Anomali
Ekonomi Pandemi: Pertumbuhan versus Kematian Anthony Budiawan ; Managing Director Political Economy and
Policy Studies (PEPS) |
WATYUTINK, 9
Agustus 2021
Pertumbuhan
ekonomi kuartal II (Q2) 2021 sebesar 7,07 persen, dibandingkan Q2/2020.
Seperti diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Agustus yang lalu. Pada
waktu bersamaan, banyak orang merasa ekonomi sedang sulit. Terutama kelompok
menengah bawah. Penghasilan
harian turun. Bahkan hilang. Berjualan dibatasi. Ada yang didenda sampai Rp5
juta karena dianggap melanggar ketentuan pemberlakukan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM). Ada yang rela dipenjara karena tidak bisa bayar denda
tersebut. Bahkan ada yang coba bunuh diri. Seperti ketua harian Asosiasi Kafe
dan Restoran pada 4 Agustus 2021. Satu hari menjelang pengumuman BPS. Sehingga
tidak heran masyarakat menyambut pengumuman BPS dengan sinis. Mencibir.
Bahkan ada yang menuduh datanya tidak benar. Karena fakta di lapangan hanya
ada jeritan masyarakat menengah bawah. Bukan hingar bingar pertumbuhan.
Tetapi, tekanan ekonomi yang sangat berat. Pemerintah
saat ini bukan hanya membatasi aktivitas sosial masyarakat. Tetapi juga
membatasi kegiatan ekonomi masyarakat, terutama kelompok usaha kecil dan
mikro, UKM. Aktivitas berdagang terhambat dan dihambat. Banyak yang
kehilangan mata pencaharian, kehilangan penghasilan. Pemerintah sepertinya
juga tidak banyak membantu. Seperti
itu realitas kehidupan yang dihadapi masyarakat sejak awal Juli 2021. Sejak
diberlakukan PPKM Darurat yang kini mempunyai varian level. Di
lain sisi, pertumbuhan ekonomi 7,07 persen ini seharusnya tidak perlu
dicurigai. Hal ini sangat mungkin. Karena dibandingkan dengan ekonomi pada Q2
tahun lalu yang sangat rendah. Setelah anjlok 5,32 persen. Pertumbuhan
relatif tinggi ini bukan hanya milik Indonesia. Banyak negara maju bahkan
mencatat pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih spektakuler. Yang dalam keadaan
normal tidak mungkin dapat tercapai. Tetapi, dalam kondisi tidak normal,
menjadi mungkin. Karena, ekonomi dalam kondisi tidak normal bisa menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang juga tidak normal (tingginya). Kondisi
dan resesi ekonomi di masa pandemi adalah kondisi tidak normal. Ekonomi
mengalami penurunan tajam. Karena itu, ekonomi dapat melonjak di masa
pemulihan. Misalnya,
Singapore mencatat pertumbuhan ekonomi 14,3 persen pada Q2/2021 ini terhadap
Q2/2020. Hal ini bisa terjadi karena Q2 tahun lalu ekonomi Singapore anjlok
tajam: minus 13,3 persen. Kalau dalam kondisi normal, pertumbuhan 14,3 persen
ini mustahil dapat tercapai. Selanjutnya,
Amerika Serikat tumbuh 12,2 persen, Jerman 9,2 persen, Peranciis 18,7 persen,
Italia 17,3 persen, Spanyol 19,8 persen. Jadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia
7,07 persen terlihat sangat rendah. Yang
menjadi pertanyaan, bagaimana Indonesia, dan negara-negara tersebut di atas,
mencapai pertumbuhan ekonomi itu? Indonesia
terlihat jelas mengejar pertumbuhan ekonomi di masa pandemi ini. Memberi
prioritas jauh di atas kesehatan. Dengan cara melonggarkan pembatasan sosial
sebelum waktunya. Padahal tingkat penularan (positivity rate) masih tinggi.
Khususnya pada Q2/2021. Mengundang masyarakat belanja lebaran (di tanah
abang), membuka tempat wisata dan aktivitas ekonomi selebar-lebarnya.
Terutama menjelang, dan pada saat liburan lebaran Mei lalu. Yang mana
menciptakan kerumunan dan klaster Covid-19, demi mengangkat pertumbuhan
ekonomi. Hasilnya
bisa dilihat sekarang. Sangat mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Kasus baru terinfeksi harian naik
tajam, menduduki peringkat satu dunia sejak 21 Juni 2021. Kasus kematian
Covid-19 juga melonjak. Kasus kematian per 1 juta penduduk menjadi tertinggi
dunia sejak 23 Juni 2021, sampai sekarang. Lebih tinggi dari India, Amerika
Serikat atau Inggris. Sepanjang
Q2/2021, kasus positif Indonesia bertambah 43,5 persen. Jauh lebih tinggi
dari negara-negara tersebut di atas yang berhasil meraih pertumbuhan ekonomi
jauh lebih tinggi dari Indonesia. Kasus baru harian Singapore hanya bertambah
3,6 persen. Amerika Serikat 10,5 persen, Italia, Jerman, Perancis dan Spanyol
masing-masing bertambah 18,1 persen, 31,4 persem, 22,7 persen dan 16 persen.
jauh lebih rendah dari Indonesia. Sepanjang
Juli 2021, satu bulan setelah Q2/2021 berakhir, kasus baru positif harian
Indonesia bertambah 57,9 persen. Sedangkan negara tersebut di atas sangat
rendah. Tertinggi Spanyol dengan penambahan kasus baru harian 16,8 persen dan
Perancis 6 persen. Negara lainnya jauh lebih rendah dari itu. Untuk
kasus kematian lebih menyedihkan lagi. Sepanjang Q2/2021 kasus kematian
covid-19 Indonesia bertambah 43,2 persen. Negara lainnya jauh lebih rendah.
Singapore hanya 20 persen, Amerika Serikat 9,5 persen, Italia, Jerman,
Perancis dan Spanyol masing-masing bertambah 16,1 persen, 18,7 persen, 15,8
persen dan 7,2 persen. Sepanjang
Juli 2021, kasus kematian Covid-19 Indonesia bertambah 63,7 persen dari akhir
Juni 2021. Sangat tinggi. Negara lain bisa menekan angka kematian Covid-19 di
bawah 1 persen. Kecuali singapore dan Amerika Serikat. Masing-masing
bertambah 2,8 persen dan 1,4 persen. Data
di atas menunjukkan, pengendalian pandemi dan kesehatan yang baik akan
membuahkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Sebaliknya,
mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kesehatan akan membuat
pandemi tidak terkendali. Mangakibatkan pertumbuhan ekonomi kembali tertekan,
menyusul PPKM sejak 3 Juli 2021. Pada akhirnya, kelompok masyarakat bawah
yang paling menanggung kesulitan ini. Selain
itu, pembatasan sosial yang setengah hati membuat kasus baru harian akan
sulit turun. Kecuali manipulatif. Dengan memainkan jumlah test dan komposisi
test antara PCR versus antigen. Semoga
kegagalan pengendalian pandemi ini dapat menjadi pembelajaran. Semoga para
pejabat mulai serius memikirkan bagaimana mengendalikan pandemi Covid-19
sebaik-baiknya: pertumbuhan ekonomi akan datang dengan sendirinya, kalau
pandemi terkendali dengan baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar