Optimalisasi
Belanja Pemerintah Candra Fajri Ananda ; Staf Khusus Kementerian Keuangan RI |
SINDONEWS, 9
Agustus 2021
Lebih dari setahun pandemi
berlalu. Meski sempat terjatuh dalam jurang resesi, namun kini ekonomi
Indonesia telah bangkit. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 tumbuh
menggembirakan. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 tercatat 7,07%
(yoy), di atas ekspektasi sebagian besar analis pasar. Selain itu, secara kuartal
to kuartal (qtq), pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berhasil tumbuh 3,31%,
meski angka tersebut belum sebaik dalam kondisi normal. Seluruh pencapaian itu
telah menegaskan bahwa Indonesia resmi berhasil keluar dari jurang resesi
setelah pada kuartal I-2021 pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi minus
0,74%. Kenaikan tersebut tak lepas dari momentum penguatan kinerja ekonomi
global serta kebijakan countercyclical
yang dilakukan oleh pemerintah yang mampu mendorong ekspor impor, investasi,
sehingga pemulihan ekonomi nasional sudah on
track. Keynesian telah
membuktikan bahwa dalam kondisi resesi ekonomi, intervensi pemerintah melalui
belanja APBN efektif dalam menangani krisis-krisis di masa lalu. Ketika
sebuah negara berada dalam kondisi krisis, maka belanja negara (government spending) akan menjadi
ujung tombak pemulihan permintaan dan penawaran agregat, termasuk menjadi
alat stabilisasi ekonomi (economic stabilizer). Belanja pemerintah
berhasil menjadi parasut bagi ekonomi Indonesia sehingga tak sampai terjun
bebas dan jatuh pada jurang resesi yang dalam. Pada kuartal II-2021 realisasi
belanja negara tumbuh relatif tinggi (9,38%, yoy) pada semester I 2021, baik
dalam bentuk belanja barang, program bansos, maupun belanja modal terbukti
memberikan dorongan yang cukup signifikan pada komponen PDB dari sisi
pengeluaran, khususnya pada konsumsi pemerintah, masyarakat, serta investasi.
Selama ini, belanja negara
utamanya diarahkan untuk penanganan konsumsi pandemi yang dikemas dalam
Program Pemulihan Ekonomi nasional (PEN). Realisasi PEN hingga 30 Juli 2021
mencapai sebesar Rp305,5 triliun atau 41% dari total pagu yang sebesar
Rp744,75 triliun. Angka tersebut dialokasikan oleh pemerintah di antaranya
untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, dukungan UMKM, dan insentif
usaha. Kebijakan belanja countercyclical pemerintah, utamanya
melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), berdasarkan capaian kinerja
makro ekonomi, bisa dikatakan telah berada di jalur yang benar. Kebijakan
belanja pemerintah telah cukup berhasil dalam melindungi masyarakat miskin
dan rentan yang terdampak pandemi, serta berhasil menstimulasi sektor usaha
untuk kembali tumbuh positif pada kuartal II 2021. Konsumsi rumah tangga yang
masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi telah berhasil tumbuh di kuartal
II-2021 hingga 5,93%. Bahkan, angka tersebut lebih tinggi dari masa sebelum
pandemi yang hanya tumbuh 5,18% kuartal II-2019. Selain itu, komponen
investasi juga mencatatkan pertumbuhan tinggi (7,54%), terutama bersumber
dari investasi bangunan yang merupakan kontributor terbesar dari aktivitas
investasi sejalan dengan realisasi belanja modal Pemerintah yang relatif
tinggi pada semester I 2021. Begitu juga kinerja ekspor dan impor juga
mengalami lonjakan tajam, masing-masing tumbuh 31,78% dan 31,22%, sejalan
dengan momentum menguatnya kinerja ekonomi global dan meningkatnya harga
komoditas. Arah pemulihan yang cukup
menggembirakan juga terlihat dari sisi produksi. Penguatan kinerja
pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2021 bersifat broad-based, di mana
seluruh sektor mampu tumbuh positif. Optimalisasi
Belanja Daerah Berdasarkan teori ekonomi,
variabel pemerintah (khususnya anggaran) dianggap sebagai salah satu variabel
penggerak pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Selanjutnya, hal ini
diharapkan akan menciptakan multiplier effect di berbagai sektor ekonomi
lainnya. Multiplier effect pengeluaran pemerintah tersebut akan semakin besar
jika asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan untuk kegiatan produktif dan
memiliki multiplier yang tinggi. Peran penting APBD dalam
konteks pembangunan ekonomi juga sangat vital, mengingat hampir 1/3 APBN
sudah di transfer ke daerah dalam bentuk TKDD. Presiden tak hentinya terus
mendorong para kepala daerah untuk segera membelanjakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) agar dapat menggerakkan ekonomi di daerah.
Sayangnya, memasuki semester II/2021, realisasi belanja daerah tercatat masih
rendah, yakni sebesar Rp373,86 triliun (47%) dari total anggaran. Guna
memperkuat proses pemulihan ekonomi akibat pandemi, pemerintah daerah
secepatnya membelanjakan anggaranya, terutama untuk penangann kesehatan dan
perlindungan sosial, sekaligus program prioritas daerah. Setelah ditelaah lebih
lanjut, setidaknya terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab lambatnya
penyerapan anggaran di daerah, salah satunya adalah karena adanya realokasi
dan refocusing anggaran akibat pandemik, di mana tetap harus dikonsultasikan
dengan parlemen daerah. Selain itu, sistem informasi penganggaran yang baru,
juga mempengaruhi kecepatan belanja daerah. Satu sisi, walaupun ini
menghambat, positifnya adalah meningkatnya perhatian pemerintah daerah akan
pengelolaan anggaran yang transparan, good
and clean. Selain itu, kita juga menyadari betapa birokrasi pemerintahan
kita masih belum bergeser pada administrasi surat menyurat, yang seringkali
menjadi hambatan, bukan memperlancar.Untuk itu, pandemi ini memang harus
disikapi dengan semangat perubahan (reformasi birokrasi) yang mengarah pada
kecepatan, efisiensi, bersih dan benar. Saat inilah, waktu yang tepat untuk
terus berubah dan bertransformasi baik dari pengelolaan birokrasi maupun
bidang ekonomi serta pola pandang masyarakat terhadap pembangunan (semakin
inkusi). Fleksibilitas
dan Percepat Penggunaan Anggaran Stimulus fiskal tidak
dapat tercapai dengan baik tanpa pencairan anggaran yang cepat, tepat sasaran
dan menegakkan prinsip-prinsip tata kelola keuangan yang baik. Oleh sebab
itu, di masa pandemi ini, pemerintah perlu segera melakukan percepatan dalam
belanja, mengingat penting peran belanja dalam masa pandemi. Walaupun begitu,
aturan pengaturan dan proses perubahan dalam belanja, harus dilakukan secara
benar dan tepat sesuai dengan aturan yang sudah berlaku. Fleksibilitas yang
diinginkan adalah dalam target dan penetapan prioritas, bukan di dalam proses
(SOP). Saat adanya perintah presiden untuk melakukan refocusing dan
realokasi, respon masing-masing daerah sangat berbeda, mengingat kemampuan
birokrasi dan hubungan eksekutif dan legislatif sangat dinamis dan berbeda di
masing-masing daerah. Pandemi yang berjalan saat
ini, memang mengarah pada ketidakpastian yang sangat tinggi. Menghadapi
kondisi yang serba tidak pasti dan terus berubah, maka diperlukan
fleksibilitas dalam setiap kebijakan termasuk pengelolaan anggaran. Meski
demikian, pengelolaan anggaran harus tetap mengedepankan prinsip
kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas. Semakin cepat proses
pencairan, maka semakin cepat pula efek pengganda (multiplier effect) terbentuk. Apabila hal itu tercapai, maka dorongan
ekonomi dari intervensi belanja pemerintah juga akan semakin nyata. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar