Rabu, 18 Agustus 2021

 

Mengawal Kualitas Hakim

Andreas Eno Tirtakusuma ;  Dosen Tetap Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila

KOMPAS, 16 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ada dua artikel menarik yang dimuat harian Kompas. Pertama ditulis dengan judul Dilema Kekuasaan Kehakiman (Kompas, 19/7/2021), kedua berjudul Independensi atau Anomali Yudisial (Kompas, 4/8/2021). Kedua artikel menyoal praktik diskon putusan, khususnya dalam kasus-kasus korupsi, bahkan artikel kedua juga merinci kasus korupsi apa saja yang didiskon dan berapa diskon hukumannya.

 

Hanya saja artikel pertama lebih membahas adanya independensi hakim, sebagai kekuasaan yang sakral berbanding hakim sebagai manusia yang hidupnya dipengaruhi banyak kepentingan, keinginan, dan lingkungan sekitarnya (hakim tidak imun dan hidup di ruang hampa). Fenomena ini membawa pada misteri apakah hakim (sang pengadil) benar-benar mengambil putusan sebagai orang yang suci atau dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada hidupnya. Pelanggaran etika hakim yang ditemukan tidak akan menyebabkan putusannya dapat dirubah sehingga diskon hukuman dalam putusannya tetap dapat dinikmati terdakwa.

 

Pada artikel kedua, penulis mengamini Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan menilai apalagi mengoreksi putusan hakim. Diskon hukuman sering diberikan oleh hakim agung, yang adalah centre of excellence dan core of the core dari dunia pengadilan tetapi kualitas putusannya berbanding terbalik dengan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat serta teori hukum dan keadilan. Disinggung fungsi Komisi Yudisial sebagai penjaga marwah, martabat dan kehormatan hakim agar dapat dioptimalkan perannya dalam menyeleksi hakim agung.

 

Kebetulan saat ini Komisi Yudisial sedang menyeleksi calon hakim agung. Tetapi menghasilkan hakim agung yang kompeten, profesional, berintegritas, dan bermoral yang bertanggung jawab kepada dirinya, agamanya, bangsanya, dan Tuhannya bukan hanya ada pada pundak Komisi Yudisial. Ada cerita tentang hakim yang memulai karir dengan penuh idealisme, tetapi idealismenya rontok karena tercemar perbuatan koruptif setelah lama bertugas. Hasil seleksi calon hakim yang ketat sekali pun belum tentu dapat menjamin kualitas hakim.

 

Hakim dituntut menghasilkan putusan yang berkualitas. Putusan hakim ibarat mahkotanya. Putusan berkualitas akan memuliakan profesi hakim. Untuk mewujudkan kualitas hakim dalam putusannya, setidaknya perlu adanya pemahaman yang sama dan niat bersama dengan penegak hukum lainnya untuk mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya, selain perlu juga dibina kemampuan dan tanggung jawab hakim dalam menerapkan hukum.

 

Dalam perkara pidana, putusan hakim didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan (Pasal 182 KUHAP). Surat dakwaan adalah produk yang dibuat penuntut umum sebagai tindak lanjut hasil penyidikan. Apabila dalam dakwaan hanya menguraikan perbuatan suap, karena dari tahap penyidikan hanya disangkakan dengan pasal suap (yang hanya dapat dipidana badan dan denda), membuat hakim tidak dapat memutusnya sebagai perbuatan korupsi kerugian keuangan negara (yang dapat dipidana mati apabila perbuatan dilakukan dalam keadaan tertentu), sekalipun masyarakat ramai menghendakinya.

 

Di sisi lain, hakim lazim menginterpretasi apakah unsur perbuatan menurut pasal yang didakwakan telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa. Hakim memang harus berdasar pada tekstual ketentuan undang-undang dan menjadikannya sebagai titik tolak untuk mengadili, tetapi tidak sebagai titik akhir. Hakim perlu memberikan arti tekstual suatu ketentuan undang-undang dalam putusannya, yang dilakukan dengan cara menginterpretasikannya.

 

Interpretasi

 

Praktiknya, ada berbagai metode interpretasi (gramatikal, historikal, sistematikal, teleologikal ,dan sosiologikal, perbandingan hukum/komparatif dan futuristis). Persoalannya, beda metode akan beda pula tafsiran yang dihasilkan. Padahal tidak ada aturan yang menentukan metode mana yang harus digunakan oleh hakim dalam peristiwa konkret tertentu. Tidak ada pula ketentuan yang mengatur urutan hirarkikal metode-metode tersebut.

 

Pembentuk undang-undang pun tidak memprioritaskan metode tertentu sehingga terbuka kemungkinan hakim akan memilih metode berdasarkan apa yang paling meyakinkan menurut dirinya sendiri, yang belum tentu dirasa cocok oleh praktisi hukum lain atau pun pencari keadilan. Kemungkinan ini dapat menyebabkan mengapa putusan-putusan pengadilan rentan dianggap inkonsisten, kontroversial, dan memancing reaksi yang berbeda-beda dari masyarakat.

 

Kebebasan hakim memilih metode interpretasi menjadi salah satu wujud independensi yudisial. Sepakat dengan pendapat bahwa independensi tanpa tanggung jawab adalah tirani dan kezaliman yang nyata. Independensi dan akuntabilitas yudisial harus dijalankan bersamaan karena keduanya ibarat dua sisi dari koin yang sama, yang tidak mungkin dipisahkan.

 

Pelaksanaan pertanggungjawaban hakim dapat dilakukan dalam bentuk kewajiban motivering. Dalam putusan, motivering ada pada bagian pertimbangan hukum. Dari pertimbangan hukum tersebut dapat diketahui motivasi yang melatarbelakangi amar putusan. Kewajiban ini sudah diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Sedemikian pentingnya sehingga Mahkamah Agung menyebut tidak diberikannya pertimbangan hukum yang memuat alasan-alasan putusan pengadilan dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzuim), ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1974.

 

Menurut Pontier, kewajiban motivering berkaitan dengan transparansi sehingga putusan menjadi terbuka untuk pengawasan, harus meyakinkan dan memberikan prespektif bagi akseptasi (penerimaan, aanvaardbaar-heid) putusan tersebut. Motivering juga berfungsi untuk yustifikasi (pembenaran, rechtsvaardiging) putusan terhadap para pihak berperkara, terhadap “forum hukum” (forum iuridica) dan terhadap masyarakat. Putusan yang bermutu pasti tidak akan terlepas dari praktik motivering.

 

Masyarakat cenderung menilai putusan hakim hanya dari amar. Yang dilihat hanyalah diskon hukuman, tetapi alasan-alasan hakim untuk sampai pada amar demikian luput dari sorotan. Menilai putusan hakim semata-mata dari amarnya ibarat menilai buku dari sampulnya saja.

 

Perlu ada edukasi bersama tentang praktik motivering dalam setiap putusan hakim. Edukasi masyarakat akan mengarahkan bagian mana dari putusan yang harus diteliti dalam mengkritisi kualitas putusan. Demikian juga dunia pendidikan hukum berperan dalam pengajaran, pelatihan dan diskusi tentang praktik motivering. Bila kelak mahasiswanya menjadi hakim, akan sudah mahir sehingga putusannya benar-benar berkualitas selaras dengan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat serta teori hukum dan keadilan.

 

Dari uraian ini, semua pemangku kepentingan dalam dunia peradilan memiliki peranan dan masing-masing bertanggung jawab menjaga marwah, martabat dan kehormatan hakim. Hal ini tidak semata-mata menjadi fungsi Komisi Yudisial. Dengan saling membahu satu sama lain di antara pemangku kepentingan, impian masyarakat akan peradilan agung pasti dapat terwujud. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/mengawal-kualitas-hakim

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar