Efek
Bola Pantul Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB UB dan Deputi Pembangunan
Ekonomi Setwapres |
JAWA POS, 9
Agustus 2021
PELANGI mulai mengintip di
balik awan. Pekan lalu (5 Agustus 2021), BPS merilis perkembangan ekonomi
mutakhir (triwulan II 2021). Data ini sangat ditunggu
untuk mengetahui kemajuan ekonomi nasional. Secara keseluruhan, data terbaru
menunjukkan tiga perkembangan pokok. Pertama, perekonomian kali pertama membukukan
pertumbuhan positif pada triwulan I 2020. Pertumbuhan ekonomi
triwulan II 2021 sebesar 7,07 persen (yoy) dan 3,3 persen (qtq). Pencapaian
itu sekaligus mengakhiri data resesi ekonomi. Kedua, di semua sektor
ekonomi pertumbuhannya positif. Sektor transportasi dan pergudangan serta
akomodasi dan makan-minum merupakan sektor yang tertinggi pertumbuhannya.
Ketiga, Pulau Jawa dan Bali kali pertama juga tumbuh positif (7,8 persen dan
3,7 persen; yoy), mengikuti wilayah lain yang sudah tumbuh positif pada
triwulan sebelumnya. Kabar itu penting karena Pulau Jawa dihuni sebagian
besar penduduk dan menjadi titik tumpu ekonomi nasional. Low
Base Effect Pertumbuhan positif dalam
angka yang tinggi itu patut disambut bahagia karena jalur perbaikan ekonomi
secara konsisten bisa dijaga sejak triwulan III 2020 sampai sekarang. Misalnya, triwulan II 2020
tumbuh -5,32 persen; triwulan III 2020 tumbuh -3,49; triwulan IV 2020 tumbuh
-2,19; dan triwulan I 2021 tumbuh -0,71 persen (yoy). Pertumbuhan tinggi
triwulan II 2021 sudah bisa diprediksi karena sesuai dengan pola negara lain
seperti Tiongkok, AS, Singapura, dan Uni Eropa yang pertumbuhannya melonjak
persis setahun seusai tekanan terberat pandemi terjadi pada masing-masing
negara. Di Tiongkok ekonominya paling hancur pada triwulan I 2020 (karena
pandemi barawal dari Wuhan) sehingga pertumbuhan paling tinggi terjadi pada
triwulan I 2021 (18,3 persen, yoy). Posisi AS, Singapura, dan Uni Eropa sama
dengan Indonesia, pertumbuhan tertinggi terjadi pada triwulan II 2021 (karena
pandemi datang setelah Tiongkok). Setelah ini pemerintah
mesti bersiap pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dibandingkan triwulan II
2021 setidaknya oleh dua sebab. Pertama, basis pertumbuhan triwulan III 2020
tidak serendah ketimbang pertumbuhan triwulan II 2020 (BPS menyebut low base
effect). Jika basis pertumbuhan tahun sebelumnya rendah (yoy), ungkitan
aktivitas ekonomi sedikit saja akan memberikan gerak pantul yang tinggi. Ini
ibarat efek bola pantul, bola yang jatuh ke tempat rendah akan memantul lebih
tinggi. Kedua, sejak Juli 2021 pemerintah menerapkan PPKM darurat yang
membuat ekonomi terkontraksi lagi sehingga pertumbuhan pasti tertekan. PPKM
darurat diberlakukan di Jawa dan Bali setidaknya sampai 9 Agustus 2021
sehingga tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan III 2021 pasti akan
sangat besar. Jadi, stabilitas pertumbuhan ekonomi ke depan amat bergantung
pada penanganan sektor kesehatan. Patut pula dicermati data
lain di mana salah satu sumber penopang pertumbuhan ekonomi berasal dari
perdagangan internasional. Ekspor pada triwulan II 2021 tumbuh 55,8 persen
dan impor 50,2 persen (yoy). Ini pertumbuhan mengesankan yang disebabkan
pertumbuhan mitra dagang utama seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Korsel juga
positif (di samping soal low base effect pada triwulan II 2020). Tren
tersebut diharapkan menjadi pemicu surplus neraca perdagangan yang bisa
memperkuat cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar. Berikutnya,
pengeluaran pemerintah, PMTB (pembentukan modal tetap bruto), dan konsumsi rumah
tangga juga tumbuh lumayan tinggi sehingga memberikan optimisme terhadap
penguatan struktur pertumbuhan di masa mendatang. Pertumbuhan pengeluaran
pemerintah dan konsumsi rumah tangga menampakkan pemerintah cukup sigap
menggelontorkan program sehingga daya beli masyarakat terjaga. Padat
Tenaga Kerja Pertumbuhan sektoral laik
dicermati dengan serius karena memantulkan data yang ambigu. Di satu sisi
patut disambut gembira karena sektor yang padat tenaga kerja seperti industri
pengolahan, perdagangan, dan konstruksi tumbuh impresif, masing-masing 6,58
persen; 9,44 persen; dan 4,42 persen (yoy). Pertumbuhan sektor itu diharapkan
mempekerjakan kembali pekerja yang sempat terlempar dari arena ekonomi. Masalahnya, pada sektor
pertanian yang menyerap tenaga kerja paling besar justru pertumbuhannya hanya
0,3 persen. Itu hasil mengenaskan karena sektor tersebut yang justru terus
tumbuh positif sejak pandemi hadir. Begitu pemulihan terjadi, pertumbuhan
sektor pertanian malah anjlok. Salah satu faktor penjelasnya, pada saat
gelombang kedua pandemi menyergap Indonesia, wilayah pedesaan juga terpapar
parah. Padahal, selama ini desa-desa relatif kurang terjamah virus dalam
jumlah yang masif. Akibatnya, kegiatan di sektor pertanian ikut melemah. Investasi juga memegang
peran vital dalam pemulihan ekonomi sekarang. PMTB tumbuh 7,5 persen dan
realisasi investasi yang dirilis Kementerian Investasi/BKPM tumbuh 16,2
persen pada triwulan II 2021 (yoy). Lebih bagus lagi di dalam investasi itu
terjadi perimbangan antara Jawa dan luar Jawa serta antara PMA dan PMDN, di
samping Kementerian Investasi/BKPM juga punya program yang memberikan
afirmasi kepada pelaku usaha UMKM. Jadi, investasinya lebih bermutu dan
inklusif. Seluruh capaian tersebut
jelas menggembirakan, tapi tidak boleh melenakan. Pemerintah mesti terus
fokus menangani kesehatan dan menjamin proteksi sosial kepada warga yang
rentan. Angka statistik kerap tidak bisa mendeskripsikan kehidupan sebenarnya
seluruh warga negara. Sampai saat ini, kehidupan warga menengah-bawah amat
berat karena terlempar dari pekerjaan. Sekarang misi penyelamatan kehidupan
rakyat merupakan panggilan moral tertinggi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar