Peran
Petani Milenial Wujudkan Ketahanan Pangan Nasional Chandra Bagus Sulistyo ; AVP Government Program – BNI Divisi Bisnis
Usaha Kecil dan Program; Staf Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Islam
Lamongan (Unisla) |
KOMPAS, 13 Agustus 2021
Pemerintah
terus berupaya menjaga ketahanan pangan nasional di tengah pandemi Covid-19.
Ada kekhawatiran munculnya krisis pangan karena penerapan pembatasan
aktivitas produksi masyarakat, hingga pembatasan distribusi barang antar
negara. Akibatnya, distribusi pangan antar daerah atau wilayah hingga antar
negara menjadi terganggu. Di
satu sisi, kebutuhan pangan Indonesia cukup tinggi, selain karena tiap hari
manusia harus mengkonsumsi makanan, juga disebabkan jumlah penduduk Indonesia
sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah diharap mampu mandiri memenuhi
kebutuhan pangan nasional meski di tengah pandemi. Kondisi
terganggunya masalah pangan saat pandemi mulai terlihat pada indeks ketahanan
pangan Indonesia yang terkontraksi. Berdasar data Global Food Security Index
2020 posisi Indonesia bergeser dari urutan 62 menjadi 65 dari total 113
negara, bandingkan dengan negara tetangga, yaitu Singapura (posisi 20),
Malaysia (43), Thailand (51), dan Vietnam (63). Turunnya posisi Indonesia
dalam indeks tersebut mencerminkan adanya permasalahan ketahanan pangan
nasional kita. Kalau
merujuk data-data sektor pertanian di tahun 2020, sebenarnya kondisi sektor
pertanian unjuk gigi terhadap peningkatan kinerjanya. Sektor pemenang yang
disematkan pada sektor pertanian saat pandemi bukan isapan jempol semata.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun 2020 mencapai
54,65 juta ton atau naik 0,08 persen dibanding tahun sebelumnya, meski luas lahan
panen menurun dari 10,68 juta ha (2019) menjadi 10,66 juta ha (2020). Begitu
pun dengan kinerja ekspor pertanian yang positif, tercatat dari kinerja
neraca perdagangan hasil pertanian dengan surplus 10 milyar dollar AS (BPS,
2018). Selain itu, kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto
(PDB) tiap tahun kian bertambah, dimana pada tahun 2016 sebesar Rp 936,6
triliun, pada 2017 sebesar Rp 969,8 triliun (2017), dan pada 2018 sebesar Rp
1.005,4 triliun (Kementan, 2020). Untuk
mewujudkan ketahanan pangan, sektor pertanian harusnya tidak bisa lagi
menggunakan cara-cara lama tradisional, sifatnya rutinitas, hanya berdasar
insting, bekerja secara sendiri-sendiri, dan penggunaan alat tradisional.
Jika hal itu terus dilakukan, sampai kapan pun pertanian Indonesia tidak akan
mampu bersaing dengan negara-negara tertangga (seperti Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Kamboja) yang melibatkan teknologi dalam mengembangkan sektor
pertaniannya secara kuntitas dan kualitas. Perlunya
kreativitas dan inovasi di sektor pertanian nasional agar mampu bergerak
secara produksi masal dan korporasi besar yang melibatkan infrastruktur dan
teknologi. Salah satu solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah
melalui mekanisasi pertanian modern untuk mempercepat pengolahan tanah, tanam
dan panen yang melibatkan petani milenial. Urgensi petani milenial Oleh
karena itu, agar kreativitas dan inovasi di sektor pertanian dapat berjalan
optimal, maka perlu mengikutsertakan petani milenial. Karena bicara inovasi
yang menggunakan pemanfaatan teknologi di dalamnya, perlu melibatkan peran
para milenial secara intensif. Penulis
terngiang apa yang dikatakan Bapak Bangsa Bung Karno, "…beri aku 10
pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia". Di sini terlihat, pemuda
mempunyai peran penting dalam dalam menginisiasi serta mewarnai peradaban,
termasuk di dalamnya kondisi sektor pertanian nasional yang harus bangkit dan
tumbuh besar. Logikanya, petani muda perlu menjadi subyek dalam ekosistem
pertanian nasional. Milenial harus mampu menjadi pemain kunci (keyplayer)
dalam ekosistem pertanian dari hulu hingga hilir. Diharapkan,
para milenial tidak hanya sebagai petani, tetapi juga berperan menjadi
aggregator, offtaker, bahkan memainkan peran penting sebagai CEO
korporasi-korporasi petani yang ada di daerahnya masing-masing. Milenial
harus menginspirasi entitas pertanian, agar melakukan perubahan
cara/tools/teknik/metode dalam ekosistem pertanian. Dengan demikian,
diharapkan program millennial smartfarming mampu optimal menjadi motor
penggerak dalam memajukan sektor pertanian Indonesia. Smartfarming
merupakan pertanian dengan ciri pemanfaatan teknologi artificial
intelligence, robot, internet of things, drone, blockchain, dan big data
analitic untuk menghasilkan produk unggul, presisi, efisien, dan
berkelanjutan. Penggunaan teknologi industri 4.0 mutlak diperlukan untuk
kondisi saat ini, karena sudah menjadi tuntutan obyektif yang harus dilakukan
petani agar tidak terjebak pada pola dan cara-cara lama yang kurang produktif
sehingga mengebiri produktivitas pertanian nasional. Adapun
maksud smartfarming dapat dijadikan tools ekosistem pertanian dari hulu
hingga hilir. Smartfarming merupakan transformasi digital di sektor
pertanian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi digital yang dapat
di-mapping menjadi beberapa aktivitas. Ini dapat diklasifikasikan menjadi,
pertama, on farm, yang diidentifikasi dengan pertanian presisi (precision
farming), dimulai dengan menghasilkan benih unggul berbasis bioinformatics,
pengendalian hama terpadu secara cerdas dengan artificial intelligence,
pemupukan presisi, penggunaan smart tractor, penyemaian bibit atau benih
dengan robot, dan sebagainya. Kedua,
off farm. Ciri-cirinya tidak saja dengan agroindustri cerdas, melainkan juga
melibatkan sistem logistik pertanian digital. Teknologi blockchain kini mulai
diaplikasikan untuk menjamin transparansi dan traceability aliran produk
pertanian sehingga para pelaku hulu-hilir bisa saling mengontrol. Saat ini
pelaku hulu dalam posisi lemah karena informasi yang asimetris. Ke depan,
informasi akan simetris dan pelaku ekosistem pertanian hulu-hilir akan lebih
setara. Ketiga,
pemasaran digital dan konsumen cerdas yang melek digital akan mewarnai
konsumen masa depan. Pola pemasaran tidak lagi konvensional seperti dulu
lagi, tetapi akan berbasis platform, sekarang pun kita mulai merasakannya.
Konsumen produk pertanian akan menggunakan platform melalui telepon pintar
dalam membeli produk baik untuk memilih produk atau menelusuri asal usul dari
produk yang diproduksi. Akses pembiayaan digital Kendala
minimnya peran milenial yang terlibat di sektor pertanian adalah karena
sektor ini dipersepsikan sebagai sektor yang cuan-nya kurang menarik,
tergolong pekerjaan orang tua dan kuno, serta dianggap merupakan jenis
pekerjaan yang tidak prospektif. Para milenial lebih tertarik pada cara-cara
instan, style pekerjaan modern, dan menjanjikan banyak keuntungan dalam kurun
waktu cepat. Oleh karena itu, persoalannya sekarang ialah bagaimana mengubah
paradigma milenial terhadap asumsi-asumsi skeptis terkait sektor pertanian,
salah satunya yaitu melalui program millennial smartfarming. Program
millennial smartfarming akan membuka paradigma para milenial yang ada. Sektor
pertanian saat ini sangatlah prospektif dan merupakan sektor yang sangat
menjanjikan. Petani milenial seyogyanya merupakan lokal champion di
daerahnya. Mereka dapat mengembangkan potensi pertanian di desanya dan tidak
harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaaan baru, karena jika ingin
mendapatkan cuan cukuplah terjun ke sektor pertanian. Contoh-contoh cerita
sukses pengelolaan sektor pertanian oleh petani milenial Nusantara yang
menjadi inspirasi antara lain di Bogor terdapat pertanian tanaman hias
orietansi ekspor, Klaten untuk tanaman organiknya, Malang di komoditas bawang,
Madiun komoditas porang, Bali komoditas sayur-mayur. Perbankan
kian getol mendukung sektor pertanian ini dengan pemberian akses kredit yang
mudah bagi milenial melalui digitalisasi. Skema kredit disesuaikan dengan
model bisnis pertanian serta dengan memperhatikan alur dari ekosistem
pertanian. Sistem
pengembalian pembiayaan dapat berupa dengan bayar pascapanen (yarnen) untuk
alternatif pengembalian pokok pembiayaan. Tak berlebihan jika skema dan
digitalisasi pembiayaan ini menarik minat petani milennial pada khususnya dan
pelaku sektor pertanian pada umumnya. Untuk
sektor pertanian, menurut Sistem Manajemen Investasi (SMI) Ditjen
Perbendaharaan Kementerian Keuangan pada tahun 2020 dari alokasi Rp 50
triliun, realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian sekitar Rp 55 triliun.
Tahun 2021 alokasi KUR pertanian sebesar Rp 70 triliun. Dan realisasi KUR
sektor pertanian berdasarkan data per tanggal 25 Juli 2021 serapan KUR
pertanian sebesar Rp 42,7 triliun. Oleh
karena itu, millennial smartfarming harus menjadi frame sektor pertanian
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Adapun ruang lingkup millennial
smartfarming agar efektif membangun sektor pertanian menjadi lebih baik. Pertama,
diperlukan petani milenial yang mempunyai kreativitas dan inovasi untuk
perbaikan di sektor pertanian. Pertanian modern melibatkan teknologi untuk
mekanisasi peningkatan produktivitas pertanian. Maka solusinya adalah
dibutuhkan petani-petani milenial yang mau berkreasi dan berinovasi serta
mampu melek teknologi, serta tentu mau mewarnai sektor pertanian Indonesia
menjadi lebih baik. Kedua,
dibutuhkan banyak social technopreneur yang berperan mengembangkan teknologi
dalam membantu atau memberi solusi terkait masalah rendahnya produktivitas
petani konvensional. Harapannya, social technopreneur akan dapat meningkatkan
produktivitas petani melalui teknologi baik itu untuk mengetahui saat yang
tepat dalam menanam benih atau pun untuk mengetahui unsur hara tanah sehingga
pemupukan akan lebih efektif dan tepat guna yang ujungnya berdampak pada
biaya bercocok tanam menjadi lebih efisiensi. Ketiga,
dukungan semua pihak baik itu Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan lainnya dalam memberikan
pemberdayaan, pembinaan, kelengkapan infrastruktur yang memadai, serta
dukungan inovasi anak negeri agar sektor pertanian Indonesia maju, modern,
dan mandiri. Agar dukungan dan sinergi bersama dapat terealisasi dengan baik,
maka tiap kementerian/lembaga/instansi harus ditempeli Key Performance Indicator
(KPI) agar peran masing-masing pihak terlihat konkret dalam sinergi bersama
tersebut. KPI
dari tiap kementerian/lembaga/instansi akan menjadi acuan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan bersama. Dengan begitu, harapannya program millennial
smartfarming benar-benar dapat mewujudkan sektor pertanian yang lebih baik
serta menciptakan ketahanan pangan nasional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar