021

 

Uni Afrika untuk Palestina atau Israel

AM Sidqi ;  Diplomat RI di Riyadh

KOMPAS, 16 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sebuah ironi mengejutkan datang dari Afrika. Pada 22 Juli 2021, Israel mendapatkan status observer (pengamat) di Uni Afrika. Menlu Israel menyebut status observer di Uni Afrika ini merupakan hari kemenangan diplomasi Israel di Afrika. Ini sekaligus menyempurnakan slogan mantan PM Israel Netanyahu, ”Israel akan kembali ke Afrika, dan Afrika akan kembali ke Israel”.

 

Padahal pada KTT ke-34, Februari 2021, Uni Afrika (UA) menerbitkan deklarasi menyatakan dukungan atas perjuangan kemerdekaan Palestina. Bahkan ketika Israel menggempur Palestina pada Mei 2021, Ketua Komisi Afrika, Moussa Faki Mahamat dari Chad juga mengecam keras Israel dan menegaskan dukungan AU untuk kemerdekaan Palestina. Sebelumnya pada KTT ke-32 AU (2019), Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyerukan kepada negara-negara Afrika untuk mendukung Palestina dan memboikot Israel. Namun kenyataan hari ini, AU justru menerima Israel dengan tangan terbuka.

 

Mengapa ironi ini bisa terjadi? Dan apa dampaknya terhadap Palestina?

 

Politik pengakuan dan aliansi pinggiran

 

Ketika Organisasi Persatuan Afrika (Organization of Africa Unity/OAU) bereinkarnasi menjadi Uni Afrika pada 2002, keinginan Israel menjadi observer diboikot oleh pemimpin Libya Moammar Khadafy. Berkebalikan dengan OAU yang memberikan status observer kepada Israel, UA justru bersimpati atas perjuangan kemerdekaan Palestina dan memberikan kursi observer sejak Palestina pada 2013. Bahkan sejalan dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), UA secara konsisten menyatakan keprihatinan atas penjajahan Israel terhadap tanah Palestina serta menyebut Israel melanggar hukum internasional dan penyebab konflik di kawasan.

 

Jika kita lihat lebih jauh, upaya Israel di Afrika bukan seumur jagung. Afrika telah menjadi prioritas kebijakan luar negeri bahkan sejak Israel dibentuk. Tidak terbantahkan lagi, Israel memiliki kepentingan geostrategis yang sangat besar di Kawasan Tanduk Afrika karena kedekatannya dengan pintu masuk menuju Israel di Laut Merah. Israel juga memiliki kepentingan ekonomi di Benua Afrika sebagai pasar negara berkembang dan sumber bahan baku bagi industri Israel.

 

Namun yang tak kalah penting, politik pengakuan menjadi tujuan utama Israel di Afrika. Sistem voting pada hampir semua organisasi internasional menghargai satu negara untuk satu suara. Dengan demikian, adalah pilihan kebijakan yang sangat rasional bagi Israel, mengupayakan panen dukungan (vote) dari negara-negara Afrika dibandingkan negara tetangga Arab yang memusuhi.

 

Proklamator sekaligus PM Israel pertama, Ben-Gurion, mencetuskan doktrin ”Aliansi Pinggiran” (Alliance of the Periphery), yaitu aliansi strategis dengan negara Muslim non-Arab dalam rangka mempertahankan eksistensi Israel di tengah gempuran koalisi negara-negara Arab pada tahun 1950-1960-an.

 

Pada masa itu, Israel mendekati Iran, Turki, dan kelompok Kurdi di Irak. Israel juga mendekati Indonesia dengan memberikan pengakuan kemerdekaan Indonesia tahun 1950 dan bermaksud membuka misi diplomatik di Jakarta, tetapi ditanggapi dingin oleh Hatta yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri RI.

 

Direspons dingin di Asia, Aliansi Pinggiran justru direspons antusias di negara-negara Afrika. Pada 1950-an, Israel berhasil menjalin hubungan strategis dengan Kaisar Etiopia, Haile Selassie. Tahun 1960-an, Israel mensponsori pemberontakan Sudan Selatan mengakibatkan perang saudara terpanjang di Afrika antara Sudan vs Sudan Selatan.

 

Tidak heran ketika Sudan Selatan memisahkan diri pada tahun 2011, Israel adalah salah satu negara pertama yang mengakui negara Sudan Selatan. Israel juga berperan penting menyokong naiknya Idi Amin sebagai diktator Uganda pada 1970-an.

 

Namun, ketika Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan pasca-Perang Enam Hari tahun 1967, Israel mulai dipandang sebagai negara penjajah, dan hubungan Israel-Afrika merenggang. Pasca perang Israel-Arab pada 1973, banyak negara sub-Sahara memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan beralih ke aliansi pro-Arab.

 

Sebagai PM Israel terlama (2009-2021), Netanyahu memiliki kesempatan panjang untuk membangun kembali poros Israel-Afrika. Netanyahu tercatat sebagai PM Israel paling sering mengunjungi negara-negara Afrika. Dalam kurun waktu dua tahun (2016-2017), Netanyahu melakukan tiga kali kunjungan ke negara-negara Afrika, antara lain Chad, Etiopia, Eritrea, Rwanda, Uganda, Kenya, dan Liberia.

 

Pada kunjungannya ke Kenya (2016), Netanyahu juga mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Tanzania, Uganda, Zambia, Rwanda, Togo, Botswana, Namibia dan Etiopia, serta Nigeria. Di Liberia (2017), Netanyahu menyampaikan slogan ”Israel akan kembali ke Afrika, dan Afrika akan kembali ke Israel”. Netanyahu gencar merayu negara-negara Afrika untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan ke Jerusalem sebagaimana langkah Amerika Serikat.

 

Pada saat yang sama, kemesraan Israel-Afrika dipermanis dengan rilisnya film-film di Netflix, seperti The Angel (2018), The Red Sea Diving Resort (2019), dan Spy (2019) yang berkisah tentang humanisme-heroik agen inteligen di Afrika dan Arab.

 

Hasilnya tidak main-main. Kini, Israel memiliki hubungan diplomatik dengan 43 negara dari 55 negara Afrika (78 persen) dan membuka 14 kantor kedutaan di Benua Afrika, termasuk di Addis Ababa tempat markas AU berada. Pembukaan hubungan diplomatik Israel dengan Sudan dan Maroko (2020) serta status observer di AU (2021) menjadi gong keberhasilan penjangkauan Israel ke Afrika.

 

AU membelah OKI

 

Status observer Israel di AU diprediksi juga akan membelah tubuh OKI, organisasi internasional yang didirikan tahun 1969, karena nasib Palestina. Hampir separuh (27 dari 57 negara) anggota OKI berada di Afrika dan 18 negara OKI-Afrika telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

 

Pasca agresi Israel ke Palestina pada Mei 2021, sejumlah negara anggota OKI, termasuk Indonesia, memotori resolusi tentang kondisi kesehatan Palestina pada World Health Assembly (sesi ke-74, 25 Mei 2021) dan resolusi penghormatan HAM di Palestina pada Dewan HAM PBB (resolution S-30/1, 27 Mei 2021).

 

Meskipun dua resolusi tersebut disepakati oleh mayoritas negara anggota, tercatat peningkatan vote menolak (againts) dan abstain dari sejumlah negara-negara Afrika yang juga anggota OKI, seperti Kamerun, Benin, Chad, Pantai Gading, Komoro, Gabon, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Nigeria, Somalia, Sudan, dan Togo. Selain menjadi bukti menguatnya dukungan Afrika untuk Israel, penolakan resolusi tentang Palestina dari negara-negara Afrika-OKI ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kesepakatan OKI, bahkan dapat memecah-belah semangat solidaritas OKI.

 

Pada KTT OKI ke-14 di Mekkah, 31 Mei 2019, para raja dan pemimpin negara anggota OKI bersepakat bahwa setiap anggota OKI wajib mendukung Palestina dan Al-Quds Al-Sharif dalam setiap voting resolusi di organisasi internasional mana pun (Resolusi No 1/14-Pal (IS)). Kesepakatan para pemimpin OKI tersebut diulangi dan dipertegas oleh resolusi tingkat Menlu OKI Nomor 1/47-Pal dengan menyatakan bahwa Israel, kekuatan penjajah, tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan posisi di PBB dan organisasi internasional lainnya; karena dengan nyata melanggar dan mengabaikan berbagai hukum internasional.

 

Pengakuan organisasi internasional pada Israel akan mendorong dan meningkatkan kepercayaan diri Israel untuk melanjutkan kebijakan kolonialnya berupa perluasan permukiman ilegal, diskriminasi rasial, agresi militer, dan pembersihan etnis di Palestina. Dengan mendapat status observer di UA, misalnya, Israel berharap akan memiliki hak istimewa untuk mengamati dan mendorong agenda Israel pada UA, serta memperluas keterlibatan diplomatiknya di Afrika.

 

Peran Indonesia

 

Indonesia selalu tegak lurus mendukung dan aktif menjadi motor solidaritas internasional untuk perjuangan kemerdekaan Palestina, baik pada level bilateral, regional, maupun multilateral. Namun, mencermati hubungan mesra Israel dengan sejumlah negara-negara Afrika dewasa ini dan keberhasilan Israel mendapatkan status observer di AU, tampaknya kita patut mengantisipasi konstelasi baru di UA, OKI, dan organ-organ PBB terkait Palestina.

 

Terlebih lagi, pada November 2021, jabatan Sekjen OKI akan berpindah dari kawasan Arab (Arab Saudi) ke kawasan Afrika (Chad), yaitu dijabat oleh Hissein Brahim Taha (mantan Menlu Chad). Dengan demikian, Chad akan menjabat Ketua Komisi UA dan Sekjen OKI pada saat yang bersamaan. Di sisi lain, Chad adalah salah satu sekutu dekat Israel di Afrika.

 

Indonesia adalah pendiri OKI sejak tahun 1969 dan berstatus observer pada UA sejak tahun 2012. Sebagai observer, Indonesia tentu tidak memiliki hak suara di UA, tetapi Indonesia bisa berperan penting dalam menggalang dan mengokohkan solidaritas OKI di Afrika, mengingat setengah anggota UA adalah anggota OKI (27 dari 55 negara).

 

Salah satu cara mempengaruhi keputusan UA adalah dengan menyampaikan keberatan atas status observer dari negara anggota UA-OKI kepada Ketua Komisi UA yang kini dijabat Chad. Dengan demikian, Ketua Komisi AU aware akan adanya keberatan dari banyak negara anggota terkait status observer Israel tersebut, sekaligus menegaskan posisi UA dan OKI pada isu Palestina.

 

Akhirnya, dukungan perjuangan kemerdekaan Palestina tidak cukup diupayakan pada level regional di Timur Tengah semata. Meningkatnya pengaruh Israel di Afrika justru semakin menguatkan Afrika sebagai faktor kunci yang signifikan dalam menentukan masa depan nasib Palestina. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/uni-afrika-untuk-palestina-atau-israel

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar