Rabu, 18 Agustus 2021

 

Indonesia dan Perdamaian dengan Jepang

FX Widiarso ;  Diplomat dan Sejarawan

KOMPAS, 17 Agustus 2021

 

 

                                                           

Perjanjian damai dengan Jepang menjadi salah satu perhatian politisi Indonesia sejak awal 1950. Sejak Januari 1950, beberapa politikus Indonesia telah mengusulkan agar Indonesia menjadi bagian dari pihak yang merundingkan perjanjian tersebut karena korban jiwa massal dan kerugian material yang terjadi sewaktu Jepang menduduki Indonesia.

 

Mereka mengingatkan pemerintah bahwa di masa depan Jepang akan sangat berarti bagi Indonesia karena posisi penting Jepang di Timur Jauh. Pemerintah  menyadari bahwa perjanjian itu akan memperkuat posisi internasional Indonesia dan mencoba untuk mendapatkan ganti rugi sebesar 8 miliar dollar AS untuk kerugian materi dari Jepang.

 

Untuk melaksanakan kebijakan ini, Kabinet Hatta memutuskan membentuk Misi Tetap kepada Panglima Tertinggi Sekutu di Tokyo dan mengirimkan surat kepada Jenderal Douglas MacArthur pada 5 Juli 1950. Menanggapi surat Hatta, MacArthur menyetujui  pembentukan Kantor Perwakilan RI untuk Sekutu pada  4 Agustus 1950.

 

Meski demikian, rencana Hatta hanya dapat dilaksanakan pada masa Kabinet Sukiman. Pada 28 Mei 1951, kabinet memutuskan mengirim misi di bawah seorang duta besar tetap ke Jepang di bawah Sudjono. Sudjono adalah mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri pada masa jabatan pertama Ahmad Subardjo sebagai Menteri Luar Negeri pada 1945.

 

Sehubungan dengan misi Sudjono, kabinet juga memutuskan mengirim misi lain ke San Francisco pada 24 Juli 1951 untuk merundingkan perjanjian damai dengan Jepang. Misi ini dipimpin Menteri Luar Negeri Soebardjo dan terdiri dari 10 orang, termasuk lima diplomat senior.

 

Menyadari sensitifnya masalah perjanjian ini bagi politik internal Indonesia serta hubungan Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya, Sukiman mengadakan pertemuan khusus untuk membahas keputusan Indonesia untuk menandatangani Perjanjian San Francisco pada  7 September 1951. Rapat khusus tersebut memutuskan untuk mengirimkan surat kepada PM Nehru, yang berisi penyesalannya bahwa dalam perjanjian damai dengan Jepang, Indonesia tidak dapat sejalan dengan India dan Burma.

 

Pada akhirnya, kabinet memutuskan bahwa Indonesia harus menandatangani Traktat San Francisco atau Traktat Perdamaian dengan Jepang pada 8 September 1951 meskipun Indonesia masih memiliki keberatan tentang Pasal 14 tentang kemampuan Jepang untuk melakukan pembayaran pampasan perang. Pasal 14 tersebut berbunyi sebagai berikut:

 

”Jepang bersedia membayar pampasan kepada Sekutu atas kerusakan dan penderitaan yang diakibatkannya selama perang. Meski demikian, diakui bahwa sumber daya Jepang saat ini tidak cukup, jika ingin mempertahankan ekonomi yang layak, kalau harus mengganti semua kerusakan dan penderitaan tersebut dan pada saat yang sama memenuhi kewajiban-kewajiban yang lain.

 

Oleh karena itu, Jepang akan segera mengadakan negosiasi dengan Sekutu yang menginginkan diadakannya negosiasi, yang wilayahnya diduduki oleh pasukan Jepang dan dirusak oleh Jepang, dengan maksud untuk membantu memberikan kompensasi kepada negara-negara tersebut atas biaya perbaikan kerusakan yang terjadi, dengan menyediakan jasa-jasa dari rakyat Jepang dalam produksi, penyelamatan dan pekerjaan lain untuk yang bersangkutan dengan Sekutu.”

 

Keputusan kabinet Sukiman ini ditentang oleh partai oposisi. Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui sayap pemudanya, Pemuda Rakyat, mengkritik penandatanganan perjanjian itu. Mereka menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah menolak kebijakan independennya sendiri dan menganggapnya sebagai ancaman bagi solidaritas Asia, karena India dan Burma menolak undangan ke San Francisco dan memutuskan untuk tidak menandatangani perjanjian itu. Lebih lanjut organisasi itu menyerukan penolakan ratifikasi perjanjian di parlemen.

 

Partai Murba juga menolak perjanjian dengan dasar yang sama dengan PKI, karena rancangan perjanjian itu hanya dibuat oleh Amerika Serikat dan Inggris tanpa partisipasi Uni Soviet dan China, seperti yang diamanatkan oleh PBB. Lebih lanjut Murba menyatakan bahwa sekarang Jepang telah menjadi bagian dari sekutu dekat AS di Pasifik dan digunakan oleh AS sebagai salah satu pangkalan militer penting, yang tidak akan melayani perdamaian dunia.

 

Partai Islam PSII juga tidak setuju dengan kebijakan kabinet karena Indonesia tidak pernah menyatakan perang kepada Jepang dan mendesak pemerintah untuk membuat perjanjian tersendiri dengan Jepang. Mitra koalisi Masyumi, PNI, awalnya menolak perjanjian itu, tetapi setelah menderita kekalahan dalam pemungutan suara kabinet memutuskan untuk mendukung posisi pemerintah. Penolakan PNI ini tidak sesuai dengan pandangan salah satu tokoh PNI, Ali Sastroamidjojo, yang turut serta mendukung perundingan dalam posisinya sebagai Dubes RI di Washington DC.

 

Kabinet bereaksi terhadap oposisi ini dengan membentuk misi lain untuk merundingkan perjanjian bilateral terutama untuk membahas secara komprehensif pampasan perang dengan Jepang, berdasarkan Pasal 14 Perjanjian San Francisco pada 12 Desember 1951. Misi kali ini dipimpin Menteri Perhubungan Djuanda dan terdiri dari birokrat dan anggota parlemen. Dalam kelanjutan perundingan dengan Jepang ini, antara 22 Desember 1951 dan 18 Januari 1952, dan didukung oleh AS, Indonesia terus mempersoalkan Pasal 14 Traktat San Francisco.

 

Kabinet baru di bawah Wilopo (PNI), bagaimanapun, memiliki kebijakan yang berbeda mengenai perjanjian damai dengan Jepang. Wilopo terutama ingin lebih dahulu menenangi oposisi dari parlemen. Akibatnya, kabinet memutuskan untuk menunda pengesahan perjanjian, menghentikan perundingan dengan Jepang, memanggil kembali Duta Besar Sudjono, dan menurunkan tingkat Perwakilan RI di Tokyo menjadi Konsulat Jenderal RI.

 

Untuk negosiasi dengan Jepang, pada 19 Juni 1953 kabinet memutuskan membentuk panitia ad hoc untuk menyelidiki masalah pampasan perang dengan cermat. Panitia ad hoc ini diketuai Sudarsono, mantan Duta Besar untuk India dan Kepala Direktorat Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri, dan terdiri dari pejabat beberapa kementerian dan juga anggota parlemen, termasuk Sunario, yang akan menjadi Menteri Luar Negeri pada kabinet berikutnya.

 

Sejalan dengan kebijakan kabinet Wilopo, PNI menyatakan di parlemen bahwa telah menolak Traktat San Francisco. Selain itu, mereka juga mendukung rencana pemerintah menurunkan status kantor perwakilan di Tokyo menjadi konsulat jenderal karena Indonesia belum memberikan pengakuan resmi kepada Jepang.

 

Posisi baru PNI ini didukung oleh Parkindo (Partai Kristen Indonesia), yang selalu menjadi bagian dari koalisi, tetapi menyarankan pemerintah untuk menunda semua perjanjian dengan Jepang, dan Indonesia tidak boleh membuka pos perwakilannya di Tokyo sampai Jepang menjadi anggota PBB.

 

Kebijakan Wilopo atas Jepang dilanjutkan oleh Ali Sastroamidjojo. Dalam pidato pertamanya di depan parlemen pada 25 Agustus 1953, ia menyatakan bahwa pemerintah akan berusaha membangun hubungan normal dengan Jepang sesegera mungkin dengan mengganti Perjanjian San Francisco dengan perjanjian bilateral. Untuk melanjutkan perundingan dengan Jepang, Ali mengutus Menlu Sunario dan Sudarsono, sebagai ketua delegasi ke Tokyo.

 

Namun, perundingan itu menemui jalan buntu karena sengketa besaran pampasan perang. Selain itu, negosiasi tersebut diwarnai dengan skandal, yakni Sudarsono dituding mendorong Kementerian Keuangan untuk memberikan persetujuan mengenai pendirian Bank Indonesia-Jepang tanpa persetujuan Menteri Luar Negeri Sunario. Akibatnya, Sudarsono dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Direktorat Asia Pasifik dan sebagai kepala delegasi perundingan dengan Jepang.

 

Pada akhirnya Indonesia berhasil membuat perjanjian tersendiri dengan Jepang, yang ditandatangani pada 20 Januari 1958 oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio. Kesepakatan mengenai besarnya pampasan perang disepakati dalam pasal 4 perjanjian tersebut, yaitu sebesar 223.080.000 dollar AS. Jumlah tersebut akan diangsur dalam dollar AS sampai dengan tahun ke-11 dan akan dilunasi dalam tahun yang ke-12.

 

Dari pampasan perang Jepang tersebut, Indonesia berhasil membangun proyek-proyek besar, di antaranya Monas, Gelora Bung Karno, Gedung Sarinah, dan Hotel Indonesia. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/indonesia-dan-perdamaian-dengan-jepang

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar