Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Organisasi Riset untuk Kelola Sumber Daya Perairan Darat

Ignasius DA Sutapa ;  Direktur Eksekutif APCE–UNESCO C2C; Wakil Ketua Komite Nasional IHP Indonesia; Profesor Bidang Teknik Lingkungan LIPI

KOMPAS, 13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tidak dapat dimungkiri sebagai negara kepulauan yang berada di wilayah khatulistiwa, Indonesia memiliki nilai dan posisi strategis secara geografis, geopolitik, ekonomis, dan sumber daya alam. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 tersebar dari Sabang sampai Merauke, Indonesia menjadi negara dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia sekitar 95.181 kilometer (KKP, 2019).

 

Posisi alami yang unik ini memungkinkan wilayah Nusantara berkelimpahan dengan sumber daya alam hayati dan nirhayati baik di darat dan perairannya maupun di laut. Perairan darat di bumi pertiwi ini sangat luas, yaitu sekitar 13.85 juta hektar yang terdiri atas sungai, rawa, paparan banjir, danau, situ, ranu, dan bendungan (Kartamiharja dkk., 2009).

 

Ekosistem perairan darat mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologis, ekonomis, dan sosial. Habitat perairan darat merupakan tempat hidup dan berkembang biak berbagai jenis biota akuatik mulai dari yang berukuran kecil seperti bakteri, plankton, benthos hingga yang berukuran besar seperti ikan, udang, kepiting.

 

Fungsi ekonomis mencakup dukungan terhadap sektor air minum dan sanitasi, perikanan, pertanian, kehutanan, energi, industri, transportasi, dan pariwisata. Sementara itu, sektor pendidikan, olahraga, rekreasi, budaya, dan keagamaan merupakan beberapa contoh kontribusi dari fungsi sosial perairan darat.

 

Potensi nilai ekonomi dari sumber daya perairan darat diperkirakan dapat mencapai ratusan hingga ribuan triliun rupiah per tahun. Beberapa contoh di antaranya penyediaan 100 persen akses air minum aman memerlukan anggaran sebesar Rp 143 triliun per tahun (PUPR, 2021); pengelolaan sarana dan prasarana sumber daya air senilai Rp 40,6 triliun per tahun (PUPR, 2020); produksi perikanan tangkap di perairan umum senilai Rp 12,72 triliun per tahun (BPS, 2018); produksi perikanan budidaya senilai Rp 66,55 triliun per tahun (Bappenas, 2011); pembangkit listrik tenaga air kapasitas 7.358.400 MWh per tahun setara dengan 1,92 miliar dollar AS  per tahun (ESDM, 2014); estimasi belanja bidang irigasi pertanian sebesar 9.935 juta dollar AS per tahun (PPSI, 2018).

 

Besarnya potensi yang dapat disumbangkan kepada perekonomian nasional dari sumber daya perairan darat, menuntut perhatian yang semakin tinggi dari semua pemangku kepentingan untuk mengelolanya dengan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa posisi geografis di jalur khatulistiwa menjadikan wilayah Nusantara sangat peka terhadap perubahan yang terjadi dan cenderung menyebabkan penurunan kondisi atau degradasi lingkungan dari aspek kualitas ataupun kuantitasnya.

 

Selain tekanan pemanfaatan melalui aktivitas antropogenik seperti pencemaran, perubahan fungsi lahan serta eksploitasi sumber daya alam, fenomena perubahan iklim global turut berkontribusi dalam perubahan ekosistem dan lingkungannya. Kondisi tersebut sering diperparah oleh meningkatnya frekuensi bencana yang melanda seperti banjir, longsor, gempa bumi, maupun cuaca yang sangat ekstrem.

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.441 kejadian bencana sejak Januari sampai dengan Juni 2021 yang terdiri atas: banjir (599 kejadian), puting beliung (398 kejadian), tanah longsor (293 kejadian), dan kebakaran hutan (108 kejadian). Kerugian yang ditimbulkan berupa korban jiwa meninggal dunia, hilang, luka-luka, serta harus mengungsi. Sementara kerugian material di antaranya kerusakan rumah, fasilitas umum, perkantoran dan sarana jalan dan saluran irigasi.

 

Dalam upaya untuk mengelola dan mengatasi permasalahan terkait sumber daya perairan darat, Indonesia dapat mengacu pada platform program bersama yang disebut sebagai Intergovernmental Hydrological Program (IHP) yang ditetapkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO, dan terbagi dalam beberapa fase. Periode 2014–2021 merupakan fase VIII dari IHP yang memuat tema utama ”Water Security: Responses to Local, Regional dan Global Challenges”.

 

Ekohidrologi merupakan ilmu transdisiplin yang mengintegrasikan aspek hidrologi, ekologi, ekoteknologi, dan budaya menjadi salah satu tema penting dalam fase VIII. Program ini menjadi salah satu pilar utama yang mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs 2030) melalui pencapaian beberapa target di antaranya: (6) memastikan ketersediaan dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua; (13) mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya; (15) melindungi, memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem darat, hutan, memerangi desertifikasi, dan menghentikan dan membalikkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Beberapa target yang terkait adalah: (2) mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan; (7) memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan modern bagi semua.

 

Kompleksitas permasalahan sumber daya perairan darat yang multidimensional menyebabkan berbagai pemangku kepentingan menaruh perhatian yang semakin besar. Beberapa kementerian di antaranya Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kementan, Kementerian ESDM, Kemenkes, Kemendikbudristek, Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi, Kemendagri, Kemenhub, dan Kemenparekraf; juga sejumlah lembaga pemerintah non-kementerian, seperti LIPI, BPPT, BIG, BMKG, BATAN, BNPB, BRGM, dan BSN terlibat secara langsung ataupun tidak langsung terkait pengelolaan sumber daya tersebut. Demikian juga pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga desa, perguruan tinggi, sekolah, pihak swasta, dan masyarakat turut memberikan andil, baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya.

 

Terlepas dari kontribusi yang telah diberikan oleh berbagai pihak tersebut, sumber daya perairan darat yang menjadi penopang penting bagi katahanan air, pangan, dan energi nasional terus mengalami degradasi yang semakin intensif. Kebijakan yang diambil dalam bebagai level cenderung bersifat sektoral, sinkroniasi, dan koordinasi yang lemah, serta orientasi pemenuhan kebutuhan jangka pendek dapat semakin memperburuk kondisi sumber daya perairan darat di Tanah Air. Kondisi ini perlu segera diantisipasi dengan berbagai langkah kebijakan terintegrasi, tindakan operasional terukur dan komprehensif, koordinasi antarpihak yang kohesif inklusif serta didukung oleh riset, pengembangan dan inovasi di dalam koridor pembangunan berkelanjutan.

 

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Presiden telah membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN. Hal ini merupakan wujud komitmen dan kepedulian pemerintah dalam mendukung perkembangan dunia riset dan inovasi untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Sesuai Perpres Nomor 33/2021, Kepala BRIN membawahkan sekretariat utama, beberapa kedeputian dan organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (OPL) atau yang disebut sebagai organisasi riset.

 

Kesempatan yang sangat berharga perlu diikuti dengan melakukan konsolidasi, revitalisasi program dan kegiatan riset serta inovasi terkait permasalahan, serta pengelolaan sumber daya perairan darat di Indonesia. Organisasi riset terkait pengelolaan sumber daya perairan darat (OR ekohidrologi) perlu dibentuk tersendiri mengingat cakupan permasalahan dan dampaknya terhadap pembangunan nasional.

 

Organisasi riset ini akan menjadi wadah aktivitas penelitian dan pengembangan yang memayungi semua pemangku kepentingan yang selama ini tersebar di berbagai kementerian dan lembaga. Platform program riset lintas disiplin ilmu, terintegrasi secara komprehensif, mampu memecahkan permasalahan nasional dan dapat menjadi rujukan global perlu dipersiapkan.

 

Platform internasional Program IHP UNESCO dapat menjadi dasar pertimbangan dalam mengidentifikasi permasalahan, cara pendekatan serta menyusun program dan kegiatan riset dan inovasi yang diperlukan. Cakupan kegiatan riset dan inovasi di bawah OR Sumber Daya Parairan Darat (OR ekohidrologi) dapat diwadahi dalam unit riset sesuai kebutuhan saat ini, yaitu (1) Pusat Riset Sungai dan DAS; (2) Pusat Riset Danau dan Reservoir; (3) Pusat Riset Sosio-Hidrologi; (4) Pusat Riset Perikanan Darat; (6) Pusat Riset Air Cerdas Pertanian (6) Pusat Riset Pengolahan Air Minum dan Sanitasi (7) Pusat Riset Pengolahan Limbah Cair (8) Pusat Riset Pengelolaan Dampak Lingkungan; (9) Pusat Riset Rawa dan Gambut (10) Pusat Riset Geohidrologi dan Air Tanah; (11) Pusat Riset Resiko Dampak Bencana Keairan dan Perubahan Iklim.

 

Pemutakhiran informasi dan isu-isu strategis terkait sumberdaya perairan darat perlu terus dilakukan sesuai dengan perkembangan permasalahan dan kebutuhan yang ada di lapangan dalam scope lokal, regional, dan global. Peran Indonesia di panggung internasional akan sangat penting artinya dan perlu dikuatkan dalam mengatasai permasalahan sumberdaya perairan darat nasional dan internasional sebagai bagian dari science diplomacy.

 

Selain sharing ilmu, pengalaman, dan sumber daya, permasalahan utama sumber daya perairan darat di Indoensia dapat diselesaikan melalui kerja sama dan sekaligus menjadi perhatian negara-negara lain di dunia. Dengan konsolidasi program dan kegiatan riset di bawah BRIN ini, pengelolaan sumber daya perairan darat di Indonesia diharapkan dapat dilakukan secara lebih terukur, komprehensif dan berkelanjutan, serta dapat menopang kebijakan pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan nasional di sektor ekonomi, sosial dan kebudayaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar