Tumbuh
2 D Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 10
Agustus 2021
BARU sekarang saya tahu:
mengapa di sekitar Lebaran lalu PSBB dilonggarkan selonggar-longgarnya. Sampai tempat rekreasi
seperti Ancol kebanjiran turis lokal. Sampai beredar foto viral di medsos
pantai Ancol padat manusia. "Ini akan bisa seperti India," komentar
di medsos saat itu. Prihatin. Ngeri. Kebayanglah apa yang belum lama terjadi
di India. Ketika ratusan ribu orang melakukan ritual terjun ke sungai Gangga. Lalu terjadilah gelombang
kedua Covid-19 di sana. Pandemi gelombang dua itu begitu hebat. Sampai nama
virusnya pun menakutkan: varian India –sebelum akhirnya nama itu diubah
menjadi varian D. Mengapa saat itu PSBB
dilonggarkan? Saya membayangkan: seandainya saya presiden, apakah saya
juga akan melonggarkan PSBB? Jawabnya bisa ''iya'' dan
bisa ''tidak''. Pak Jokowi, sebagai
presiden, kelihatannya juga berada di tengah-tengah: mudik dilarang tapi
pulang kampung boleh. Hasil pelonggaran PSBB
saat itu terlihat sekarang: pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 menjadi
positif. Bahkan positifnya sangat tinggi. Mengejutkan banyak orang:
7,07 persen. Itu kalau dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu: minus
5,32 persen. Siapa pun yang menjadi
pemerintah saat Lebaran itu pasti berpikir keras: bagaimana menyelamatkan
wajah ekonomi Indonesia. Yang sudah 4 kali kuartal tumbuh negatif.
Berturut-turut. Negatif dua kali saja
sudah dikategorikan resesi. Apalagi sudah 4 kali. Data itu akan hidup abadi:
Indonesia tumbuh negatif 4 kali kuartal. Benar-benar bahaya. Tidak boleh lima
kali. "Apa pun risikonya," mungkin begitu jalan pikiran pembuat
skenario. Tentu tidak terbayangkan
kenyataan yang terjadi melampaui apa yang diskenariokan. Sampai
nggegirisi: pernah sehari angka penderita Covid kita mencapai 50.000; angka
kematian 2.000. Sampai kita beberapa kali menjadi rekor dunia. Itu juga akan dicatat
sebagai data abadi. Di bidang kesehatan. Kini pemerintah tentu lega:
ekonomi tumbuh 7,07 persen. Cukup tinggi. Stigma selalu negatif pun hilang. Pertumbuhan ekonomi, di
masa pandemi, ternyata bisa disetel. Tergantung order: mau negatif atau
positif. Maka setiap kali melihat
ada PPKM baru baiknya kita hubungkan dengan pertumbuhan ekonomi. Lebih
tepatnya ke soal penyelamatan wajah. Mungkin sudah bisa jadi
pola: PPKM tingkat berapa yang akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi berapa
persen. Jadi, kuartal III nanti
positif atau negatif? Yang bukan ekonom mungkin sudah mulai bisa ikut-ikutan
meramal –lewat pemberlakuan level PPKM. Saya sungkan untuk ikut
bergembira merayakan pertumbuhan tinggi itu. Yakni sungkan kepada keluarga
korban yang meninggal dunia. Begitu banyak teman saya yang meninggal. Yang
kaya raya (punya banyak Ferrari), yang miskin (loper koran), yang profesor
(ahli kebidanan), dan banyak lagi. Tapi saya juga tidak
ikut-ikutan mencela pertumbuhan 7,07 persen itu. Memang ada yang bilang 7,07
persen itu kecil sekali. Terutama bila dibanding negara lain seperti Singapura
(14 persen), India (17 persen), dan banyak lagi yang pertumbuhannya belasan
persen. Bagi saya bisa tumbuh 7,07
persen saya syukuri –secara diam-diam. Jangan sampai kedengaran keluarga
korban Covid-19. Pertumbuhan tinggi itu
disamping dari pergerakan masyarakat, juga berkat belanja negara. Pengeluaran negara memang
lebih besar di kuartal itu. Memang, di saat ekonomi lemah negara harus banyak
belanja –kalau punya uang. Jadi, kegiatan mengecet ulang pesawat kepresidenan
pun perlu dilakukan. Jangan ikut teori pakar
kelirumonologi Jaya Suprana. Yang dalam keadaan krisis kita harus prihatin.
Jangan menghamburkan dana. Pak Jaya Suprana belakangan tampak jauh lebih
sehat dibanding lima tahun lalu. Jaya Suprana berteori
–secara canda– bahwa harusnya pemerintah lebih berhemat. Instead of mengecat
pesawat, seharusnya pemerintah justru harus mengerok habis cat di pesawat
kepresidenan itu. Agar pesawat lebih ringan –bisa lebih hemat bahan bakar.
(Dahlan Iskan) ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar