Booster
Vaksin, Persinggungan Nasionalisme dan Universalisme Iqbal Mochtar ; Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan
Kesehatan, Pemerhati Masalah Kesehatan |
MEDIA INDONESIA,
9 Agustus 2021
PROGRAM booster vaksin untuk sementara berjalan di
Indonesia. Sasarannya ialah tenaga kesehatan (nakes) yang jumlahnya 1,5 juta
orang. Program ini khusus buat mereka, bukan untuk masyarakat umum. Setelah
mendapat dua dosis vaksin Sinovac, nakes akan mendapat dosis vaksin tambahan
(dosis ketiga), yaitu dari vaksin Sinovac atau Moderna. Alasannya, nakes
adalah pekerja berisiko tinggi. Mereka adalah front-liner dan risikonya tertular covid-19 sangat
tinggi. Program ini telah diformalkan lewat surat edaran Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular. Targetnya, program ini selesai pertengahan Agustus ini. Di luar negeri, program
booster vaksin lebih agresif lagi.
Jerman, Prancis, dan Inggris akan segera melakukan booster vaksin bulan depan. Yang disasar bukan hanya
nakes, tetapi juga penduduk yang memiliki risiko tinggi, seperti orang tua,
pengidap komorbiditas, dan penderita gangguan imun. Negeri lain malah
menargetkan semua penduduknya. Di Israel dan Abu Dhabi, program ini sudah
jalan, diberikan kepada populasi tertentu. Di Hongaria, booster vaksin telah berjalan dan sasarannya semua
penduduk. Nasionalisme
vaksin Program booster vaksin di berbagai negara, termasuk di
Indonesia, ternyata belum didukung oleh bukti klinis yang solid. Hingga kini,
belum ada satu studi konklusif pun yang mendukung bahwa booster vaksin dapat
meningkatkan antibodi berkali-kali lipat atau dapat mengurangi tingkat
kesakitan, juga kematian akibat covid-19. Program ini tampaknya hanya
didasarkan atas pertimbangan rasional (rational thinking). Dua hal mendasarinya.
Pertama, durabilitas vaksin. Kadar antibodi tubuh yang dipicu oleh injeksi
vaksin ternyata mengalami penurunan setelah periode enam bulan. Kemanjuran
vaksin Pfizer, misalnya, berkurang dari 96% menjadi 84% dalam periode tersebut.
Hal senada terjadi pada
vaksin Sinovac. Enam bulan setelah mendapat vaksin ini, hanya 17%-35%
penerima vaksin yang masih memiliki kadar antibodi adekuat. Melemahnya
tingkat antibodi ini meresahkan. Kondisi ini berbahaya bagi kelompok populasi
tertentu yang memang rentan tertular infeksi, seperti orang tua, pengidap
komorbiditas, dan tenaga kesehatan. Untuk melindungi kelompok rentan ini,
kadar antibodi mereka harus ditingkatkan dengan penyuntikan vaksin tambahan
atau booster. Kedua, penyebaran berbagai varian covid-19 terutama varian
delta. Saat ini, lebih seratus negara telah diserang varian delta. Ketika
berhadapan dengan varian delta, semua vaksin yang tersedia saat ini mengalami
penurunan kemanjuran (reduced efficacy).
Vaksin Pfizer memiliki
keampuhan 94% terhadap varian alfa, tetapi terhadap varian delta keampuhannya
berkurang menjadi 88%. Vaksin Moderna juga mengalami hal serupa. Terhadap
varian alfa kemanjurannya 74,5%, tapi terhadap varian delta hanya 67%. Untuk
mengantisipasi pelemahan ini, sejumlah institusi menganjurkan tambahan dosis
vaksin. Sebuah studi kecil dengan
jumlah sampel sangat terbatas melaporkan bahwa pemberian dosis ketiga Pfizer
meningkatkan respons imun 11 kali lipat dari respons imun yang dihasilkan
oleh dosis kedua, dan ini setara dengan peningkatan proteksi 100 kali lipat
terhadap varian delta. Namun, hasil studi ini dianggap tidak representatif
dan konklusif. Meski program booster vaksin didukung oleh berbagai institusi
termasuk tingkat negara, kritikan dan sinisme bermunculan terhadap program
ini. Sebagian menganggap program ini tidak relevan, selain tidak memiliki
evidence-base juga tidak manusiawi.
Alasannya, di tengah terbatasnya jumlah vaksin, dan masih banyaknya individu
yang belum memperoleh vaksinasi, sangat tidak manusiawi memberikan tambahan
vaksin kepada orang yang telah lengkap vaksinasinya. Program ini dianggap
self-sentris dan egositis karena hanya
mempertimbangkan keselamatan sekelompok masyarakat, tapi mengacuhkan
keselamatan masyarakat lain. Program ini dianggap metamorfosis dari prinsip vaccine nationalism , sebuah prinsip
yang bertujuan mengumpulkan dan menggunakan vaksin sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan masyarakatnya dan melupakan masyarakat negara lain. Vaksin
universal WHO termasuk salah satu
institusi yang tidak mendukung booster vaksin. WHO bahkan menganjurkan agar
negara yang merencanakan program itu berpikir kembali atau setidaknya menunda
program ini. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama, belum terdapat
bukti ilmiah (evidence base) yang
adekuat dan solid terkait efektivitas dan keamanan program ini. Ahli-ahli immunisasi
WHO, yang tergabung dalam Strategic Advisory Group of Expert on Immunization,
telah melakukan telaah evidence base
dan berkesimpulan bahwa belum terdapat bukti klinis dan epidemiologis
yang menyokong pemberian booster enam
bulan pascavaksinasi. Kehati-hatian dalam
program booster harus dikedepankan,
bukan hanya pertimbangan keefektifan, tetapi juga keamanan dan keselamatan
penerima vaksin. Bila dosis reguler vaksin sudah terbukti tidak memberikan
efek samping serius, hal yang sama belum tentu terjadi pada dosis tambahan. Pada produk yang akan
digunakan secara massal, keamanan dan keselamatan harus menjadi prioritas.
Sambil terus melakukan analisis dan telaah bukti, WHO mengingatkan bahwa
rekomendasi pemberian booster harus
didasarkan pada analisis sains dan evidence base, dan bukan berdasarkan
anjuran pembuat vaksin. Beberapa produsen vaksin memang mulai mengajukan
sejumlah data untuk mendukung
booster. Pfizer, misalnya,
telah merencanakan mengajukan regulatory approval untuk booster vaksinnya di Amerika. Kedua, WHO berpegang ketat
pada prinsip universalisme vaksin, yakni pentingnya ketersediaan vaksin
secara merata pada seluruh penduduk dunia tanpa kecuali. Penjabaran
prinsipnya ialah: no one safe until everyone is safe. Program booster justru dianggap berpotensi membahayakan
penatalaksanaan pandemi. Ketika jumlah vaksin masih sangat terbatas dan
banyak negara atau individu yang belum mendapat vaksin, sangat tidak rasional
memberikan tambahan dosis kepada individu yang telah lengkap dosis vaksinnya. Program ini dinilai
sebagai morally repugnant dan scientifically misguided. Stok vaksin untuk
booster seharusnya diberikan kepada negara lain yang cakupan vaksinasinya
sangat rendah, atau bahkan belum tersentuh vaksinasi. Saat ini, 70% penduduk
dunia belum mendapat satu dosis pun vaksin. Bahkan, di negara berpendapatan
rendah, baru 1,1% penduduknya yang menerima satu dosis vaksin. Ironis, tetapi
nyata. Ketiga, program
booster akan mengganggu stok vaksin
yang ada saat ini. WHO menganalisis bahwa bila 11 negara maju yang ada
menjalankan program booster terhadap
penduduknya berusia di atas 50 tahun saja, maka mereka akan mengonsumsi 440
juta stok vaksin yang ada. Dan, jumlah kebutuhan ini akan meningkat menjadi
di atas 800 juta dosis bila program ini diikuti oleh negara menengah lain.
Akan terjadi ketimpangan stok vaksin di dunia. Negara-negara kaya, yang
memiliki stok vaksin berlebih, akan menggunakan semua vaksinnya untuk program
yang belum terbukti secara klinis. Padahal, kelebihan vaksin tersebut
seharusnya dapat diberikan kepada negara-negara yang belum tervaksinasi.
Asimetritas cakupan vaksinasi akan makin melebar. Asimetritas vaksinasi ini
menimbulkan dua hal berbahaya. Pertama, pandemi akan terus berlangsung dan
penatalaksanaan yang akan terus dilakukan berulang ialah pembatasan kegiatan,
termasuk lockdown, yang ujung-ujungnya sangat merugikan ekonomi. Kedua, asimetritas
vaksinasi memungkinkan timbulnya berbagai jenis varian baru, yang mungkin
lebih berbahaya dari varian sekarang. Dan, varian baru ini dapat menyebar dan
mengancam seluruh dunia. Cukup
nakes Indonesia baru-baru saja
menjadi episentrum covid-19 di dunia. Angka kasus baru dan kematian sempat
menjadi yang tertinggi di dunia. Jumlah tenaga kesehatan yang bertumbangan,
terutama dokter, termasuk sangat tinggi di dunia. Sudah 640 dokter meninggal.
Pada Juli saja hampir 200 orang. Padahal, nakes ini jumlahnya terbatas dan
menjadi ujung tombak penatalaksanaan kasus covid-19. Maka, wajar dan
beralasan bila muncul gagasan memberikan perlindungan tambahan kepada nakes
dengan booster vaksin. Dengan booster, para nakes
diharapkan mendapat proteksi tambahan yang akan sangat membantu mereka saat
memberikan pelayanan kesehatan. Namun, program ini harus tidak berhenti pada
penyuntikan vaksin tambahan. Harus ada pengamatan sistematis, teratur, dan menyeluruh
terkait efek samping yang timbul pascadosis ketiga ini. Ada continuous and
ongoing surveillance. Dan, pengamatan ini harus dilaporkan secara terbuka
agar tindakan mitigasi dapat dilakukan bila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Terlepas dari hal
tersebut, catatan di berbagai negara menunjukkan bahwa tingkat kematian nakes
selalu berbanding lurus dengan tingkat kesakitan dan kematian populasi. Jika
angka kesakitan dan kematian populasi meningkat maka hal yang sama akan
terjadi pada nakes. Kasarnya, nakes tidak akan aman bila masyarakat belum
aman (doctors would not be safe until everyone is safe). Dengan demikian,
yang perlu dilakukan ialah bukan hanya memberikan proteksi tambahan kepada
nakes, tetapi juga melakukan upaya semaksimal mungkin agar cakupan vaksinasi
meningkat secepat mungkin di masyarakat. Cakupan vaksinasi
Indonesia masih jauh dari memuaskan. Per 8 Agustus 2021, orang yang mendapat
vaksinasi dosis pertama baru sebesar 50,4 juta dan dosis kedua 23,7 juta.
Nilai ini berkisar 24% dan 11% dari target 208,3 juta. Masih sangat jauh dari
target herd immunity 70%. Dengan kondisi ini, Indonesia masih sangat berisiko
untuk mengalami gelombang-gelombang pandemi berikutnya termasuk krisis
kesehatan. Masyarakat umum sebaiknya
tidak menuntut booster vaksin saat
ini. Selain belum ada bukti klinis terkait manfaatnya, masyarakat umum juga
tidak termasuk kelompok berisiko tinggi. Dua dosis vaksin sudah cukup untuk
saat ini. Apalagi, sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang belum
tersentuh vaksin. Melaksanakan booster kepada masyarakat umum akan memperbesar
asimetritas vaksin. Pemberian booster kepada masyarakat umum pada kondisi ini
bukan hanya tidak tepat, tetapi juga mengandung cacat moral dan cacat rasionalitas.
● |
Sungguh luar biasa bagaimana saya mendapat pinjaman sebesar Rp150.000.000. Nama Saya Ibu Mainunah Elsa Saya warga negara Indonesia. saya senang saya mendapat pinjaman dari pemberi pinjaman pinjaman yang membantu saya dengan pinjaman saya. saya telah mencoba layanan yang berbeda tetapi saya tidak pernah bisa mendapatkan pinjaman dari layanan tersebut. beberapa dari mereka akan meminta saya untuk mengisi banyak dokumen dan pada akhirnya tidak akan berakhir dengan baik. tapi saya senang setelah bertemu dengan IBU KARINA, saya bisa mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp150.000.000 sekarang bisnis saya berjalan dengan baik dan saya ingin memberi tahu Anda semua hari ini karena mereka cepat dan 100% dapat diandalkan. sekarang saya membayar kembali pinjaman yang saya dapatkan dari Perusahaan (KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY). hubungi mereka dan jangan buang waktu Anda dengan pemberi pinjaman pinjaman palsu itu: Email: (karinarolandloancompany@gmail.com)
BalasHapusNAMA PERUSAHAAN = PERUSAHAAN PINJAMAN KARINA ELENA ROLAND
WHATSAP = +15857083478 atau +1(323) 230-9820
FACEBOOK = ELENA KARINA ROLAND
INSTAGRAM = ROLAND KARINA
TWITTER====KARINA ROLAND
EMAIL PERUSAHAAN = KARINAROLANDLOANCOMPANY@GMAIL.COM
NAMA= MAINUNAH ELSA
NEGARA = INDONESIA
NAMA AKUN =, MAINUNAH ELSA
BANK= BANK NEGARA INDONESIA
PINJAMAN DISETUJUI = Rp 150.000.000
EMAIL SAYA = MAIMUNAHELSAELSA@GNAIL.COM