Pandemik:
Kebudayaan Senjata Pamungkasnya! Erros Djarot ; Budayawan |
WATYUTINK, 11
Agustus 2021
Ketika
seruan memerangi Covid-19 menjadi begitu merasuk ke dalam benak para
penguasa, sepertinya gambaran perang yang dikomandoi oleh seorang panglima
tempur merupakan imaji yang berkembang dalam pikiran mereka. Maka seorang
pensiunan jenderal yang sudah kenyang bertugas di medan tempur pun, ditunjuk
untuk melaksanakan tugas ini. Pilihan jatuh kepada Jenderal Purnawirawan
Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Dengan
sigap sang Panglima ‘tempur’ pun mengatur barisan dan mendesain pola dan
gerak pertempuran dalam konteks tugas memerangi Covid-19 sebagai musuh yang
harus dibasmi. Beberapa aturan yang memberlakukan pengamanan wilayah agar
ruang gerak ‘musuh’ dibatasi, diterapkan dengan ketat. Sangsi bagi para
pelanggar aturan pun ditegakkan. Rakyat serta merta diposisikan sebagai ‘para
prajurit’ yang harus tunduk pada aturan. Semua wajib terlibat aktif di medan
pertempuran perang melawan Covid-19 berikut turunan hasil mutasinya. Rakyat
Indonesia yang super baik dan selalu taat pada penguasa, dengan ‘sukarela’
setengah terpaksa menaatinya dan cukup aktif berpartisipasi melakukan
tindakan pengamanan wilayah. Tentunya sesuai anjuran agar duduk manis di
rumah dan berhenti kelayapan tanpa tujuan dan keperluan yang mendesak. Hal
ini dilakukan masyarakat dengan penuh kepatuhan pada dua minggu pertama
diturunkannya perintah oleh panglima tempur agar mematuhi mengikuti aturan
dan tatalaksana Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Namun,
ketika pada minggu berikut diperpanjang dan PPKM diulur setiap minggu hingga
kurun waktu tak menentu (???), rakyat yang disulap menjadi ‘tentara
partikelir’’ pun mulai gelisah. Mereka yang diperintah untuk ‘maju perang’
tanpa bekal senjata dan logistik yang memadai, mulai resah dan menggerutu
berjamaah. Sementara sang Panglima perang yang tidak secara langsung
merasakan penderitaan para pengais rejeki harian untuk menghidupi keluarga
hari perhari lewat jual tenaga atau dagangannya, tampak enteng-enteng saja
mengeluarkan perintah. Luar biasanya, rakyat tetap bertahan patuh dalam kesabaran
yang luar biasa tingginya, sekalipun tanpa adanya kepastian dan jaminan bahwa
hari esok mereka akan melihat hadirnya titik terang. Nah,
pertanyaan yang muncul; sampai kapan mereka mampu patuh dan turut perintah
ketika suatu saat panggilan perut menjadi tuntutan paling utama. Tentunya
situasi yang demikian ini sangat ditunggu oleh kelompok yang sudah jenuh
terhadap kepemimpinan Jokowi. Situasi kritis ini pun sangat kondusif untuk
dimainkan sebagai amunisi politik. Memanaskan situasi dan meninggikan gelombang
kebencian pada pemerintah, dengan sendirinya akan semakin membesar dan
melebar peluangnya. Celakanya
bila di kalangan penguasa masih mempercayai bahwa pemberlakuan PPKM adalah
solusi untuk mengakhiri penyebaran virus Covid-19. Pengetatan larangn fisik yang
ruang dan waktu keberhasilannya akan sangat terbatas, sangat delusional bila
pemberlakuan PPKM diposisikan sebagai jalan keluar utama yang bakal berdampak
panjang apalagi permanen terhadap upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Mencegah kerusakan lebih meluas (containing the damage programme) secara
fisik memang merupakan wilayahnya
permainan para petinggi militer. Karenanya pembatasan gerak fisik dan
larangan memasuki wilayah rawan, merupakan hal yang tertanam dalam benak
mereka sebagai hal yang pertama harus dilakukan. Celakanya
pola pikir demikian ini tetap diberlakukan ketika musuh yang dihadapi adalah
musuh yang tak berwujud, tak kasat mata, dan tak berbau. Tak mungkin dibidik
dan dibunuh dengan senjata berkaliber apapun. Walaupun sejuta tentara disiapkan
untuk maju menumpas, akan percuma dan sia-sia. Karena penyebaran virus ini
sangat erat hubungannya dengan perilaku, gaya, cara, dan budaya manusia
menjalankan hidup kesehariannya. Dalam kaitan ini, peran dan posisi kualitas
kebudayaan masyarakat menempati posisi yang super strategis. Oleh karenanya,
pendekatan yang serba militer minded, merupakan pendekatan yang keliru dan
gagal paham terhadap inti permasalahan.
Dalam
kaitan ini seorang Menteri Kebudayaan yang paham akan fungsi jabatannya, akan super aktif melakukan
tindakan pencegahan dan perlawanan terhadap serbuan virus Covid-19. Minimal
dengan menggelar berbagai program yang bisa meningkatkan kualitas kebudayaan
masyarakat. Tentunya tingkat kualitas yang berkaitan dengan pola pikir dan
perilaku masyarakat yang lebih rasional dan sadar akan ancaman bahaya yang
serius (Virus COVID-19). Salah satunya dengan upaya mendorong kesadaran akan
betapa kaya peninggalan ramuan para leluhur sebagai produk temuan lokal
jenius yang berabad digunakan para nenek moyang kita dalam meningkatkan daya
tahan tubuh dan sejenisnya. Hendaklah
dipahami bahwa yang kita hadapi (bahaya pandemi) sangat terkait erat dengan
masalah kualitas kebudayaan kita sebagai masyarakat bangsa. Seperti bagaimana menjelaskan bahwa dalam situasi
pandemik yang memprihatinkan ini masih banyak manusia Indonesia yang saling
serang, saling caci maki, giat menebar kebencian, dan menutup mata bahwa
virus Covid-19 adalah realita. Dalam keadaan yang memprihatinkan ini,
bukannya bersatu padu bergotong royong membentengi diri secara bersama saling
jaga dan saling bantu, tapi yang diperlebar justru otak segregatif, dengan
memperlebar garis demarkasi antara ‘KAMI’ dan ‘MEREKA’ sambil secara intens
meniadakan ruang bagi kata ‘KITA’!. Nah
gambaran semua ini hendaknya dipahami oleh para penguasa penyelenggara negara
bahwa KEBUDAYAAN merupakan benteng sangat strategis dan menjadi yang utama
(senjata pamungkas) ketika hubungan
pandemik dan kualitas manusia sangat erat dan kait mengait secara kuat dalam
upaya mencegah penyebaran COVID-19 secara terarah, tertata, berketahanan, dan
berkelanjutan. Jadi
kesimpulannya, dalam perang melawan virus Covid-19 tidak diperlukan turunnya
seorang Jenderal perang (fisik) ke medan laga. Tapi seorang Menteri
Kebudayaan yang tahu akan fungsi dan tugasnya lebih diperlukan untuk
menyudahi pertempuran yang digelar
sia-sia lewat kebijakan PPKM seperti yang diberlakukan belakangan ini.
Bukan berarti PPKM sama sekali tak berguna. Dampak positif sesaat yang
dihasilkan pastilah terasa. Tapi bermimpi mengharap dapat membuahkan hasil
yang berketahanan dan berkelanjutan. Hanya layak terjadi dalam pemikiran
seseorang yang tenggelam dalam dunia fantasi terlalu jauh. Tapi
yah… lain halnya bila KEBUDAYAAN dipahami hanya sebatas tari menari, bernyanyi’,
bermusik dan berbusana ria, yah monggo saja. Saya pun menjadi hanya bisa
memberi ucapan… selamat kerja keras Pak Jenderal LBP! Sebaliknya, selamat
‘bobo’ pemikiran dan pemahaman Bapak Menteri Kebudayaan! Akhirul
kata yang mampu saya ucapkan; terserah Pak Presidenlah! Semoga apa yang telah
saya tulis ini, semuanya salah…amin! ● Sumber
:
https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Pandemik-Kebudayaan-Senjata-Pamungkasnya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar